Langsung ke konten utama

KEPEMIMPINAN YANG MENAPAK BUMI

Lebaran kemarin, saya bertemu beberapa saudara jauh di Brebes. Setelah menikmati sate Brebes yang banyak bertebaran di Jatibarang, saya sempat menikmati obrolan dengan seseorang. 

Tadinya, saya mengamati kemampuannya menggerakkan beberapa kaum duafa yang datang untuk disangoni oleh salah satu saudara saya yang terkenal memiliki kekayaan berlimpah, tetapi dermawan. 

Ia saya lihat paham betul dalam menggerakkan warga desa untuk datang dan antre. Dalam bayangan saya, ia berpeluang besar diminta bantuan "menggerakkan" para pemilih ketika pemilihan umum untuk mendukung kandidat tertentu, bahkan untuk sekelas pemilihan kepala desa (pilkades). 

Ternyata, dari obrolan sekilas, dugaan saya tidak meleset. Ia orang lapangan yang paham perpolitikan. Yang menarik, siapa pun kandidat dalam pemilihan umum, biasanya orang seperti inilah pemenangnya. Sebab, ia bisa menjadi tenaga perantara untuk mendistribusikan money politics ke para pemilih.

Sering sekali jumlah money politics yang disampaikan oleh kandidat tidak sampai penuh ke para pemilih. Di sinilah, ia akan mengambil keuntungan. Itulah kenapa para "perantara transaksi" semacam ini biasanya malah menjadi pemenang, berhasil menambah asetnya setelah pemilihan umum usai, siapa pun kandidat yang menang. 

Yang menarik lagi dari obrolan tersebut adalah soal keresahannya dalam kepemimpinan nasional. 

"Kita perlu buktikan apakah yang dinyatakan di layar kaca sama dengan yang benar-benar terjadi di lapangan," katanya, menunjuk pemimpin nasional kita. Kebetulan ia berada di posisi berseberangan sebelumnya.

Pernyataan tersebut mengingatkan saya tentang pentingnya menjadi pemimpin yang "menapak tanah" atau "membumi". Sebab, realitasnya, saat ini kita mengalami kondisi banyak para pemimpin kita bukanlah hasil pembentukan di lapangan yang tumbuh dari rakyat kebanyakan. 

Banyak pemimpin kita adalah produk elite atau para komandan yang dilahirkan karena privilege orang tua atau keluarganya yang berkecukupan. 

Para pemimpin seperti itu biasanya tidak begitu mengenal masyarakatnya. Akhirnya, kalangan awam melihat hal-hal yang disampaikan oleh para pemimpin semacam ini tidak terbukti atau direalisasikan di lapangan dan hanya menjadi jargon-jargon di pidato politik saja. 

Memang, bukan salah para pemimpin tersebut jika ia dibesarkan dari kalangan elite. Tidak ada manusia yang bisa menghindarkan takdir ini atau meminta dilahirkan bukan dari kalangan elite

Menyikapi hal itu, yang penting kemudian perlu kita kembangkan adalah bagaimana agar para pemimpin yang dilahirkan dari kalangan elite tersebut bisa "membumi" atau "menapak tanah". 

Sekolah-sekolah dan akademi pembentukan pemimpin sipil dan militer harus mengembangkan pembentukan karakter untuk para calon pemimpin semacam ini. 

Salah satu saran saya, kita perlu mencontoh Korea Selatan ketika merekrut aparatur negara di sana. Setelah direkrut, aparatur negara akan mengalami fase pendidikan dengan internship di desa-desa. Selama tiga bulan mereka harus tinggal di desa. Hal ini akan membuat mereka lebih paham soal-soal kemasyarakatan. 

Memang, hal itu mirip seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) ketika mahasiswa. Yang membedakannya, para calon aparatur negara tersebut bukan membahas teknis perkuliahan seperti KKN, tetapi isu-isu kebijakan publik yang perlu mereka rumuskan. Mereka juga menjadi memiliki empati dan memahami rakyatnya. 

Mumpung kita sekarang pada tahapan rekrutmen aparatur negara, sudah saatnya model internship tersebut diterapkan di Indonesia.  Tentunya, hal ini tidak hanya diterapkan untuk aparatur sipil negara, tetapi juga untuk aparatur militer negara, para calon komandan militer di lapangan. 

Semoga ini bisa direalisasikan segera. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) ...

KENAPA SPBU PETRONAS GAGAL BERBISNIS DI INDONESIA?

Muncul publikasi di media tentang ditutupnya SPBU Petronas di Indonesia. Akhirnya, perusahaan unggul milik pemerintah Malaysia ini hengkang juga dari Indonesia. Sebenarnya, saya telah lama melihat keanehan SPBU Petronas ini. Setiap saya melewatinya, bisa dibilang hampir-hampir tidak ada pengunjungnya. Keanehan kedua, menurut saya, pemilihan lokasinya yang tidak tepat. Hal ini berbeda sekali dengan SPBU Shell. Walaupun harganya mahal mengikuti harga minyak dunia, SPBU milih Belanda ini masih memiliki pengunjung yang lumayan. Salah satu sebabnya adalah pemilihan lokasi yang tepat. Saya menjadi bertanya, kenapa perusahaan sekaliber Petronas bisa salah menempatkan SPBU-nya di Indonesia. Anehnya, Petronas dengan semangat langsung memasang jumlah pompa yang banyak. Bandingkan dengan SPBU Shell yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan pasar. Saya menduga ada 2 penyebab kesalahan strategi Petronas tersebut. Keduanya terkait perencanaan masuk ke pasar. Dugaan pertama saya, Petronas salah ...

INOVASI PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DENGAN QR CODE

Bagi pemerintah daerah, program efisiensi anggaran Presiden Prabowo telah memberikan tekanan yang keras. Mereka harus segera mampu membiayai sendiri pembangunan daerahnya masing-masing.  Jika mereka ingin tetap   bertahan ( sustain ) ke depan, mereka tidak bisa lagi bekerja dengan sistem ataupun kultur lama. Mereka harus segera berubah.  Untuk membiayai sendiri pembangunan daerah, mereka harus melakukan berbagai inovasi yang akan memungkinkan kemandirian fiskal daerah.  Jika hal itu tidak dilakukan, tentu Presiden Prabowo bisa memilih alternatif lain, seperti melakukan penggabungan ( merger ) pemerintah daerah yang tidak mandiri secara fiskal.  Sebab, dengan perubahan yang cepat di tingkat global, tidaklah mungkin jika ke depannya Pemerintah Pusat masih mempertahankan pemerintah daerah yang tidak mampu membiayai gaji dan tunjangan pegawainya secara mandiri. Hal ini sudah begitu membebani anggaran Pemerintah Pusat. Agar bisa bertahan dan mempunyai kemandiria...