Langsung ke konten utama

Tanggapan Krisdianto tentang Studi Kasus Anggaran Berbasis Kinerja

Membaca tulisan tentang case study anggaran berbasis kinerja yang pernah saya cuplik, Krisdianto tertarik memberi tanggapan berikut. Tapi, saya tidak mengerti kenapa tanggapan tersebut dihapus. Padahal, isinya bagus, yaitu sebagai beriku:


wah seru juga ceritanya: dalem....untuk menanggapi cerita ini saya
hanya mau mengajukan pertanyaan juga "apakah ketika si OB disuruh sudah dipikirkan resikonya jika tiket tidak ada?" "apakah ketika si OB disuruh diberitahu dimana tempat tiket yang masih buka/ada?" "apakah ketika si OB disuruh dipikirkan jika tiket bener-bener tidak ada langkah selanjutnya apa?"

maksud saya jika hanya output saja yang dijadikan tolak ukur akhir sepertinya kok agak janggal karena menurut hemat saya output bukanlah suatu mata rantai putus yang begitu saja memutuskan hasil akhir. meski bos saya pernah tanya "kapan selesainya kalo muter terus?". (input-->proses-->output-->outcome-->evaluasi-->rencana--> balik lg) "kapan ambil nilai akhirnya" ketika itu saya hanya bilang "start from ourself"

apakah sudah kita sadari bahwa semua kembali ke kita masing-masing dalam arti ketika sebuah keputusan yang diambil dari output yang ternyata tidak sesuai dengan yang harapan maka kita mungkin bisa berpikir apakah ada resiko yang tidak terpikirkan sehingga outputnya tidak seperti yang kita harapkan. nilai output yang salah tentu akan menimbulkan kerugian "sementara" yang semestinya kita perbaiki jika kita menghadapi masalah yang kurang lebih sama sehingga resikonya menjadi makin minimal.

kadang saya masih bingung juga dengan pola anggaran berbasis
kinerjamaksud saya tidak ada yang aneh dengan hal itu dan bagus - bagus saja. akan tetapi ketika keputusan itu diambil kenapa hanya anggarannya saja yang di potong tapi tidak dengan "proses" di tingkatkan, knapa hanya sampai anggaran itu dipotong (dan tentunya butuh waktu dan biaya...) ketika si ob tidak
mengembalikan yang 50 ribu knapa hanya dia saja yang dipotong?apakah si pemberi tugas juga tidak dipotong karena dia lupa dalam menginformasikanbahwa duit 50 ribu yang menjadi ongkos si OB tertanggung dalam anggaran tersebut? apakah nilai 50 ribu itu dimasukkan kedalam harga pembelian tiket? karena harga itu telah
digunakan untuk menyuruh orang lain dimana ada pengeluaran tambahan disitu? sedang jika nilai 300 itu nilai tiket maka nilai 50 ribu itudapat hilang jika orang itu sendiri yang membeli. karena nilai resikonya tertanggungatas dirinya sendiri yang akan menggunakan tiket tersebut.

sekedar celoteh krisdianto

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) ...

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. ...

[eKTP] Skandal e-KTP Gamawan Fauzi: Persekongkolan Proyek Rp 5,8 Triliun

Kamis, 15/09/2011 15:24 WIB Skandal e-KTP Gamawan Fauzi Persekongkolan Proyek Rp 5,8 Triliun Deden Gunawan - detikNews Jakarta - Baru saja dimulai, proyek KTP Elektronik (e-KTP) sudah menuai kontroversi. Bau korupsi meruyap dari proyek yang digagas Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ini. Negara ditaksir merugi hingga Rp 1 triliun. Korupsi dalam proyek senilai Rp 5,8 triliun terjadi dalam proses lelang. Ada indikasi kuat, selama proses lelang terjadi persekongkolan agar tender dimenangkan konsorsium PT Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Dugaan persekongkolan itu dilaporkan Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), salah satu peserta tender yang kalah, ke panitia lelang e-KTP ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Proses lelang proyek e-KTP berlangsung pada 21 Februari- 1 Maret 2011. Saat itu ada 9 konsorsium yang ikut tender, yakni PNRI, Astra Grafia, Telkom, Berca, Peruri, Murakabi, Mega Global, Transtel, dan I-Forte. Saat prakualifikasi yang...