Saya sering melihat mudah lunturnya idealisme para aktivis civil society di Indonesia. Dalam jangka pendek, banyak aktivis yang bisa mempertahankan idealismenya. Namun, dalam jangka panjang, tidak banyak aktivis yang bisa bertahan dengan idealismenya. Karena itu, kalau kita melihat pergerakan kaum muda dari catatan sejarah, pergerakan itu umumnya malah dimotori oleh kaum birokrat. Lihatlah contoh Budi Utomo yang dimotori oleh birokrat atau priyayi kedokteran. Bandingkan misalnya dengan aktivis PRD yang kini kendor idealismenya ketika menjadi staf khusus kepresidenan atau menjadi anggota parlemen.
Hal ini telah mengganggu pikiran saya sejak lama. Saya membandingkannya dengan dunia civil society atau non-government organisation di negara maju. Pertanyaan saya, kenapa aktivis civil society bisa bertahan lama di negara-negara Eropa? Bahkan, di sana tidak jarang jika aktivis civil society menjadi profesi seseorang dan ditekuni sampai akhir hayatnya. Kenapa di Indonesia tidak? Kenapa akhirnya di Indonesia malah mereka beralih menjadi orang government? Baik dalam bentuk sebagai anggota parlemen, anggota komisi, atau kepala daerah. Sebagai contoh, sekarang ini rekan saya dari aktivis civil society sedang berjuang menjadi kepala daerah.
Saya mempunyai asumsi bahwa hal itu dikarenakan tidak adanya social safety net yang sistematik di negara kita. Yang ada baru bersifat sporadis, seperti BLT, PKH, dan sejenisnya. Wajar saja di negara lain idealisme para aktivis itu bisa dipertahankan karena kebutuhan minimal mereka sudah terpenuhi. Sebagai contoh, jika seorang aktivis dipecat dari organisasinya, mereka tidak perlu takut tidak dapat memenuhi kebutuhan primer, seperti makan dan kesehatan, karena pasti dapat dipenuhi dari social safety net, asalkan mau antri dan seadanya.
Hal ini tidak terjadi di Indonesia. Jika seseorang dipecat dari organisasinya, mereka para aktivis tidak memiliki jaring pengaman. Paling-paling, jaring pengaman mereka adalah keluarganya. Karena itu, aktivis yang bisa mempertahankan idealismenya adalah mereka yang memiliki keluarga yang mapan. Aktivis yang keluarganya tidak mapan akan mudah "dibeli" oleh kekuasaan. Sumber kekuasaan terdekat adalah di government. Karena itu, banyak aktivis civil society yang akhirnya merapat ke government.
Berdasarkan hal itu, saya memiliki pandangan bahwa, jika kita ingin mempertahankan sebanyak-banyaknya orang yang berprofesi sebagai aktivis civil society, Indonesia harus mengimplementasikan social safety net yang dapat dipertahankan sustainability-nya. Syukurnya, di Indonesia akhirnya mulai dibentuk hal sejenis melalui UU Nomor 40 Tahun 2004. Waktu itu, terjadi perdebatan panjang tentang UU ini. Namun, tidak sekeras perdebatan Obamacare di Amerika Serikat. Aneh juga memang. Padahal, isinya hampir sama dengan Obamacare.
Rencananya, UU ini sudah mulai diimplementasikan tahun 2014 (BPJS I) dan 2015 (BPJS II). Hari ini saya berkesempatan memoderatori pendefinisian requirement Sistem Informasi Jaminan Kesehatan Nasional yang dipresentasikan Prof. Zainal Hasibuan. Walaupun pesertanya tidak banyak, tapi dihadiri oleh key stakeholdersnya, yaitu orang-orang penting dari Kementerian Kesehatan, Askes, Jamsostek, dan lainnya.
Banyak pertanyaan yang muncul. Tentu yang sangat penting adalah pertanyaan: Mulai dari mana membuat sistem tersebut mengingat sudah banyaknya sistem existing. Semua tentu akan menyatakan bahwa sistemnya yang terbaik. Bagaimana mengintegrasikannya? Kemudian, muncul juga pendapat perlunya memulainya dari pembuatan data dictionary.
