Langsung ke konten utama

KENAPA SPBU PETRONAS GAGAL BERBISNIS DI INDONESIA?



Muncul publikasi di media tentang ditutupnya SPBU Petronas di Indonesia. Akhirnya, perusahaan unggul milik pemerintah Malaysia ini hengkang juga dari Indonesia.

Sebenarnya, saya telah lama melihat keanehan SPBU Petronas ini. Setiap saya melewatinya, bisa dibilang hampir-hampir tidak ada pengunjungnya. Keanehan kedua, menurut saya, pemilihan lokasinya yang tidak tepat.

Hal ini berbeda sekali dengan SPBU Shell. Walaupun harganya mahal mengikuti harga minyak dunia, SPBU milih Belanda ini masih memiliki pengunjung yang lumayan. Salah satu sebabnya adalah pemilihan lokasi yang tepat.

Saya menjadi bertanya, kenapa perusahaan sekaliber Petronas bisa salah menempatkan SPBU-nya di Indonesia. Anehnya, Petronas dengan semangat langsung memasang jumlah pompa yang banyak. Bandingkan dengan SPBU Shell yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan pasar.

Saya menduga ada 2 penyebab kesalahan strategi Petronas tersebut. Keduanya terkait perencanaan masuk ke pasar. Dugaan pertama saya, Petronas salah memilih konsultan riset. Bisa jadi Petronas untuk menjaga citranya memilih konsultan riset dari orang asing, bukan konsultan riset Indonesia. Akibatnya, banyak interpretasi yang salah dari riset pasar. Sebagai contoh, bisa jadi periset menanyakan ke responden apakah jika Petronas membangun SPBU-nya di Indonesia mereka mau menggunakan SPBU tersebut? Tentu orang Indonesia cenderung menjawab "ya". Padahal jawaban tersebut harus divalidasi lagi. Sebab, bagaimanapun orang Indonesia itu sangat nasionalis. Jika perbedaan harga dan kualitas tidak signifikan, tentu orang Indonesia lebih memilih perusahaan nasional.

Interpretasi yang salah terhadap persepsi orang Indonesia ini pernah saya temui ketika saya rapat dengan orang asing yang berkewarganegaan Australia. Orang asing yang konsultan ini sangat senang karena, katanya, rapat berjalan dengan baik, sesuai dengan harapan. Semua pihak sepakat dengan apa yang diusulkan dengan indikator tidak adanya debat frontal dari peserta rapat.

Saya terpaksa harus menjelaskan interpretasi yang salah tersebut, yaitu dengan menjelaskan bahwa peserta rapat sungkan menyatakan pendapatnya karena di rapat tersebut ad

a pimpinannya. Dari bahasa tubuh, peserta rapat tampaknya tidak setuju. Akhirnya, konsultan tersebut mendalami lagi apa yang diinginkan peserta rapat dan mengubah strateginya.

Penyebab kedua kesalahan Petronas memilih strategi memasuki pasar, dugaan saya, bisa jadi adalah adanya konflik kepentingan konsultan perencana. Ada kebiasaan buruk di Indonesia yang mungkin tidak diketahui Petronas, yaitu konsultan perencana cenderung tidak mengambil untung pada waktu pelaksanaan kontrak konsultan. Mereka biasanya berharap mengambil untung dari fee kontraktor terpilih.

Kebiasaan ini, jika tidak dikendalikan hati-hati, bisa mengakibatkan apa yang direncanakan akan jauh lebih besar dari kebutuhan market. Lihat saja dari jumlah pompa yang dibangun per stasiun. Jumlahnya sangat tidak logis sekali untuk pemula yang akan memasuki pasar Indonesia.

Dugaan saya, konsultan perencana sengaja memperbesar kebutuhan agar nilai proyek pada waktu diimplementasikan sangat besar. Dengan demikian, konsultan perencana juga akan mendapat fee yang besar dari kontraktor.

Harapan saya, mudah-mudahan bukan karena dugaan kedua, tetapi lebih karena salah interpretasi hasil riset pasar. Namun, pembelajaran yang diperoleh, para investor mesti lebih bijak ketika akan berinvestasi di Indonesia.

Komentar

Unknown mengatakan…
Orang Indonesia itu pintar memilih, rasa sentimen orang indonesia terhadap malaysia padat dipertimbangkan.
marto mengatakan…
pendapat anda saya pikir salah.petronas gagal krn sentimen negatif pasar/konsumen trhp pfoduk malesia bukan krn lokasi tdk strstegis.lokasi2 mreka jlas sgt strategis.lihat di fatmawati ada shell petronas tpi yg untung shell pdhl lokasinya satu ruas jln yg sama.

banyak gejala ekonomi yg tdk harus melulu dilihat dri kacamata ilmu ekonomi....

