Hari Rabu lalu, ketika kembali dari Samarinda, saya sempat bertemu dengan seorang teman lama di Bandara Sepinggan, Balikpapan. Teman saya ini alumni Prodip Keuangan jurusan anggaran yang saat ini bekerja di Ditjen Anggaran. Terakhir kali saya bertemu dengannya adalah di Banda Aceh, sebelum kejadian tsunami, yang melalahruntuhkan sebagian wilayah Aceh.
Pada saat pertemuan di bandara itu, saya sempat ngobrol tentang bagaimana kesannya terhadap remunerasi yang telah diterapkan di Departemen Keuangan. Ternyata, saya cukup surprise dengan komentarnya. Tampak sekali adanya rasa kejengkelan di wajah teman saya tersebut terkait dengan proses renumerasi di Departemen Keuangan. Maklumlah, dengan remunerasi ini, penghasilan yang diterimanya ternyata justru malah berkurang sekitar Rp200 ribuan setiap bulannya karena ia tidak menduduki jabatan fungsional ataupun struktural.
Dia malah memaki-maki dengan adanya remunerasi ini. Selain faktor gap penghasilan yang diterimanya terlalu jauh dibanding dengan pejabat struktural, terutama eselon II, kejengkelannya itu karena sudah tidak memungkinkan baginya untuk menerima kick-back atau titipan dari pihak ketiga ketika masih bekerja di kantor kas negara di masa lalu.
Anehnya lagi, kejengkelannya merembet ke KPK. Ia malah memaki-maki KPK dengan tindakan KPK belakangan ini. Kata teman saya, dengan tindakan KPK, semua menjadi serba takut untuk main-main. Yang dikeluhkannya, KPK hanya berani menangkap dan melawan korupsi pada level-level kroco. "Mana menteri yang ditangkap KPK?" tanyanya.
Nach, inilah sisi negatif reformasi birokrasi. Kita sering sekali suka melakukan eksprimen terhadap banyak hal, tetapi tidak tuntas dalameksperimen tersebut. Sebagai contoh, dengan melihat kasus teman saya itu. Di Departemen Keuangan memang telah dilakukan beberapa tahapan reformasi birokrasi. Sayangnya, tindakan tuntas atas proses reformasi tidak berani dilakukan.
Yang saya maksud tidak tuntas ini adalah ketika dalam proses reformasi ternyata diketahui terdapat SDM yang sudah tidak dapat dikembangkan lagi. Sebenarnya, manajemen pemerintahan mestinya berani untuk merumahkan mereka. Dengan demikian, mereka tidak merusak proses reformasi yang sudah dijalankan.
Dalam kasus teman saya tersebut, saya melihat Departemen Keuangan tidak berani untuk merumahkan secara total SDM yang sudah tidak produktif dan tidak bisa dikembangkan lagi. Mereka malah hanya memposisikan SDM ini dalam posisi pelaksana yang tanpa pekerjaan. Atau malah mereka ini tidak mau bekerja karena melihat bosnya memperoleh penghasilan dengan gap yang sangat tinggi.
Karena itu, suatu proses reformasi birokrasi membutuhkan keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan yang tegas. Setelah proses reformasi berjalan, mestinya SDM yang sudah tidak bisa dioptimalkan diberi kesempatan untuk mengundurkan diri dengan tawaran tunjangan yang sangat tinggi agar mereka tertarik. Ini seperti halnya proses restrukturisasi di badan usaha milik negara ataupun swasta.
Sepanjang proses reformasi masih malu-malu, ragu-ragu, dan tanpa tindakan yang tegas, maka potensi ketidakpuasan seperti contoh teman saya tersebut akan berakibat munculnya persepsi yang salah akan reformasi birokrasi yang tidak terhindarkan.
Ayo Bu Menteri, tuntaskan proses reformasi birokrasi di Departemen Keuangan!
Komentar
Salam,
-eka