Baru-baru ini, Presiden Prabowo menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, yang meminta adanya efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada tahun anggaran 2025 ini.
Walaupun Instruksi Presiden ini lebih dipahami sebagai usaha efisiensi, tetapi isinya lebih banyak menyangkut penghematan (keekonomisan). Hal ini mengingat bahwa isinya lebih kepada pemotongan anggaran (budget cut) sebelum penggunaan masukan (input) daripada upaya peningkatan keluaran (output) dengan meminimalkan penggunaan masukan.
Begitu populernya upaya efisiensi sehingga memunculkan pro dan kontra dari masyarakat. Beberapa kalangan melihatnya sebagai pemotongan anggaran tanpa didukung kajian yang matang, tetapi beberapa pihak lainnya melihat hal ini sebagai peluang untuk meningkatkan kinerja pembangunan.
Sebab, selama ini anggaran negara/daerah yang tertuang dalam dokumen APBN dan APBD lebih banyak dihabiskan untuk kepentingan internal organisasi pemerintahan dan politisi daripada yang memberikan manfaat langsung kepada rakyat.
Pada kenyataannya, anggaran negara/daerah tersebut telah menjadi 'bancakan' para politisi. Pada tingkatan APBN, peran anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sangat kuat dalam mengatur alokasi anggaran sesuai dengan kepentingannya melalui 'dana aspirasi'. Sementara ini, di tingkatan APBD, hal ini dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui 'pokok pikiran'.
Dengan demikian, sebenarnya tidak terlalu banyak ruang bagi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam menyusun rencana program/kegiatan dan mengalokasikan anggarannya sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan. Apalagi, terdapat berbagai regulasi yang mengatur alokasi anggaran tersebut. Sebagai contoh, anggaran pendidikan telah diatur oleh Konstitusi minimal sebesar 20 persen.
Konsekuensinya, pimpinan organisasi pemerintahan sebenarnya tidak punya banyak fleksibilitas dalam merencanakan dan menganggarkan kebutuhan organisasi sesuai dengan mandat yang dimiliki. Sering sekali, mandatnya besar, tetapi anggarannya terbatas. Namun demikian, dapat juga terjadi sebaliknya, yaitu mandat yang terbatas, tetapi anggarannya besar.
Dalam skala global, rencana dan anggaran yang dirancang ini menjadi tidak terlalu berguna sebagai alat pengendalian (budget control). Karenanya, rencana dan anggaran yang disahkan selama ini lebih untuk kepentingan administratif formal daripada substantif.
Itu sebabnya, tindakan Prabowo memotong anggaran kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, yang kemudian mengalokasikannya untuk kepentingan lain sebenarnya perlu diacungi jempol. Dengan pemotongan itu, Pemerintah bisa mengalokasikan anggaran sesuai dengan kebutuhannya.
Sayangnya, yang berkembang kemudian adalah pemotongan anggaran itu hanya untuk kepentingan pembiayaan Makan Bergizi Gratis (MBG). Penjelasan akan dialokasikan ke mana anggaran yang sudah dipotong itu kurang terungkap. Mungkin, hal ini untuk memudahkan Pemerintah memenuhi kebutuhan anggaran yang dinamis, terutama di situasi perang di beberapa belahan dunia saat ini.
Sisi lain yang juga kurang dibahas adalah efek lanjutan dari program/kegiatan yang mendapat alokasi anggaran tambahan dari hasil pemotongan tersebut. Sebagai contoh, pembiayaan MBG sebenarnya akan memunculkan sisi penyediaan bahan pangan di daerah. Hal ini akan memunculkan kebutuhan petani dan peternak di daerah, termasuk lahannya. Mereka mestinya diperhitungkan dan kemudian juga didorong untuk tertib membayar pajak atau kewajibannya sehingga sumber pembiayaan negara/daerah juga berkembang.
Bahkan, dengan tumbuhnya petani dan peternak di daerah karena adanya permintaan dari program MBG, bangsa Indonesia bisa mulai menjadi bangsa produsen yang mengekspor hasil pertanian dan peternakannya ke negara lain. Kita tentu memahami bahwa dengan jumlah penduduk yang begitu besar, selama ini Indonesia hanya dijadikan bangsa yang mengkonsumsi produk dari negara lain. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini juga lebih ditopang dari pertumbuhan konsumsi tersebut, daripada pertumbuhan produksi.
Sudah saatnya, seluruh unsur kementerian/lembaga dan pemerintah daerah mengambil peran yang dapat menjaga ketersediaan di sisi supply program MBG. Selain mencerdaskan anak-anak kita, pengembangan di sisi supply program MBG ini akan memungkinkan Indonesia semakin mandiri di masa depan.
Anda sepakat?
Komentar