Rudy M Harahap mengatakan…
Bung Koplo, saya sudah tulis, tapi dengan kalimat berikut:

"Sebab, bagaimanapun orang Indonesia itu sangat nasionalis. Jika perbedaan harga dan kualitas tidak signifikan, tentu orang Indonesia lebih memilih perusahaan nasional."

Artinya, bukan hanya terhadap perusahaan Malaysia. Terhadap perusahaan Belanda juga demikian. Masalahnya, kenapa Petronas tidak mengantipasi sentimen itu? Koq nekad?
Anonim mengatakan…
Saya dulu pelanggan Petronas Cibubur. Rutin 2x seminggu. Tapi ada bbrp faktor yg menyebabkan saya lalu pindah ke Shell (pdk Indah, Cibubur, Jagorawi). Antara lain layanan tambahan pompa angin di Petronas, cepat sekali rusak dan tidak kunjung diperbaiki. Masalah serupa juga terjadi di Shell tapi biasanya hanya seminggu atau 10 hari sudah beres. Sampai saat2 terakhir pun saya masih mampir Petronas Cibubur dan kecewa krn pompa anginnya masih saja rusak. Kalau untuk masalah sekecil dan sesederhana pompa angin saja gagal, bagaimana kualitas bahan bakar dan akurasi ukuran bisa terjamin?
Anonim mengatakan…
Saya kira bukan karna riset pasarnya yg salah tapi cenderung krn sentimen emosional masyarakat kita terhadap negara asal perusahaan tersebut.

kalau dikira krn pompa bensin yg terlalu banyak. sbnarnya itu strategi yg bagus.
semakin bnyak pompa bensin dan tempatnya bersih maka akan semakin menarik.
kita contohkan; jika di satu ruas jalan ada dua SPBU PERTAMINA,
yg satu pompanya sedikit dan temptnya ktr.
dan yg ke2 pompanya banyak plus tempatnya jg bersih. maka cenderung kita akan memilih yg kedua..
Anonim mengatakan…
Syukur deh malon hengkang dari Indonesia,,,
Anonim mengatakan…
Eric Walintoekan :

Saya termasuk salah satu yang sangat antusias dengan hadirnya Petronas saat itu. Segera saya beralih menggunakan minyak pelumas Petronas yang harus diakui API spec nya lebih tinggi dibanding productlainnya yang sejenis. Rasa sentimen kebangsaan saya sangat terusik dengan sikap arogan Malaysia soal Sipadan Ligitan maupun klaim mereka terhadap budaya Indonesia (reog dll). Seketika saya bersikap 'Go to hell with their products' . . . Rupanya dalam lingkungan terbatas (saudara, ipar dll) juga banyak berhenti menggunakan product Petronas dengan alasan yang sama. Dan saya yakin begitu banyak orang melakukan hal yang sama. No wonder SPBU Petronas perlahan tapi pasti meredup (termasuk penerangan malam hari) dan akhirnya ditutup. For sure penutupan bukan dikarenakan alasan2 ekonomi . . .
Anonim mengatakan…
ini sudah sentimen anti produk malaysia..udah itu aja ga usah dicari-cari alasan teoritis-nya. ga cmn SPBU liat juga produk2 PROTON. Proton Exora itu mgk lebih bagus dibanding Avanza dengan kisaran harga relatif sama. Buktinya ga laku juga,
Unknown mengatakan…
Cepat cepatlah hengkang petronas dari negeriku
SLASENZA mengatakan…
Saya kira ini terkait erat dengan lemahnya manajemen bisnis hilir Petronas, yang selama ini memang terfokus pada bisnis hulu. Indonesia, bagi mereka, merupakan eksperimentasi dan pengalaman pertama bagi Petronas dalam mengelola bisnis hilir, dan terbukti mereka tidaklah mampu bersaing.
Anonim mengatakan…
Kalau saya,..
1. Produk Malaysia----- gak simpatik, najong tralala.
2. Warna SPBU Hijau-Hitam-Putih, bagi saya gak menarik
3. Saya pernah isi Bensin di Petronas Bekasi, hasil literannya? CACING CAU !!!
Anonim mengatakan…
Boikot produk malaysiaL....INDONESIA TAK PANTAS PERLAKUKAN MALAYSIAL DENGAN BAIK SELAMA WARGA INDONESIA JADI BULANAN KEGANASAN POLISI DAN OKNUM MALAYSIAL....HENGKANG KAU MALAYSIAL DARI INDONESIA
Anonim mengatakan…
Jatuhnya memang krna embel2 MALAYSIA itu...sdikit2 produk 'toko sebelah' jg rontok...otomotif,penerbangan s/d pakan ternak asal MALAYSIA mulai merosot...krna masyarakat kita sngt nasionalis..lagi pula kualitasnya jg gak bagus2 amat...
Anonim mengatakan…
Menurut saya bukan karena riset pasar yang salah ataupun pemilihan tempat yang tidak stragtegis. lihat saja Petronas yang berdiri di Tanah kusir Jakarta Selatan, menurut saya tempat itu sangat baik untuk berbisnis, posisi sebelah kiri ketika jam pulang kantor.

