Terkait dengan IT untuk Pemilu di KPU tahun 2009 ini, saya masih melihat adanya konflik kepentingan, yaitu terpilihnya JITM terkait dengan teknologi yang Pak Hemat buat yang juga sebelumnya menjadi tenaga ahli KPU. Mestinya, ketika menjadi konsultan tenaga ahli KPU, Pak Hemat harus berhati-hati di mana saat implementasi rancangannya akan terdapat teknologi Pak Hemat yang akan ditawarkan dan digunakan. Paling tidak, menurut saya, harus dideklarasikan konflik kepentingan tersebut. Kalau tidak, nanti malah jadi kasus besar di masa datang. Namun, terhadap kasus ICR yang diungkapkan Pak Hemat, saya lihat Pak Hemat itu adalah whistle blower.
Ketika Pak Hemat menjadi anggota tim ahli KPU ada produk kerja yang dihasilkannya. Hasil kerja tersebut akan menjadi bahan untuk menyusun dokumen tender. Walaupun nantinya yang memfinalkan atau yang membikin dokumen RKS-nya (bagian depan dokumen tender) adalah orang KPU dan Pak Hemat tidak mengetahui siapa orang tersebut.
Mestinya, ketika JITM yang kebetulan terkait dengan Pak Hemat melakukan penawaran, mereka mendeklarasikan adanya konflik kepentingan tersebut, yaitu terdapat suatu teknologi yang akan ditawarkannya terkait dengan salah satu orang yang pernah menjadi anggota tim ahli KPU. Dengan demikian, hal itu akan menjadi catatan penting di masa datang bahwa JITM sudah mendeklarasikan adanya konflik kepentingan tersebut dan kalaupun akhirnya terpilih itu bukan kesalahan JITM dan Pak Hemat. Panitia Pengadaanlah yang akan menentukan apakah konflik kepentingan tersebut signifikan atau tidak konsekuensinya terhadap suatu kegiatan pengadaan, bukan tim teknis dari BPPT. Tanggung-jawab akhir atas suatu evaluasi pengadaan adalah pada Panitia Pengadaan, bukan tim teknisnya.
Di kemudian hari, setelah hajatan Pemilu tahun 2009 ini berakhir, konflik kepentingan ini bisa menjadi masalah besar jika tidak dideklarasikan sejak awal. Sebab, pada waktu membuat HPS, bisa terjadi Panitia Pengadaan KPU mengacu pada harga dasar yang diungkapkan oleh Pak Hemat pada waktu menjadi anggota tim ahli KPU. Jika kebetulan yang menang adalah teknologinya pak Hemat, bisa menjadi masalah karena akan timbul pertanyaan, apakah harga teknologi tersebut adalah harga yang wajar di pasar?
Kalau kebetulan teknologi Pak Hemat itu sudah ada price-nya di market, dampak Panitia Pengadaan menggunakan price yang dibuatkan Pak Hemat itu akan tidak masalah. Namun, jika price-nya ternyata tidak ada di market, hal ini bisa dicurigai sebagai markup.
Mestinya, dalam kasus seperti ini, di mana Pak Hemat memiliki teknologi tertentu dan kemudian di market tidak tersedia price-nya, dapat dilakukan penunjukan langsung dengan negosiasi harga. Pada pendekatan ini, Pak Hemat mengungkapkan berapa cost yang benar-benar dikeluarkannya untuk menghasilkan teknologi tersebut dan kemudian dihitung tambahan income yang wajar untuk teknologi tersebut (misalnya, 5%).
Kalau kita lihat dari proses pengadaan di KPU tersebut, Pak Hemat harus berhati-hati, karena selaku whistle blower, jangan malah menjadi berefek buruk pada dirinya, seperti kasus Khairiansyah di KPU. Ternyata, lawannya Khairiansyah dan orang-orang yang tidak suka padanya mencari kesalahan, di mana Pak Khairiansyah pun ternyata pernah menerima uang dari sebuah instansi. Efeknya, sampai-sampai Pak Khairiansyah harus mengembalikan Integrity Award yang diterimanya dari Transparency International yang bermarkas di Jerman. Walaupun dari sebuah info, ternyata Pak Khairiansyah itu hanya menerima honor dari hasil mengajarnya di Depag, yang kebetulan dibebankan ke anggaran Dana Abadi Umat.
