Langsung ke konten utama

Jebak dan Sadap

Editorial Media Indonesia
Rabu, 15 Juli 2009

KORUPSI selalu menggoda. Tidak cuma di Indonesia tetapi seluruh dunia. Bedanya, koruptor di Indonesia tidak mudah dihukum sedangkan di negara lain lebih gampang dipenjara dengan hukuman berat bahkan mati.

Tingkat impunitas yang masih kuat menggejala menyebabkan dunia masih menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup. Walaupun pemerintah sekarang adalah pemerintah yang mampu menyeret koruptor dalam jumlah besar dibandingkan dengan pemerintahan manapun di masa lalu.

Inilah yang menyebabkan publik tetap rindu pada sebuah pemberantasan korupsi yang lebih bertenaga dan karena itu memiliki kewenangan istimewa. Itulah semangat awal lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi.

Belakangan mulai terlihat keinginan untuk mengoreksi KPK. Dari RUU Pengadilan Tipikor yang belum beres hingga saat ini sampai dengan pertanyaan tentang sejauh mana KPK dikontrol.

Lalu, sekarang muncul lagi perdebatan apakah KPK boleh menjebak koruptor atau tidak. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghendaki agar pemberantasan korupsi lebih mengutamakan aspek pencegahan. Dan tidak dibenarkan menjebak.

Menjebak itu salah jika orang yang tidak tahu terpaksa berada pada posisi tertentu untuk tidak bisa mengelak dipersalahkan. Yang agak kasat mata untuk contoh ini adalah di jalan raya.

Polisi lalu lintas, misalnya, bersembunyi di ujung jalan untuk menangkap pengendara yang menerobos jalan yang tidak diberitahu bahwa jalan itu tertutup. Lalu orang-orang yang tidak memiliki niat untuk melanggar ini didenda atau dihukum.

Akan tetapi menjebak adalah benar, bahkan diharuskan, apabila seseorang itu telah memiliki indikasi korupsi. Apalagi dengan bukti yang sangat kuat. Orang-orang dengan indikasi kuat telah melakukan korupsi bisa diintai, dipancing, dan kemudian dibekuk.

KPK, sesuai undang-undang, memiliki hak untuk menyadap. Melalui penyadapan inilah sejumlah anggota DPR dan kalangan pengusaha ditangkap dan dipenjarakan.

Yang menjadi persoalan adalah apakah rekaman pembicaraan telepon yang disadap dijadikan alat bukti dan diperdengarkan dalam persidangan di pengadilan. Ada pertentangan pendapat disini.

Pendapat yang pertama, ini terutama dari kalangan keras, rekaman pembicaraan bisa dijadikan alat bukti sehingga bisa diperdengarkan dalam sidang di pengadilan. Tetapi yang kedua, mereka yang lebih konvensional, menolak rekaman sebagai alat bukti.

Polisi, atau KPK, segera menyimpan rekaman rapat-rapat ketika seseorang yang dicurigai tertangkap tangan. Ketika orang yang diintai melalui penyadapan melakukan korupsi, misalnya mentransfer atau menyogok, transfer dan uang sogok itulah yang menjadi bukti utama. Bukan lagi alat rekaman pembicaraan telepon.

Mengapa rekaman pembicaraan jangan diperdengarkan di depan publik? Karena pembicaraan melalui telepon adalah hak pribadi orang, bahkan hak asasi. Dapat dibayangkan ketakutan yang meluas ketika anggota masyarakat bisa dengan mudah disadap pembicaraan teleponnya oleh aparat penegak hukum.

Dengan demikian jebak dan sadap tidaklah perlu diperdebatkan. Keduanya bisa benar bisa juga salah. Jebak hanya benar ketika seseorang dengan bukti kuat korupsi tetapi licin dan lihai untuk ditangkap. Orang seperti ini harus diakali untuk dibekuk.

Sedangkan sadap harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Bila harus dilakukan, rekaman penyadapan tidaklah diperdengarkan kepada publik. Karena itu mengganggu hak pribadi warga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENYERAHAN DAN PENUTUPAN PROYEK (PROJECT CLOSURE) SECARA PROFESIONAL

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menciptakan proyek atau kegiatan spesifik untuk menghasilkan produk/jasa tertentu. Dalam lingkup besar, proyek ini biasa disebut program ( programme ).  Agar proyek bisa disetujui dan kemudian berhasil diberikan ke penggunanya, berbagai pelatihan untuk pemimpin proyek ( project manager ) atau pemimpin program ( program manager ) dikembangkan. Bahkan, pelatihan ini telah menjadi mata kuliah tersendiri yang disebut dengan manajemen proyek ( project management ).  Berbagai panduan, standar, model, konsep, atau rerangka ( framework ) untuk mengelola proyek atau program juga telah dikembangkan. Sebagai contoh, Project Management Institute (PMI) mengembangkan PMBOK Guide. Untuk mengelola program, UK menerbitkan MSP ( Managing Successful Programmes ).  Sebagai contoh, kita bisa melihat rerangka MSP berikut ini  Tampak sekali pada Diagram di atas begitu lengkapnya hal-hal yang perlu diperhatikan ketika mengelola program. Sebab, progra...

KENAPA SPBU PETRONAS GAGAL BERBISNIS DI INDONESIA?

Muncul publikasi di media tentang ditutupnya SPBU Petronas di Indonesia. Akhirnya, perusahaan unggul milik pemerintah Malaysia ini hengkang juga dari Indonesia. Sebenarnya, saya telah lama melihat keanehan SPBU Petronas ini. Setiap saya melewatinya, bisa dibilang hampir-hampir tidak ada pengunjungnya. Keanehan kedua, menurut saya, pemilihan lokasinya yang tidak tepat. Hal ini berbeda sekali dengan SPBU Shell. Walaupun harganya mahal mengikuti harga minyak dunia, SPBU milih Belanda ini masih memiliki pengunjung yang lumayan. Salah satu sebabnya adalah pemilihan lokasi yang tepat. Saya menjadi bertanya, kenapa perusahaan sekaliber Petronas bisa salah menempatkan SPBU-nya di Indonesia. Anehnya, Petronas dengan semangat langsung memasang jumlah pompa yang banyak. Bandingkan dengan SPBU Shell yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan pasar. Saya menduga ada 2 penyebab kesalahan strategi Petronas tersebut. Keduanya terkait perencanaan masuk ke pasar. Dugaan pertama saya, Petronas salah ...

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) ...