Masih ingat ketika Ketua Mahkamah Konstitusi tidak mempercayai kompetensi hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di daerah? Apakah pantas pemimpin lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi tidak mempercayai kompetensi hakim di suatu peradilan? Kepercayaan (trust) adalah sangat penting. Kalau kita tidak memiliki trust kepada pihak lain, tentu akan sangat sulit untuk membangun kerja sama dengan pihak lain tersebut.
Saya lebih melihat permasalahan pengadilan tipikor bukan semata-mata pada hakim pengadilan tipikor, tetapi permasalahan yang sifatnya sistemik. Pembentukan pengadilan tipikor, dari awalnya, memang telah menimbulkan masalah. Masyarakat sudah melihat dari dahulu bahwa keputusan pemerintah dan DPR dalam membentuk pengadilan tipikor adalah bagian dari upaya untuk melemahkan pemberantasan korupsi.
Dalam menghadapi kasus korupsi di daerah, sampai sekarang tidak ada sistem yang bisa memberikan perlindungan atau mengendalikan agar pengadilan berjalan dengan independen. Kita bisa melihat bahwa budaya komunal kita sangat memungkinkan untuk mengintervensi para hakim di daerah. Jika pengadilan tipikor dijalankan di daerah, para hakim dengan mudahnya didekati oleh pihak-pihak yang berperkara. Sebab, di daerah itu budaya kekeluargaan sangat kental. Jika seseorang terlibat kasus korupsi, ia akan melibatkan jalur melalui keluarganya agar dapat menghubungi para hakim. Hal semacam ini sudah sangat sulit dilakukan jika hakim tersebut berada di Jakarta.
Komentar