Sumber foto: http://breakthematrix.com/civil-liberties/record-police/
KPK telah membuka genderang perang dengan kepolisian ketika melakukan penggeledahan terhadap salah satu kesatuan di kepolisian, yaitu Korps Lalu Lintas (Korlantas). Orang Medan menyebutnya secara bercanda tindakan ini seperti: “Ngeri-ngeri sedap”. Orang Betawi menyebutnya: “Uji nyali”. Bagaimana tidak? Inilah baru pertama kalinya setelah sekian tahun berdiri KPK berani melakukan unjuk gigi ke kepolisian. Sudah sejak lama masyarakat menantikan hal ini. Sebelumnya, banyak pihak meragukan KPK berani memasuki “area” kepolisian. Sebab, KPK sampai dengan saat ini masih banyak tergantung pada kepolisian dari segi sumber daya manusianya. Beberapa perwira kepolisian adalah aparat KPK.
Tidak main-main, yang disasar KPK kali ini adalah perwira berbintang dua. Kita tahu bagaimana sistem hirarki di kepolisian dan angkatan bersenjata. Perwira berbintang biasanya masuk sebagai the untouchable man. Sebab, tidak mungkinlah mereka bermain kotor dengan tangannya sendiri. Perwira tinggi tentu dapat bermain kotor tidak dengan tangannya langsung, tetapi menggunakan tangan prajurit di bawahnya. Karena itu, ketika KPK berani menetapkan tersangka perwira berbintang dua, pasti sudah dengan pertimbangan yang matang. Kalau sekedar kalap untuk menunjukkan nyali jajaran pemimpin KPK saat ini, rasanya itu terlalu sederhana.
Pengalaman ICAC
Sebenarnya, berdasarkan pengalaman Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong, yang pertama sekali disasar mestinya dari dahulu adalah korupsi di kepolisian. Namun, selama ini kita tidak melihat adanya tindak nyata KPK terhadap kepolisian. Mereka seakan tidak bergigi menghadapi kepolisian. Padahal, ketika kali pertama ICAC Hongkong dibentuk, begitu banyak polisi korup yang ditangkap dan dipenjara.
Memang, kita tidak fair jika menandingkan ICAC Hongkong dengan KPK. Sebab, pembentukan ICAC Hongkong itu dikawal langsung oleh Pemerintah Inggris yang pada waktu itu membawahi Hongkong. Logistik juga langsung dikendalikan oleh Pemerintah Inggris. Hal ini berbeda sekali dengan awal pembentukan KPK, di mana kebutuhan datang dari masyarakat, hasil reformasi. Pada awalnya, mereka pun kurang di-support dengan infrastruktur yang memadai dari pemerintah. Karena itu, KPK banyak memperoleh bantuan dari negara lain.
Ketika akhirnya saat ini mereka ingin mandiri dengan sumber dana dari APBN, kita bisa melihat terseok-seoknya upaya mereka. Dengan berbagai cara, anggaran untuk membangun gedung KPK pun akhirnya menjadi berlarut-larut. Mestinya, gerakan sosial dengan icon “Koin KPK” sudah mempermalukan pejabat-pejabat penting negara. Namun, sepertinya malu itu sudah tidak ada lagi.
Mengambil Momen Positif
Begitu juga ketika kita lihat pertarungan penyidikan antara KPK dan kepolisian terkait kasus Simulator SIM ini. Kita lihat dengan argumentasi berbagai macam, malu itu sudah tidak ada. Mereka berfikir bahwa masyarakat masih bodoh. Dengan argumentasi yang cenderung dibuat-buat, kepolisian masih mempertahankan upaya melakukan penyidikan kasus tersebut. Akhirnya, bukan dukungan yang diperoleh kepolisian, tetapi malah muncul kecurigaan yang bermacam-macam dari masyarakat. Bahkan, kecurigaan ini sudah merembet ke pribadi presiden. Jika tidak dikelola dengan baik, citra kepemimpinan presiden akan semakin buruk, bahkan dapat menjatuhkannya dari tampuk kekuasaan.