jadi menurut hemat saya, yang paling tidak memungkinkan untuk Petronas ini adalah:

1. ketika baru berdirinya Petronas, sempat tersebar informasi melalui email bahwa BBM Petronas mengambil dari kilang minyak Pertamina. jadi buat apa beli lebih mahal jika barang yang digunakan tidak lebih baik.

2. orang Indonesia sangat Nasionalis, ketika Malaysia membuat masalah dengan Indonesia, mis: klaim Batik, Rendang, kasus TKI yang diperlakukan tidak manusiawi dan masih banyak lagi. hal ini secara tidak langsung membuat orang Indonesia merasa sebal dengan produk2 Malaysia.
Rudy M Harahap mengatakan…
Kalau posisi SPBU itu adalah pas orang pulang, justru itu menurut saya yang tidak pas. Orang Indonesia tidak mengisi BBM ketika pulang, tetapi justru ketika akan berangkat, terkecuali kendaraan angkutan umum. Belanja ini yang anehnya kenapa tidak dipahami pada saat riset.
Rudy M Harahap mengatakan…
Kalau posisi SPBU itu adalah pas orang pulang, justru itu menurut saya yang tidak pas. Orang Indonesia tidak mengisi BBM ketika pulang, tetapi justru ketika akan berangkat, terkecuali kendaraan angkutan umum. Belanja ini yang anehnya kenapa tidak dipahami pada saat riset.
Urusan bensin adalah urusan yang sangat sensitif bagi kebanyakan masyarakat indonesia. Jika mereka tidak buru-buru mereka rela antri beli bensin yang lebih murah meski bedanya 100 perak, namun bila mereka buru-buru mereka akan pilih membantu saudaranya yang mencari peruntungan dengan jualan bensin di gang-gang rumahnya meski lebih mahal 500 perak
Anonim mengatakan…
Saya kurang sependapat masalah lokasi yang tidak tepat, karena sebagian besar yang saya ketahui, mempunyai lokasi yang strategis. Saya pernah memikirkan kenapa Shell bisa berhasil dengan baik, saya berpendapat kedatangan Shell adalah disaat yang tepat, karena pada waktu itu banyak masyarakat tidak puas dengan Pertamina karena masih menggunakan pompa bensin yang lama tanpa printer selain itu juga sering kasus manipulasi meter dilakukan dibeberapa pompa bensin. Shell datang dengan pelayanan yang lebih memuaskan, tanker yang bonafid sehingga susah untuk "kencing" dijalan sehingga mutu terjamin, receipt on line (beberapa perusahaan mengharuskan karyawan mendapatkan receipt seperti ini), petugas pengisian yang sopan, service cleaning windshield yang tidak pernah didapat dari SPBU Pertamina saat itu selain juga fasilitas kamar kecil yang manusiawi serta global brand dari Shell. Setelah puas dengan segala inovasi pelayanan ini, susah untuk kembali ke Pertamina walaupun sekarang sudah memperlihatkan pelayanan jauh lebih baik. Beberapa kali saya terpaksa harus beli BBM di Petronas Jababeka, namun sangat mengecewakan karena kualitas SDM serta sistim pencetakan receipt yang sangat tidak praktis.
Unknown mengatakan…
saya jg kurang spendapat dengan anda yang dapat, cabai mahal oleh karna d sebabkan melonjak nya harga minyak masak dunia... Jadi menurut anda saya ini tidak tepat,
Anonim mengatakan…
Hehe lucu banget komen unknown diatas. Bravoo
Anonim mengatakan…
komen unknown hasil google translate.jadi gak nyambung
dkt mengatakan…
Petronas pergi., air asia bedol negara ke jakarta dah siap nih ikut jejak petronas . . .

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b