Langsung ke konten utama

Diskusi: Apakah PPK Perlu Menandatangani BAST?

Sebenarnya, dalam UU No. 17 Tahun 2003 tidak dikenal adanya istilah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Istilah ini sebenarnya diperkenalkan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/ 2005 (walaupun sebenarnya jika dikaji lagi tidak ada dasar Peraturan Pemerintah yang cukup untuk menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan ini).

Parahnya lagi, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/ 2005 tidak mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan PPK. Istilah PPK hanya muncul dalam suatu kalimat untuk kepentingan pengajuan pembayaran, yaitu:

“Bukti asli pembayaran yang dilampirkan dalam SPP yang diajukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen merupakan bukti pengeluaran dalam pelaksanaan anggaran belanja negara.”

Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut hanya diuraikan pihak-pihak terkait untuk kepentingan penggunaan anggaran yang harus ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran (PA), yaitu
a. Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang;
b. Pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara;
c. Pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja;
d. Pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah membayar;
e. Bendahara penerimaan untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan;
f. Bendahara pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja.

Jika dilihat dari uraian tersebut, tampaknya yang dimaksud dengan PPK adalah “Pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja”. Perhatikan juga bahwa PPK dibedakan dengan “Pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah membayar” atau yang dalam praktik dikenal sebagai Pejabat Penguji dan Penandatangan SPM. Di sisi lain, juga ada dikenal Pejabat Verifikator. Dalam praktiknya lagi, sekarang ini dikenal Surat Pernyataan Tanggung-Jawab Mutlak yang sering harus ditandatangani oleh PPK. Praktik di lapangan menjadi tidak seragam.

Sebenarnya, istilah PPK semakin banyak digunakan ketika dilakukan revisi terhadap Perpres 80/2003. Hal ini bisa dibaca lebih lanjut dalam Perpres tersebut.

Yang menarik untuk didiskusikan adalah dengan terbitnya Perpres 54/2010 tidak jelas bagaimana sebenarnya peran dari PPK dalam hal pembayaran. Di masa lalu, yang menandatangani Berita Acara Serah Terima Pekerjaan (BAST) adalah jelas PPK. Dalam Perpres 80/2003 dinyatakan bahwa PPK dapat mengangkat Panitia Penerima Barang/Jasa untuk kepentingan tersebut. Namun, tanggung-jawab akhir tetap di pundak PPK.

Dalam Pasal 95 Perpres 54/2010 dinyatakan bahwa setelah pekerjaan selesai 100% sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Kontrak, Penyedia Barang/Jasa mengajukan permintaan secara tertulis kepada PA/KPA melalui PPK untuk penyerahan pekerjaan. PA/KPA menunjuk Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan untuk melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan yang telah diselesaikan.

Jika diinterpretasikan, berarti PPK hanya meneruskan pengajuan permintaan pembayaran tersebut ke PA/KPA. Ini sangat tepat jika mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/ 2005, di mana bukan PPK yang sebenarnya memproses pengajuan pembayaran tersebut, tetapi Pejabat Penguji dan Penandatangan SPM.

Pada Pasal 18 Perpres 54/2010 dinyatakan bahwa Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan mempunyai tugas pokok dan kewenangan untuk:
a. melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak;
b. menerima hasil Pengadaan Barang/Jasa setelah melalui pemeriksaan/pengujian; dan
c. membuat dan menandatangani Berita Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan.

Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam Perpres 54/2010 dinyatakan bahwa setelah pengajuan pembayaran disampaikan PPK ke PA/KPA, maka PA/KPA akan meminta Pejabat Penguji dan Penandatangan SPM untuk memprosesnya. Pejabat Penguji dan Penandatangan SPM hanya dapat memprosesnya setelah adanya Berita Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan (BAST) yang ditandatangani Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.

Peran PPK terkait dengan serah terima tersebut hanyalah sebagaimana yang tercantum pada Pasal 11 Perpres 54/2010, yaitu menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan (BAP). Di sini juga sebenarnya ada missing link kapan barang/jasa yang telah diterima Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan dari Penyedia diserahkan ke PPK untuk diteruskan ke PA/KPA? Apakah dokumen yang digunakan?

Mungkin juga ada yang bertanya, bukankah itu menjadi risiko ketika suatu penyedia dapat mengajukan permintaan pembayaran tanpa keterlibatan PPK? Sebenarnya tidak juga, karena pengajuan permintaan pembayaran ke PA/KPA tetap melalui PPK. Pertanyaan berikutnya, kenapa peran PPK sampai direduksi seperti ini? Saya rasa ini adalah untuk meningkatkan pengendalian dari kemungkinan PPK sendiri yang menyatakan sudah menerima barang/jasa tanpa adanya kontrol pihak lain.

Hal ini sering disalahgunakan untuk kepentingan proses di akhir tahun, di mana barang/jasa belum diselesaikan oleh penyedia, tetapi sudah dinyatakan selesai dengan penandatangan BAST langsung oleh PPK. Artinya, dengan Perpres 54/2010 diatur dengan jelas pemisahan fungsi antara pembuat komitmen dan pihak yang memproses pembayaran. Mereka akan bekerja dengan sangat independen. Mekanisme ini juga telah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/ 2005.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke