Saya posting kembali artikel ini sebagaimana dipublikasikan pada Majalah Trust, Nomor. 44/2008
Dengan demikian, tidak terjadi debat kusir tentang prosedur penyadapan ini dan KPK bisa kembali menjalankan tugasnya dengan pengendalian yang ketat.***
Mengatur Penyadapan KPK
Rudy M. Harahap
Rudy M. Harahap
(Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi)
Akhirnya, DPR gerah juga dengan penyadapan yang dilakukan KPK. Seorang anggota DPR dari Partai Demokrat sangat gencar menyuarakan pentingnya pengendalian penyadapan oleh KPK. Dalam suatu pertemuan dengan KPK di DPR, ia menyatakan negara akan kacau jika semua aparat negara--termasuk Presiden--disadap oleh KPK tanpa pengendalian yang ketat.
Sebenarnya, saya sudah lama geli dengan tidak adanya anggota DPR yang mempermasalahkan prosedur KPK dalam penyadapan. Memang, sesuai dengan Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK berwenang melakukan penyadapan. Namun, dalam UU ini tidak diatur lebih lanjut bagaimana sebenarnya prosedur penyadapan tersebut.
Di negara maju, penyadapan adalah tindakan yang sangat dikontrol. Sebab, tindakan penyadapan akan memasuki area privasi seseorang. Negara tidak hanya berkewajiban untuk menindak pelanggaran hukum, tetapi juga melindungi privasi warga negaranya. Bahkan, negara maju seperti Amerika Serikat pun, dalam melakukan penyadapan terhadap teroris, memiliki mekanisme pengendalian yang ketat.
Salah satu standar umum yang digunakan di luar negeri, penyadapan hanya bisa dilakukan jika mendapat izin dari pengadilan. Kenapa penyadapan diatur secara ketat? Banyak alasannya. Selain untuk menghindari penyalahgunaan alat penyadap, juga untuk kepentingan perlindungan privasi seorang warga negara. Sebab, dalam suatu kegiatan penyadapan, bisa terjadi ada rekaman pembicaraan atau gambar yang sifatnya pribadi ternyata juga tersadap. Misalnya, pembicaraan antara suami-istri yang sifatnya amat pribadi. Atau, dalam hal tertentu, bisa terjadi, seorang warga negara mempunyai pasangan kencan tidak resmi. Akan sangat menyinggung perasaan dan sudah memasuki area pribadi seseorang jika ternyata penyadapan merekam suasana kencan dan bahkan sampai didengar oleh pasangan resmi yang disadap.
Untuk mendapat izin dari pengadilan, di negara lain, suatu penyadapan hanya bisa dilakukan terhadap seorang tersangka yang telah terdapat bukti awal sebelumnya. Misalnya, terdapat dokumen yang belum ditemukan dokumen aslinya. Adanya pengakuan dari seorang saksi juga bisa menjadi awal untuk meminta izin penyadapan. Dengan demikian, penyadapan sebenarnya adalah alat untuk memperkuat suatu bukti, bukan bukti utama.
Sebenarnya, dengan diundangkannya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, intersepsi atau penyadapan oleh KPK tidak dapat dilakukan dengan kebiasaan lama. Menurut Pasal 31 UU ini, setiap orang dilarang melakukan penyadapan, kecuali penyadapan tersebut dilakukan kejaksaan, kepolisian, dan/atau instansi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Artinya, sebuah lembaga penegak hukum pun hanya dapat melakukan penyadapan jika diberikan kekuasaan dengan undang-undang. Hanya lembaga-lembaga khusus tertentu yang diberikan kewenangan ini. Bahkan, tidak semua badan intelejen mempunyai kewenangan legal itu.
Akan tetapi, kewenangan penyadapan ini oleh lembaga penegak hukum sebenarnya tidak dengan mudahnya untuk dieksekusi. Sebab, berdasarkan ayat (4) pasal tersebut, ketentuan prosedur penyadapan masih harus diatur lagi dengan peraturan pemerintah. Namun, sampai saat ini, peraturan pemerintah tersebut belum muncul. Bahkan draftnya pun belum terdengar.
Kalau saja DPR akan mengatur mengenai penyadapan ini, mestinya mereka fokus untuk memberi tekanan ke pemerintah agar peraturan pemerintah yang mengatur penyadapan segera diterbitkan. Kemudian, mengingat RUU Pengadilan Tipikor sudah masuk ke DPR, sebaiknya DPR mempertegas dalam RUU tersebut bahwa aturan mengenai pengadilan mana yang berhak menerbitkan izin penyadapan segera diatur dalam UU Pengadilan Tipikor.
