Seorang teman, meng-sms saya: "Rud, tim SBY lagi nyiapin program reformasi birokrasi, salah satunya restrukturisasi lembaga pengawasan. Lu punya ide apa?"
Setelah merenung sejenak, saya mencoba membuat tulisan berikut:
Penguatan birokrasi akan sangat tergantung pada kualitas pengendalian internal pemerintah. Telah disadari bahwa lemahnya pengendalian internal pemerintah menjadi salah satu sebab utama dalam lemahnya birokrasi dan pada akhirnya rendahnya kualitas pelayanan publik.
Dengan bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, peran birokrasi dalam pelayanan publik telah mengalami pasang-surut. Pemerintah telah melakukan beberapa penataan terkait dengan birokrasi. Menteri Pendayagunaan telah menerbitkan pedoman reformasi birokrasi dengan Kepmenpan nomor 15 tahun 2008 yang memberikan acuan reformasi birokrasi pada aspek kelembagaan (organisasi), budaya organisasi, ketatalaksanaan, regulasi birokrasi, dan sumber daya manusia. Reformasi birokrasi itu menyangkut people, process, dan technology.
Terkait dengan reformasi birokrasi ini, dengan surat edaran nomor 0142/M.PPN/06/2009 dan SE-1848/MK/2009, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan baru-baru ini telah menerbitkan Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran. Pada bulan Juni 2009, juga telah disahkan Undang-Undang Pelayanan Publik.
Sayangnya, di lapangan, usaha Pemerintah terkait reformasi birokrasi kurang berjalan dengan baik. Kenyataan di lapangan, tidak banyak perubahan berarti yang dirasakan oleh masyarakat.
Salah satu penyebab hal tersebut adalah kelemahan mesin birokrasi dalam mengeksekusi kebijakan Pemerintah/Presiden. Implementasi atas kebijakan Presiden juga sering kurang terkordinasi. Sebagai contoh, dalam Program Kerja 100 Hari Presiden SBY ketika pertama kali terpilih terdapat “Program Melanjutkan Reformasi Birokrasi”. Namun, sampai saat ini masyarakat belum merasakan hasil nyata reformasi ini.
Kenyataan di lapangan, pengurusan perijinan masih sulit. Misalnya, ketika seseorang ke kantor imigrasi, praktik bisnis pelayanan imigrasi masih berjalan seperti biasanya. Tanpa melewati calo atau dengan uang tips, pelayanan masih kurang baik. Begitu juga dengan pengurusan KTP dan SIM. Belum lagi jika dibahas aspek single identity number (SIN) yang belum juga berhasil diimplementasikan.
Dalam hubungannya dengan reformasi sektor publik, sebenarnya terdapat tindakan nyata yang dibutuhkan, di mana keberhasilan instansi publik dalam memberikan pelayanan publik akan tergantung kepada proses pelayanan yang ada di dalam instansi pelayanan publik. Dalam kenyataannya, proses tersebut banyak yang tidak sinkron atau malah menimbulkan birokrasi yang rumit. Karena itu, proses ini harus ditata-ulang.
Dari penataan-ulang proses pelayanan publik ini, dapat diperoleh perhitungan yang tepat berapa sebenarnya sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan proses tersebut. Sumber daya ini terdiri dari manusia yang dibutuhkan untuk menjalankan proses, pendanaannya, dan perangkat teknologi pendukungnya. Dengan demikian, dari penataan proses ini, Pemerintah dapat membuat program pengembangan sumber daya manusia sektor publik. Tidak hanya dari segi jumlah yang dibutuhkan, tetapi juga kemampuan (skill) yang dibutuhkan.
Dari sini, Pemerintah akan dapat melakukan reformasi birokrasi yang komprehensif, tidak lagi bersifat parsial. Selama ini, penataan birokrasi kebanyakan hanya dilakukan secara terbatas pada penataan kelembagaannya. Belum secara langsung menyentuh aspek sumber daya manusianya.
Dalam rangka melakukan sebuah langkah penting dalam reformasi sektor publik, yaitu penataan proses pelayanan publik tersebut, lembaga pengawasan internal pemerintah memegang peranan yang sangat penting. Lembaga pengawasan internal dapat memberikan peran yang sangat berarti dengan melakukan analisis proses bisnis organisasi publik.
Kegiatan yang pertama sekali harus dilakukan adalah dengan melakukan evaluasi terhadap seluruh proses bisnis sektor publik di instansi pemerintah. Evaluasi tersebut harus dilakukan secara serentak kepada seluruh instansi pemerintah, baik yang berada di pusat maupun di daerah.
Dari evaluasi ini, akan diketahui titik-titik lemah dari proses bisnis instansi pemerintah. Kemudian, dari hasil evaluasi ini akan dilakukan perancangan-ulang proses bisnis di instansi pemerintah, khususnya yang melakukan pelayanan langsung ke publik, termasuk penghitungan kembali sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan masing-masing proses bisnis ini.
