Langsung ke konten utama

DIKOTOMI PERSEPSI

DIKOTOMI PERSEPSI
Oleh: Tutung Handaru Susilo

Tanpa sadar pikiran kita sering terjebak pada dikotomi persepsi. Tanpa sadar pikiran kita digiring dengan berbagai opini oleh para pihak yang memang pandai memainkan 'mind game' dan psikologi publik. Tanpa sadar pikiran kita akan berpersepsi bahwa A lebih baik dari B. Tanpa mengenal sesungguhnya siapa A dan siapa B.

Pun karena sejak kecil kita terbiasa dicekoki dengan ikon-ikon dan simbol-simbol yang membuat kita berpikir bahwa ikon ini baik itu tidak. Mungkin hampir semua anak pernah mendengar dongeng kancil dan buaya. Buaya dipersepsikan jahat sedangkan kancil baik. Tanpa harus berpikir kenapa buaya jahat kepada kancil.

Hampir semua cerita maupun film dinegeri ini tidak pernah ada menampilkan sosok guru atau polisi atau jaksa atau hakim yang jahat. Semua dipersepsikan sebagai orang baik. Terkadang pun dalam suatu waktu kita pernah berpersepsi; orang kaya itu jahat; orang miskin baik; militer itu jahat; sipil itu baik; orang cina itu jahat; pribumi itu baik. Itu semua hanyalah dikotomi persepsi.

Sekarang pun dikotomi persepsi terjadi lagi. Hampir semua orang berpandangan POLRI itu jahat; KPK itu baik, tanpa mengenal lebih jauh apa itu institusi POLRI dan apa itu institusi KPK. Beberapa waktu lalu pun ketika BPKP akan mengaudit KPK; opini yang dibentuk adalah BPKP jahat; KPK baik.

Banyak orang tidak sadar atau tidak tahu bahwa di KPK pun banyak unsur. Ada personil dari POLRI, Kejaksaan, BPKP maupun unsur lainnya. Lalu apakah setiap personil yang masuk ke KPK, bim salabim, langsung bisa berubah menjadi orang bersih tanpa cacat dan cela. Saya rasa tidak semudah itu seseorang bertransendental menjadi pribadi yang sempurna setelah berpuluh tahun berkecimpung diprofesi masing-masing.

Bagaimanapun KPK ataupun POLRI hanyalah institusi yang masing-masing mempunyai personil dengan kepribadian, kekuatan maupun kelemahannya. Tetapi tanpa sadar saat ini (oleh media massa) kita memang sedang diajak berpersepsi bahwa institusi KPK itu baik; sedangkan POLRI tidak. Tanpa sadar bahwa KPK atau POLRI hanyalah baju dan tidak serta merta mencerminkan pribadi yang memakainya. Sama seperti para terdakwa di depan pengadilan yang hampirnya seluruh pasti berbaju kemeja putih lengan panjang dan berpeci. (bahkan Ryan si jagal jombang berpeci putih dan bersorban). Semua itu adalah upaya mind game bukan serta merta menjamin pribadi yang memakainya seputih kemejanya.

Jadi pada intinya cobalah untuk tidak terjebak pada dikotomi persepsi; bahwa KPK itu baik; POLRI itu jahat; Buaya itu jahat; Cicak itu baik (padahal cicak mungkin jahat juga sama nyamuk). Berpikirlah secara jernih. There's good and bad in everyone. Tidak setiap personil KPK pasti baik dan tidak setiap personil POLRI pasti jahat. It's human nature.

Kalau kita memang mendukung pemberantasan korupsi; maka kita juga harus ikut berpikir:
1) Kenapa gaji para penegak hukum lainnya tidak dinaikkan juga setara dengan para personil KPK sehingga kinerjanya meningkat
2) Kenapa kewenangan para penegak hukum lainnya tidak ditingkatkan juga setara dengan KPK sehingga kerjanya menjadi lebih efektif
3) Kalau KPK boleh menyadap, kenapa para penegak hukum lainnya tidak boleh. toh terbukti penyadapan salah satu cara efektif menjerat koruptor.

Last but not least. Bagaimanapun institusi KPK yang baik harus dipertahankan; namun (apabila ada) oknum yang buruk ya harus dibersihkan.

Maju terus maju KPK; maju terus POLRI; bersihkan para oknum di negeri ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) ...

Internal Auditor dan Jasa Consulting

Pernyataan berikut sering muncul: “Bahwa BPKP itu fungsinya audit. Audit itu mencocokan apakah sesuatu sesuai dengan suatu standar tertentu. Jadi harus ada standardnya dulu. Kemudian ada pekerjaan atau proses melakukan sesuatu (yang diatur oleh standardnya) terlebih dulu. Baru kemudian bisa di audit. Oleh BPKP Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan? Nah kalau BPKP mendampingi … mestinya ya nggak tepat ??? Kapan meng-audit dan assessment-nya? Kalau ada yang menyimpang, yang salah yang menyimpang atau yang mendampingi?” Hal itu tidaklah salah total. Sebab, masyarakat awam selama ini sering menganggap bahwa kegiatan auditor hanyalah membandingkan antara apa yang diimplementasikan di lapangan dengan apa yang seharusnya. Kegiatan audit ini biasanya dikenal sebagai compliance audit yang sebenarnya hanyalah salah satu peran yang dapat diberikan oleh internal auditor sebagai bagian dari jasa assurance. Padahal, sebenarnya banyak kegiatan jasa assurance lainnya yang dapat diberikan auditor. Ar...

KENAPA SPBU PETRONAS GAGAL BERBISNIS DI INDONESIA?

Muncul publikasi di media tentang ditutupnya SPBU Petronas di Indonesia. Akhirnya, perusahaan unggul milik pemerintah Malaysia ini hengkang juga dari Indonesia. Sebenarnya, saya telah lama melihat keanehan SPBU Petronas ini. Setiap saya melewatinya, bisa dibilang hampir-hampir tidak ada pengunjungnya. Keanehan kedua, menurut saya, pemilihan lokasinya yang tidak tepat. Hal ini berbeda sekali dengan SPBU Shell. Walaupun harganya mahal mengikuti harga minyak dunia, SPBU milih Belanda ini masih memiliki pengunjung yang lumayan. Salah satu sebabnya adalah pemilihan lokasi yang tepat. Saya menjadi bertanya, kenapa perusahaan sekaliber Petronas bisa salah menempatkan SPBU-nya di Indonesia. Anehnya, Petronas dengan semangat langsung memasang jumlah pompa yang banyak. Bandingkan dengan SPBU Shell yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan pasar. Saya menduga ada 2 penyebab kesalahan strategi Petronas tersebut. Keduanya terkait perencanaan masuk ke pasar. Dugaan pertama saya, Petronas salah ...