Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menciptakan proyek atau kegiatan spesifik untuk menghasilkan produk/jasa tertentu. Dalam lingkup besar, proyek ini biasa disebut program (programme).
Agar proyek bisa disetujui dan kemudian berhasil diberikan ke penggunanya, berbagai pelatihan untuk pemimpin proyek (project manager) atau pemimpin program (program manager) dikembangkan. Bahkan, pelatihan ini telah menjadi mata kuliah tersendiri yang disebut dengan manajemen proyek (project management).
Berbagai panduan, standar, model, konsep, atau rerangka (framework) untuk mengelola proyek atau program juga telah dikembangkan. Sebagai contoh, Project Management Institute (PMI) mengembangkan PMBOK Guide. Untuk mengelola program, UK menerbitkan MSP (Managing Successful Programmes).
Sebagai contoh, kita bisa melihat rerangka MSP berikut ini
Tampak sekali pada Diagram di atas begitu lengkapnya hal-hal yang perlu diperhatikan ketika mengelola program. Sebab, program itu biasanya dibentuk untuk memberikan dampak besar. Sebagai contoh, dalam lingkup organisasi sektor swasta, biasanya program ditujukan untuk melakukan perubahan atau transformasi organisasi.
Dalam kasus pembentukan Danantara, tentu saja kita tidak bisa sekadar menggunakan model PMBOK Guide agar perubahan BUMN dari model lama ke model baru yang terintegrasi secara investasi dan operasi berhasil. Kita paling tidak harus memahami model MSP jika ingin transformasi tersebut berhasil.
Dalam pelatihan manajemen proyek, sering sekali kita lebih banyak difokuskan dalam menciptakan proyek, terutama bagaimana agar mendapatkan buy-in dari para sponsor. Yang sering terlupakan adalah bagaimana mengakhiri atau menutup proyek (project closure).
Dalam kasus Indonesia, di masa lalu pengakhiran proyek ini biasanya dilakukan sambil lalu saja. Bahkan, biasanya pemimpin proyek akan "mengakali" tim penerima proyek agar proyeknya bisa diterima dan dianggap selesai.
Karena itu, berbagai tindakan penyuapan (bribery) sering dilakukan dan dianggarkan secara tidak resmi dalam pengakhiran proyek itu. Itu sebabnya, banyak sekali proyek di Indonesia yang akhirnya tidak memberikan manfaat atau bisa dioperasikan.
Menyikapi hal itu, sangat penting sekali kita melakukan audit atau evaluasi proyek. Kegiatan audit atau evaluasi ini mestinya tidak hanya dilakukan pada akhir proyek, tetapi sejak dari tahapan pengembangan ide atau konsep suatu proyek. Hal ini tampak dalam Diagram berikut.
Tampak dalam Diagram tersebut, kita perlu melakukan audit atau evaluasi sebelum kejadian (ex-ante) dan bukan hanya audit atau evaluasi akhir (final) dan audit atau evaluasi setelah kejadian (ex-post) proyek. Sayangnya, di Indonesia kita lebih banyak melakukan audit atau evaluasi akhir proyek.
Biasanya, yang kita temukan pada saat audit atau evaluasi akhir tersebut adalah temuan permasalahan-permasalahan yang kemudian harus diselesaikan oleh para pihak terkait. Akibatnya, proyek menjadi terlambat diserahkan atau dioperasikan, bahkan kemudian menjadi kasus hukum yang masuk lingkup tindak pidana korupsi.
Kenapa sering proyek-proyek di Indonesia menjadi kasus hukum? Menurut saya, hal ini kebanyakan karena proyek-proyek kita kurang mampu didefinisikan lingkupnya dengan baik. Hal ini bisa terjadi karena desakan untuk memulai proyek dengan cepat.
Pentingnya mendefinisikan lingkup proyek dengan jelas akan memudahkan untuk memastikan semua pihak memahami hal-hal yang harus disampaikan atau diberikan oleh suatu proyek. Pendefinisian lingkup proyek ini sangat penting sekali ketika kita memiliki proyek yang membutuhkan teknologi yang canggih, seperti hilirisasi di berbagai daerah.
Di masa lalu, untuk mengakhiri atau menyerahkan proyek bisa dengan meng-entertain para pemangku utama di sisi pengguna proyek. Saat ini seorang pemimpin proyek mestinya tidak melakukan itu lagi. Mereka harus memastikan proyek dikelola dengan baik, yaitu dengan melakukan audit atau evaluasi sejak tahapan ide atau keputusan (ex-ante), di tengah proyek berjalan (interim), evaluasi akhir (final), dan kemudian setelah dioperasikan (ex-post).
Komentar