Hasil rancangan-ulang ini kemudian dapat diimplementasikan di masing-masing instansi pemerintah secara berkelanjutan dengan bimbingan dari lembaga pengawasan internal. Keberhasilan implementasi rancangan-ulang ini akan mendukung secara langsung program pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Sayangnya, saat ini terdapat permasalahan pada lingkungan lembaga pengawasan internal. Masing-masing lembaga pengawasan internal pemerintah masih bekerja sendiri-sendiri, tanpa adanya terkoordinasi. Karena itu, kurang dirasakannya sinerji dan suatu arah yang sama dalam optimalisasi lembaga pengawasan internal. Karena itu, keberadaan lembaga-lembaga pengawasan internal pemerintah perlu ditata-kembali.[1]
Salah satu program yang harus dilakukan untuk menata-kembali lembaga-lembaga pengawasan internal pemerintah adalah dengan meningkatkan kualitas dan independensi lembaga-lembaga tersebut. Yang diusulkan dalam tulisan ini adalah dengan meletakkan lembaga-lembaga pengawasan internal pemerintah secara operasional di bawah sebuah lembaga di tingkat nasional yang setingkat kementerian. Misalnya, Kementerian Urusan Reformasi Sektor Publik dan Pengawasan Internal merangkap Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Nama lain yang diusulkan adalah Kementerian Keuangan dan Pengawasan Pembangunan. Namun, secara administratif, lembaga-lembaga pengawasan internal tersebut tetap berada di bawah masing-masing menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati, atau walikota.
Pemerintah/Presiden akan mendapat manfaat langsung dari keberadaan Kementerian Urusan Reformasi Sektor Publik dan Pengawasan Internal/Kementerian Keuangan dan Pengawasan Pembangunan ini. Selain berperan untuk mempercepat proses reformasi pelayanan publik, lembaga ini juga dapat ditugaskan secara khusus oleh Presiden untuk menangani atau mengkoordinasikan setiap permasalahan yang muncul yang terkait dengan korupsi. Kementerian ini juga dapat ditugaskan secara khusus untuk fokus pada pelaksanaan program pencegahan korupsi.
Demikian gagasan sederhana ini dan mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi kemajuan bangsa ini.
[1] Lembaga-lembaga pengawasan internal yang saat ini ada adalah inspektorat jenderal/inspektorat yang berada di bawah menteri/pimpinan lembaga, inspektorat wilayah yang berada di bawah gubernur, bupati, atau walikota. Selain itu, terdapat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang berada di bawah Presiden. Pada lingkup BUMN/D, terdapat satuan pengawasan intern.
Setelah merenung sejenak, saya mencoba membuat tulisan berikut:
Penguatan birokrasi akan sangat tergantung pada kualitas pengendalian internal pemerintah. Telah disadari bahwa lemahnya pengendalian internal pemerintah menjadi salah satu sebab utama dalam lemahnya birokrasi dan pada akhirnya rendahnya kualitas pelayanan publik.
Dengan bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, peran birokrasi dalam pelayanan publik telah mengalami pasang-surut. Pemerintah telah melakukan beberapa penataan terkait dengan birokrasi. Menteri Pendayagunaan telah menerbitkan pedoman reformasi birokrasi dengan Kepmenpan nomor 15 tahun 2008 yang memberikan acuan reformasi birokrasi pada aspek kelembagaan (organisasi), budaya organisasi, ketatalaksanaan, regulasi birokrasi, dan sumber daya manusia. Reformasi birokrasi itu menyangkut people, process, dan technology.
Terkait dengan reformasi birokrasi ini, dengan surat edaran nomor 0142/M.PPN/06/2009 dan SE-1848/MK/2009, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan baru-baru ini telah menerbitkan Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran. Pada bulan Juni 2009, juga telah disahkan Undang-Undang Pelayanan Publik.
Sayangnya, di lapangan, usaha Pemerintah terkait reformasi birokrasi kurang berjalan dengan baik. Kenyataan di lapangan, tidak banyak perubahan berarti yang dirasakan oleh masyarakat.
Salah satu penyebab hal tersebut adalah kelemahan mesin birokrasi dalam mengeksekusi kebijakan Pemerintah/Presiden. Implementasi atas kebijakan Presiden juga sering kurang terkordinasi. Sebagai contoh, dalam Program Kerja 100 Hari Presiden SBY ketika pertama kali terpilih terdapat “Program Melanjutkan Reformasi Birokrasi”. Namun, sampai saat ini masyarakat belum merasakan hasil nyata reformasi ini.
Kenyataan di lapangan, pengurusan perijinan masih sulit. Misalnya, ketika seseorang ke kantor imigrasi, praktik bisnis pelayanan imigrasi masih berjalan seperti biasanya. Tanpa melewati calo atau dengan uang tips, pelayanan masih kurang baik. Begitu juga dengan pengurusan KTP dan SIM. Belum lagi jika dibahas aspek single identity number (SIN) yang belum juga berhasil diimplementasikan.
