Di awal tahun ini, Presiden SBY sudah mulai membuat gebrakan, yaitu dengan mengadakan Rapat Kerja Pemerintah. Jika di tahun-tahun sebelumnya rapat kerja difokuskan pada Rapat Kerja dalam rangka pembuatan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), baru tahun ini dikenal istilah Rapat Kerja Pemerintah. Tampaknya, pemerintah (dalam hal ini eksekutif) sudah mulai melakukan konsolidasi ke dalam.
Setelah bertahun-tahun diobrak-abrik dengan komponen kekuasaan lainnya, pihak eksekutif kini sudah mulai sadar pentingnya untuk melakukan konsolidasi di internal pemerintah sendiri. Rapat Kerja Pemerintah ini dihadiri tidak hanya wakil dari pejabat di instansi pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Para gubernur turut mendengar arahan dari Presiden.
Lantas, apa maknanya bagi kita? Tentu yang saya tanyakan di sini adalah makna “kita” sebagai warga masyarakat. Apakah dengan terkonsolidasinya unsur pemerintah akan mengganggu keseimbangan check and balances antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif? Itu semua tentu pertanyaan yang menantang.
Bagi saya, terkonsolidasinya unsur eksekutif sangat penting. Mereka adalah eksekutor, pelaksana regulasi yang telah ditetapkan legislatif. Para eksekutif tidak boleh terombang-ambing dengan “politisasi” legislatif. Ketika regulasi sudah ditetapkan, seluruh unsur pemerintah mesti menjalankan regulasi dengan sepenuh hati.
Yang terjadi selama ini sebenarnya adalah praktik manajemen pemerintahan yang tidak sehat. Pihak-pihak di unsur pemerintah saling melobi legislatif untuk dapat menggolkan kepentingannya masing-masing. Itulah sebabnya, banyak terbit peraturan yang tidak sinkron. Kejadian di Mesuji hanyalah sebuah gunung es karena konflik berbagai peraturan, tidak hanya peraturan yang dikeluarkan legislatif, tetapi juga yang dikeluarkan unsur eksekutif, sebagai turunan undang-undang yang dibuat legislatif.
Terkesan sekali bahwa pihak-pihak internal pemerintah sendiri yang saling berlomba agar diberikan kewenangan lebih dibandingkan dengan instansi lain. Lihatlah contoh Rancangan Undang-Undangan Keamanan Negara ketika mulai akan dimunculkan. Pihak kepolisian mulai gerah karena takut kewenangannya akan dialihkan atau diambil alih oleh lembaga lain di eksekutif.
Kenapa hal itu terjadi? Tentu saja karena unsur keserakahan (greed). Tertanam di pikiran mereka bahwa menjadi aparat pemerintah bukan untuk melayani (to serve), tetapi malah muncul pikiran buruk, menjadikan peraturan sebagai landasan untuk ladang berbisnis. Karena itu, banyak aparat pemerintah yang tidak ingin ladang bisnisnya terganggu ketika suatu peraturan harus direformasi.
Memang, ada juga yang menyatakan hal itu karena kebutuhan (need). Mereka sekedar ingin survive. Tapi, saya lihat, faktor keserakahan adalah lebih dominan. Peraturan yang mestinya dibuat untuk menyejahterakan masyarakat, sering akhirnya malah banyak dibuat untuk merugikan masyarakat.
Lihatlah contoh pembuatan e-KTP. Orang berbondong-bondong untuk membuat e-KTP. Sedemikian besar anggaran dikeluarkan. Pelaksana anggaran sangat senang karena pekerjaan mereka bertambah. Bahkan menciptakan lapangan kerja baru. Pundi-pundi bertambah karena uang harian dari perjalanan dinas ke sana kemari. Belum lagi bagi mereka yang serakah.
Komisi dari vendor adalah hal yang biasa. Bahkan, fee menjadi istilah lazim bagi birokrat busuk. Seolah-olah mereka adalah juga pengusaha yang berhak atas fee karena telah berbisnis. Lantas, apa sekarang manfaatnya bagi masyarakat? Masyarakat tidak merasakannya. Masyarakat malah jengkel karena harus antri berjam-jam.
Anehnya, sampai sekarang tidak jelas pembagian e-KTP yang sudah tercetak. Sebelumnya Menteri Dalam Negeri menyatakan tiga bulan e-KTP tercetak. Buktinya? Bagi Anda yang sudah meregistrasi, apakah Anda sudah menerima e-KTP tersebut?
Itulah sebabnya, banyak peraturan yang telah dibuat, tetapi tidak dijalankan. Para pihak di unsur pemerintah yang mestinya mengimplementasikan peraturan, malah saling-jegal dengan instansi lainnya agar peraturan tidak dijalankan. Lihatlah antara sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. Saling jegal dalam hal keagrariaan tidaklah aneh.
Itulah sebabnya, konsolidasi di internal pemerintah menjadi sangat penting. Pemerintah daerah harus terintegrasi dengan pemerintah pusat. Pemerintah daerah jangan ingin dikacaukan berbagai kepentingan yang tidak untuk menyejahterakan rakyat. Menyejahterakan rakyat harus menjadi misi utama.
Konsolidasi internal pemerintah ini tentu akan menciptakan keseimbangan baru. Legislatif tentu tidak mudah lagi mengintervensi urusan-urusan eksekutif. Mestinya, legislatif melihat ini sebagai hal positif. Sebab, ketika legislatif banyak mencampuri urusan implementasi akan terjadi konflik kepentingan. Mereka menjadi tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Lihatlah contoh di mana anggota parlemen dan partai politik dihukum atau diungkap namanya di pengadilan karena bisnis-bisnisnya yang terkait dengan tugasnya sebagai legislator. Hak untuk memperoleh fee karena berbisnis menjadi hal yang salah secara hukum karena dilakukan oleh pihak yang memiliki konflik kepentingan. Ketua partai yang berulang-ulang disebut sepertinya pun sudah tidak bermuka. Di budaya Timur, mestinya mereka sudah mengundurkan diri atau melakukan harakiri seperti di Jepang atau pernah terjadi pada beberapa pimpinan di Korea Selatan.
Sekali lagi, konsolidasi internal pemerintah sangat penting untuk menyejahterakan rakyat. Anda para unsur eksekutif, mulailah berkonsolidasi dan jangan mau diganggu oleh komponen kekuasaan lainnya. Mulailah mandiri untuk berfikir hanya satu tujuan yang sama: Kesejahteraan Rakyat.
Komentar