Kembali ke awal, deklarasi tentang adanya suatu konflik kepentingan itu sebenarnya adalah untuk proteksi diri jika muncul kasus hukum di kemudian hari. Bukan sekedar untuk law enforcement terhadap pelaku kejahatan.
Ketika Pak Hemat menjadi anggota tim ahli KPU ada produk kerja yang dihasilkannya. Hasil kerja tersebut akan menjadi bahan untuk menyusun dokumen tender. Walaupun nantinya yang memfinalkan atau yang membikin dokumen RKS-nya (bagian depan dokumen tender) adalah orang KPU dan Pak Hemat tidak mengetahui siapa orang tersebut.
Mestinya, ketika JITM yang kebetulan terkait dengan Pak Hemat melakukan penawaran, mereka mendeklarasikan adanya konflik kepentingan tersebut, yaitu terdapat suatu teknologi yang akan ditawarkannya terkait dengan salah satu orang yang pernah menjadi anggota tim ahli KPU. Dengan demikian, hal itu akan menjadi catatan penting di masa datang bahwa JITM sudah mendeklarasikan adanya konflik kepentingan tersebut dan kalaupun akhirnya terpilih itu bukan kesalahan JITM dan Pak Hemat. Panitia Pengadaanlah yang akan menentukan apakah konflik kepentingan tersebut signifikan atau tidak konsekuensinya terhadap suatu kegiatan pengadaan, bukan tim teknis dari BPPT. Tanggung-jawab akhir atas suatu evaluasi pengadaan adalah pada Panitia Pengadaan, bukan tim teknisnya.
Di kemudian hari, setelah hajatan Pemilu tahun 2009 ini berakhir, konflik kepentingan ini bisa menjadi masalah besar jika tidak dideklarasikan sejak awal. Sebab, pada waktu membuat HPS, bisa terjadi Panitia Pengadaan KPU mengacu pada harga dasar yang diungkapkan oleh Pak Hemat pada waktu menjadi anggota tim ahli KPU. Jika kebetulan yang menang adalah teknologinya pak Hemat, bisa menjadi masalah karena akan timbul pertanyaan, apakah harga teknologi tersebut adalah harga yang wajar di pasar?
Kalau kebetulan teknologi Pak Hemat itu sudah ada price-nya di market, dampak Panitia Pengadaan menggunakan price yang dibuatkan Pak Hemat itu akan tidak masalah. Namun, jika price-nya ternyata tidak ada di market, hal ini bisa dicurigai sebagai markup.
Mestinya, dalam kasus seperti ini, di mana Pak Hemat memiliki teknologi tertentu dan kemudian di market tidak tersedia price-nya, dapat dilakukan penunjukan langsung dengan negosiasi harga. Pada pendekatan ini, Pak Hemat mengungkapkan berapa cost yang benar-benar dikeluarkannya untuk menghasilkan teknologi tersebut dan kemudian dihitung tambahan income yang wajar untuk teknologi tersebut (misalnya, 5%).
Kalau kita lihat dari proses pengadaan di KPU tersebut, Pak Hemat harus berhati-hati, karena selaku whistle blower, jangan malah menjadi berefek buruk pada dirinya, seperti kasus Khairiansyah di KPU. Ternyata, lawannya Khairiansyah dan orang-orang yang tidak suka padanya mencari kesalahan, di mana Pak Khairiansyah pun ternyata pernah menerima uang dari sebuah instansi. Efeknya, sampai-sampai Pak Khairiansyah harus mengembalikan Integrity Award yang diterimanya dari Transparency International yang bermarkas di Jerman. Walaupun dari sebuah info, ternyata Pak Khairiansyah itu hanya menerima honor dari hasil mengajarnya di Depag, yang kebetulan dibebankan ke anggaran Dana Abadi Umat.
Kembali ke awal, deklarasi tentang adanya suatu konflik kepentingan itu sebenarnya adalah untuk proteksi diri jika muncul kasus hukum di kemudian hari. Bukan sekedar untuk law enforcement terhadap pelaku kejahatan.
Komentar
Seperti yang pernah terjadi di suatu negara, dimana negara itu menggunakan jasa konsultan dalam melakukan pemilihan teknologi TI yang akan dipakai, tapi apa yg terjadi? ternyata konsultan yg dipakai pemerintah tersebut ikut bermain entah itu karena godaan vendor tertentu atau memang pemain juga dalam penyediaan solsui TI tersebut