Dalam hubungannya dengan reformasi sektor publik, sebenarnya terdapat tindakan nyata yang dibutuhkan, di mana keberhasilan instansi publik dalam memberikan pelayanan publik akan tergantung kepada proses pelayanan yang ada di dalam instansi pelayanan publik. Dalam kenyataannya, proses tersebut banyak yang tidak sinkron atau malah menimbulkan birokrasi yang rumit. Karena itu, proses ini harus ditata-ulang.
Dari penataan-ulang proses pelayanan publik ini, dapat diperoleh perhitungan yang tepat berapa sebenarnya sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan proses tersebut. Sumber daya ini terdiri dari manusia yang dibutuhkan untuk menjalankan proses, pendanaannya, dan perangkat teknologi pendukungnya. Dengan demikian, dari penataan proses ini, Pemerintah dapat membuat program pengembangan sumber daya manusia sektor publik. Tidak hanya dari segi jumlah yang dibutuhkan, tetapi juga kemampuan (skill) yang dibutuhkan.
Dari sini, Pemerintah akan dapat melakukan reformasi birokrasi yang komprehensif, tidak lagi bersifat parsial. Selama ini, penataan birokrasi kebanyakan hanya dilakukan secara terbatas pada penataan kelembagaannya. Belum secara langsung menyentuh aspek sumber daya manusianya.
Dalam rangka melakukan sebuah langkah penting dalam reformasi sektor publik, yaitu penataan proses pelayanan publik tersebut, lembaga pengawasan internal pemerintah memegang peranan yang sangat penting. Lembaga pengawasan internal dapat memberikan peran yang sangat berarti dengan melakukan analisis proses bisnis organisasi publik.
Kegiatan yang pertama sekali harus dilakukan adalah dengan melakukan evaluasi terhadap seluruh proses bisnis sektor publik di instansi pemerintah. Evaluasi tersebut harus dilakukan secara serentak kepada seluruh instansi pemerintah, baik yang berada di pusat maupun di daerah.
Dari evaluasi ini, akan diketahui titik-titik lemah dari proses bisnis instansi pemerintah. Kemudian, dari hasil evaluasi ini akan dilakukan perancangan-ulang proses bisnis di instansi pemerintah, khususnya yang melakukan pelayanan langsung ke publik, termasuk penghitungan kembali sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan masing-masing proses bisnis ini.
Hasil rancangan-ulang ini kemudian dapat diimplementasikan di masing-masing instansi pemerintah secara berkelanjutan dengan bimbingan dari lembaga pengawasan internal. Keberhasilan implementasi rancangan-ulang ini akan mendukung secara langsung program pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Sayangnya, saat ini terdapat permasalahan pada lingkungan lembaga pengawasan internal. Masing-masing lembaga pengawasan internal pemerintah masih bekerja sendiri-sendiri, tanpa adanya terkoordinasi. Karena itu, kurang dirasakannya sinerji dan suatu arah yang sama dalam optimalisasi lembaga pengawasan internal. Karena itu, keberadaan lembaga-lembaga pengawasan internal pemerintah perlu ditata-kembali.[1]
Salah satu program yang harus dilakukan untuk menata-kembali lembaga-lembaga pengawasan internal pemerintah adalah dengan meningkatkan kualitas dan independensi lembaga-lembaga tersebut. Yang diusulkan dalam tulisan ini adalah dengan meletakkan lembaga-lembaga pengawasan internal pemerintah secara operasional di bawah sebuah lembaga di tingkat nasional yang setingkat kementerian. Misalnya, Kementerian Urusan Reformasi Sektor Publik dan Pengawasan Internal merangkap Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Nama lain yang diusulkan adalah Kementerian Keuangan dan Pengawasan Pembangunan. Namun, secara administratif, lembaga-lembaga pengawasan internal tersebut tetap berada di bawah masing-masing menteri, pimpinan lembaga, gubernur, bupati, atau walikota.
Pemerintah/Presiden akan mendapat manfaat langsung dari keberadaan Kementerian Urusan Reformasi Sektor Publik dan Pengawasan Internal/Kementerian Keuangan dan Pengawasan Pembangunan ini. Selain berperan untuk mempercepat proses reformasi pelayanan publik, lembaga ini juga dapat ditugaskan secara khusus oleh Presiden untuk menangani atau mengkoordinasikan setiap permasalahan yang muncul yang terkait dengan korupsi. Kementerian ini juga dapat ditugaskan secara khusus untuk fokus pada pelaksanaan program pencegahan korupsi.
Demikian gagasan sederhana ini dan mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi kemajuan bangsa ini.
[1] Lembaga-lembaga pengawasan internal yang saat ini ada adalah inspektorat jenderal/inspektorat yang berada di bawah menteri/pimpinan lembaga, inspektorat wilayah yang berada di bawah gubernur, bupati, atau walikota. Selain itu, terdapat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang berada di bawah Presiden. Pada lingkup BUMN/D, terdapat satuan pengawasan intern.
Komentar