Yang menarik adalah pendapat Prof Zainal. Ia menyatakan bahwa pendekatan data dictionary itu sebenarnya sudah usang. Menurutnya, yang perlu dibenahi pertama kali adalah IT governing process-nya, termasuk data governance. Saat ini sudah ada governing body, yang mirip super body, yaitu BPJS, yang meng-govern jaminan sosial nasional. Jika IT governance process bisa disusun, maka persoalan teknis lain terkait arsitektur bisnis, data, aplikasi, dan infrastruktur bisa diselesaikan satu persatu.
Anda mempunyai pendapat lain? Silahkan posting di sini.
Hal ini telah mengganggu pikiran saya sejak lama. Saya membandingkannya dengan dunia civil society atau non-government organisation di negara maju. Pertanyaan saya, kenapa aktivis civil society bisa bertahan lama di negara-negara Eropa? Bahkan, di sana tidak jarang jika aktivis civil society menjadi profesi seseorang dan ditekuni sampai akhir hayatnya. Kenapa di Indonesia tidak? Kenapa akhirnya di Indonesia malah mereka beralih menjadi orang government? Baik dalam bentuk sebagai anggota parlemen, anggota komisi, atau kepala daerah. Sebagai contoh, sekarang ini rekan saya dari aktivis civil society sedang berjuang menjadi kepala daerah.
Saya mempunyai asumsi bahwa hal itu dikarenakan tidak adanya social safety net yang sistematik di negara kita. Yang ada baru bersifat sporadis, seperti BLT, PKH, dan sejenisnya. Wajar saja di negara lain idealisme para aktivis itu bisa dipertahankan karena kebutuhan minimal mereka sudah terpenuhi. Sebagai contoh, jika seorang aktivis dipecat dari organisasinya, mereka tidak perlu takut tidak dapat memenuhi kebutuhan primer, seperti makan dan kesehatan, karena pasti dapat dipenuhi dari social safety net, asalkan mau antri dan seadanya.
Hal ini tidak terjadi di Indonesia. Jika seseorang dipecat dari organisasinya, mereka para aktivis tidak memiliki jaring pengaman. Paling-paling, jaring pengaman mereka adalah keluarganya. Karena itu, aktivis yang bisa mempertahankan idealismenya adalah mereka yang memiliki keluarga yang mapan. Aktivis yang keluarganya tidak mapan akan mudah "dibeli" oleh kekuasaan. Sumber kekuasaan terdekat adalah di government. Karena itu, banyak aktivis civil society yang akhirnya merapat ke government.
Berdasarkan hal itu, saya memiliki pandangan bahwa, jika kita ingin mempertahankan sebanyak-banyaknya orang yang berprofesi sebagai aktivis civil society, Indonesia harus mengimplementasikan social safety net yang dapat dipertahankan sustainability-nya. Syukurnya, di Indonesia akhirnya mulai dibentuk hal sejenis melalui UU Nomor 40 Tahun 2004. Waktu itu, terjadi perdebatan panjang tentang UU ini. Namun, tidak sekeras perdebatan Obamacare di Amerika Serikat. Aneh juga memang. Padahal, isinya hampir sama dengan Obamacare.
Rencananya, UU ini sudah mulai diimplementasikan tahun 2014 (BPJS I) dan 2015 (BPJS II). Hari ini saya berkesempatan memoderatori pendefinisian requirement Sistem Informasi Jaminan Kesehatan Nasional yang dipresentasikan Prof. Zainal Hasibuan. Walaupun pesertanya tidak banyak, tapi dihadiri oleh key stakeholdersnya, yaitu orang-orang penting dari Kementerian Kesehatan, Askes, Jamsostek, dan lainnya.
Banyak pertanyaan yang muncul. Tentu yang sangat penting adalah pertanyaan: Mulai dari mana membuat sistem tersebut mengingat sudah banyaknya sistem existing. Semua tentu akan menyatakan bahwa sistemnya yang terbaik. Bagaimana mengintegrasikannya? Kemudian, muncul juga pendapat perlunya memulainya dari pembuatan data dictionary.
Yang menarik adalah pendapat Prof Zainal. Ia menyatakan bahwa pendekatan data dictionary itu sebenarnya sudah usang. Menurutnya, yang perlu dibenahi pertama kali adalah IT governing process-nya, termasuk data governance. Saat ini sudah ada governing body, yang mirip super body, yaitu BPJS, yang meng-govern jaminan sosial nasional. Jika IT governance process bisa disusun, maka persoalan teknis lain terkait arsitektur bisnis, data, aplikasi, dan infrastruktur bisa diselesaikan satu persatu.
Anda mempunyai pendapat lain? Silahkan posting di sini.
Komentar