Sebenarnya, jika dikelola dengan baik, apa yang terjadi belakangan ini bisa membangun citra kepolisian dan pemerintah saat ini. Sebab, bagaimanapun, sudah menjadi rahasia umum, bahkan di internal kepolisian, bahwa salah satu persoalan reformasi di kepolisian adalah dalam sistem back-office. Jika kita mau jujur dalam memberikan apresiasi, kepolisian telah banyak melakukan reformasi di sisi layanan langsung ke masyarakat (front-office). Kita bisa memperpanjang SIM secara mudah dari SIM-Mobile. Bahkan, layanan ini bisa diakses di pusat perbelanjaan.
Kemudian, kepolisian sudah demikian semangatnya menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Lihatlah TMC yang aktif menggunakan Twitter. Reserse menggunakan blog untuk menginformasikan kejahatan yang berkembang. Bahkan, CCTV untuk menginformasikan kemacetan di beberapa jalan protokol telah dibangun. Kepolisian telah berusaha memanjakan masyarakat selaku customer-nya.
Pembenahan Sistem Back-Office
Yang belum begitu berhasil dibenahi adalah pada sistem back-office. Kita bisa melihat bahwa belum ada integrasi antara SIM di satu daerah dengan SIM di daerah lain. Seseorang bisa memiliki SIM berbeda jika memiliki KTP yang berbeda daerah. Dari segi Nomor Kendaraan di STNK pun, tidak ada integrasi sistem. Karena itu, ketika seseorang akan memindahkan kendaraannya dari satu daerah ke daerah lain yang berbeda kepolisian daerahnya harus mengurus proses mutasi yang berbelit dengan biaya yang mahal.
Padahal, kepolisian itu adalah lembaga berskala nasional. Namun, dalam praktiknya sistemnya masih terpisah-pisah. Jika misalnya ada kendaraan yang berasal dari satu daerah digunakan untuk kejahatan pada daerah lain, maka kepolisian setempat harus menelusurinya ke kepolisian asal kendaraan tersebut. Sampai saat ini, belum dibangun sistem yang berskala nasional.
Sistem informasi layanan BPKB antara satu kepolisian daerah juga masih berbeda dengan kepolisian daerah lainnya. Belum lagi jika kita menelusuri sistem STNK antara satu daerah dengan daerah lainnya. Sering pula, di suatu daerah tidak terintegrasi antara sistem BPKB dan sistem STNK. Padahal, keduanya sudah dilayani dalam SAMSAT, sistem layanan satu atap sejak lama.
Layanan Kepolisian sebagai Sumber Pendapatan
Jika ditelusuri sejarahnya, sebenarnya inovasi kepolisian telah banyak menguntungkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagai contoh, saya dengar dari seorang mantan perwira berbintang tiga, dulunya sebenarnya tidak ada pungutan SAMSAT. Kepolisianlah yang merintisnya. Sekarang penerimaan pemerintah daerah dari PKB dan BBN-KB sangat signifikan. Pemerintah daerah provinsi banyak yang mengandalkan penerimaan ini untuk membangun daerahnya.
Memang, khusus pendapatan yang diterima kepolisian, penerimaan ini dirasakan belum transparan oleh masyarakat. Terkesan bahwa aparat kepolisian yang ditempatkan pada SAMSAT atau layanan SIM masih menikmati lahan basah. Karena itu, jarang sekali aparat kepolisian ditempatkan terlalu lama di daerah yang rentan tersebut. Kepolisian telah melakukan rotasi pada posisi-posisi sensitif tersebut agar terhindar dari salah kendali dan tercipta proses reformasi. Namun, masyarakat memandangnya belum cukup.
Fleksibilitas Dana Kepolisian
Berdasarkan kondisi tersebut, sudah tepat rasanya kepolisian mengambil momentum penggeledahan kasus Simulator SIM. Mereka mesti membenahi kembali sistem back-office-nya. Setiap lingkungan yang rentan terhadap risiko harus dikelola. Misalnya, dalam hal penerbitan SKCK. Kepolisian harus membenahi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan SKCK. Penerimaan dari SKCK juga harus dikelola secara transparan.
Hanya saja, keluhan dari aparat di lapangan adalah ketika seluruh penerimaan terkait layanan kepolisian dikelola secara transparan dan akuntabel, kepolisian akan kesulitan untuk menanggung biaya operasi penanggulangan kejahatan tertentu. Karena itu, agar fair, harus dimungkinkan adanya dana-dana cadangan untuk kepolisian, sebagaimana telah disediakan untuk organisasi seperti BNPB. Kepolisian juga harus diberikan fleksibilitas dalam mengelola anggarannya.
Komentar