Akhirnya, DPR gerah juga dengan penyadapan yang dilakukan KPK. Seorang anggota DPR dari Partai Demokrat sangat gencar menyuarakan pentingnya pengendalian penyadapan oleh KPK. Dalam suatu pertemuan dengan KPK di DPR, ia menyatakan negara akan kacau jika semua aparat negara--termasuk Presiden--disadap oleh KPK tanpa pengendalian yang ketat.
Sebenarnya, saya sudah lama geli dengan tidak adanya anggota DPR yang mempermasalahkan prosedur KPK dalam penyadapan. Memang, sesuai dengan Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK berwenang melakukan penyadapan. Namun, dalam UU ini tidak diatur lebih lanjut bagaimana sebenarnya prosedur penyadapan tersebut.
Di negara maju, penyadapan adalah tindakan yang sangat dikontrol. Sebab, tindakan penyadapan akan memasuki area privasi seseorang. Negara tidak hanya berkewajiban untuk menindak pelanggaran hukum, tetapi juga melindungi privasi warga negaranya. Bahkan, negara maju seperti Amerika Serikat pun, dalam melakukan penyadapan terhadap teroris, memiliki mekanisme pengendalian yang ketat.
Salah satu standar umum yang digunakan di luar negeri, penyadapan hanya bisa dilakukan jika mendapat izin dari pengadilan. Kenapa penyadapan diatur secara ketat? Banyak alasannya. Selain untuk menghindari penyalahgunaan alat penyadap, juga untuk kepentingan perlindungan privasi seorang warga negara. Sebab, dalam suatu kegiatan penyadapan, bisa terjadi ada rekaman pembicaraan atau gambar yang sifatnya pribadi ternyata juga tersadap. Misalnya, pembicaraan antara suami-istri yang sifatnya amat pribadi. Atau, dalam hal tertentu, bisa terjadi, seorang warga negara mempunyai pasangan kencan tidak resmi. Akan sangat menyinggung perasaan dan sudah memasuki area pribadi seseorang jika ternyata penyadapan merekam suasana kencan dan bahkan sampai didengar oleh pasangan resmi yang disadap.
Untuk mendapat izin dari pengadilan, di negara lain, suatu penyadapan hanya bisa dilakukan terhadap seorang tersangka yang telah terdapat bukti awal sebelumnya. Misalnya, terdapat dokumen yang belum ditemukan dokumen aslinya. Adanya pengakuan dari seorang saksi juga bisa menjadi awal untuk meminta izin penyadapan. Dengan demikian, penyadapan sebenarnya adalah alat untuk memperkuat suatu bukti, bukan bukti utama.
Sebenarnya, dengan diundangkannya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, intersepsi atau penyadapan oleh KPK tidak dapat dilakukan dengan kebiasaan lama. Menurut Pasal 31 UU ini, setiap orang dilarang melakukan penyadapan, kecuali penyadapan tersebut dilakukan kejaksaan, kepolisian, dan/atau instansi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Artinya, sebuah lembaga penegak hukum pun hanya dapat melakukan penyadapan jika diberikan kekuasaan dengan undang-undang. Hanya lembaga-lembaga khusus tertentu yang diberikan kewenangan ini. Bahkan, tidak semua badan intelejen mempunyai kewenangan legal itu.
Akan tetapi, kewenangan penyadapan ini oleh lembaga penegak hukum sebenarnya tidak dengan mudahnya untuk dieksekusi. Sebab, berdasarkan ayat (4) pasal tersebut, ketentuan prosedur penyadapan masih harus diatur lagi dengan peraturan pemerintah. Namun, sampai saat ini, peraturan pemerintah tersebut belum muncul. Bahkan draftnya pun belum terdengar.
Kalau saja DPR akan mengatur mengenai penyadapan ini, mestinya mereka fokus untuk memberi tekanan ke pemerintah agar peraturan pemerintah yang mengatur penyadapan segera diterbitkan. Kemudian, mengingat RUU Pengadilan Tipikor sudah masuk ke DPR, sebaiknya DPR mempertegas dalam RUU tersebut bahwa aturan mengenai pengadilan mana yang berhak menerbitkan izin penyadapan segera diatur dalam UU Pengadilan Tipikor.
Dengan demikian, tidak terjadi debat kusir tentang prosedur penyadapan ini dan KPK bisa kembali menjalankan tugasnya dengan pengendalian yang ketat.***
Ilustrasi: Majalah Trust
Komentar
[1] Penyadapan kepada warga negara biasa : Tidak boleh - kecuali jika ada indikasi kriminalitas yang KUAT dan dilakukan dengan melalui prosedur yang jelas
[2] Penyadapan kepada pejabat negar a : Boleh dilakukan oleh KPK dengan cara apa saja, kapan saja, dimana saja.
Persyaratan: ada indikasi awal bahwa ybs melakukan tindak pidana.
Jika penyadapan kepada pejabat dipersulit, maka KPK akan mandul dan tidak lagi bisa se efektif sekarang ini.
Terimakasih.