Langsung ke konten utama

Pandangan Lain tentang Sistem E-Procurement Bappenas

Seorang teman, Pak Hemat, di blognya http://hdn.zamrudtechnology.com/?cat=17 menulis tentang sistem e-procurement yang sedang di-pilotproject-kan oleh Bappenas dengan dukungan dana hibah dari USAID. Agar berimbang, saya mencoba menanggapinya.

Pertama, sistem e-procurement yang dipermasalahkan Pak Hemat tidak tepat jika dinyatakan sebagai versi Bappenas. Sebab, sistem ini dikerjakan dari hibah USAID. Suatu hibah semacam ini adalah kerja sama antaraPemerintah Indonesia dan Amerika Serikat. Nama proyek ini adalah MCC-ICCP. MCC-ICCP ini bekerja di tiga tempat, yaitu:

- Bappenas/sekarang LKPP,
- KPK, dan
- MA.

Biasanya, project USAID itu dikerjakan oleh kontraktornya. Dalam hal ini, yang mendapat kontrak dari MCC-ICCP setahu saya adalah Chemmonics. Kemungkinan Chemmonics mensubkontrakkan lagi pekerjaan ini ke sebuah perusahaan atau konsultan invidivu yang direkrut secara terbatas. Dalam suatu hibah, ketiga organisasi di atas hanyalan berperan sebagai user. Proses pemilihan kontraktor biasanya seluruhnya dilakukan oleh USAID.

Peran dari ketiga lembaga di atas hanyalah akan diminta konfirmasi ada keberatan atau tidak dengan penunjukan kontraktor atau konsultan tersebut. Karena ini adalah pilot project, hasil kerja dari kontraktor atau konsultan belum tentu langsung dipakai atau di-roll-out ke seluruh daerah. Jadi, tidak tepat dinyatakan bahwa sistem e-procurement yang dibangun tersebut adalah versi Bappenas/LKPP, tetapi lebih tepat versi USAID karena belum tentu diterima oleh Bappenas/LKPP.

Kedua, tidak tepat jika kita membandingkan sistem e-procurement USAID dengan sistem e-procurement versi IGOS hanya dari kelengkapan fungsi-fungsinya. Bisa jadi, fungsi-fungsi yang disiapkan itu sendiri memang sudah benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan dan itulah yang implementable untuk kepentingan pilot project (karena versi USAID ini hanya untuk pilot project).

Ketiga, yang paling penting adalah menilai apakah sistem e-procurement USAID ini jalan atau tidak? Kalau tidak jalan, di mana yang tidak jalan? Kenapa? Kalau berhasil, di sisi mana yang berhasil? Kenapa berhasil?

Keempat, saya tidak mendapat uraian yang cukup apakah sistem e-procurement USAID ini centralized di Jakarta atau distributed di 5 site yang dijadikan pilot project? Bagaimana sebenarnya arsitekturnya? Baik fisik maupun logik sistem e-procurement ini. Kalau sifatnya distributed, tentu tidak akan terjadi monopoli. Kalau centralized, konsultan seperti Pak Hemat tentu masih bisa dilibatkan pada saat perancangan dan implementasinya di lapangan. Toch, akan tercipta efisiensi dalam konstruksinya, dengan asumsi sistemnya memang sudah melewati fase perancangan yang matang, dengan masukan orang-orang di lapangan, termasuk dari Pak Hemat.

Foto: http://tek1systems.com/

-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) ...

KENAPA SPBU PETRONAS GAGAL BERBISNIS DI INDONESIA?

Muncul publikasi di media tentang ditutupnya SPBU Petronas di Indonesia. Akhirnya, perusahaan unggul milik pemerintah Malaysia ini hengkang juga dari Indonesia. Sebenarnya, saya telah lama melihat keanehan SPBU Petronas ini. Setiap saya melewatinya, bisa dibilang hampir-hampir tidak ada pengunjungnya. Keanehan kedua, menurut saya, pemilihan lokasinya yang tidak tepat. Hal ini berbeda sekali dengan SPBU Shell. Walaupun harganya mahal mengikuti harga minyak dunia, SPBU milih Belanda ini masih memiliki pengunjung yang lumayan. Salah satu sebabnya adalah pemilihan lokasi yang tepat. Saya menjadi bertanya, kenapa perusahaan sekaliber Petronas bisa salah menempatkan SPBU-nya di Indonesia. Anehnya, Petronas dengan semangat langsung memasang jumlah pompa yang banyak. Bandingkan dengan SPBU Shell yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan pasar. Saya menduga ada 2 penyebab kesalahan strategi Petronas tersebut. Keduanya terkait perencanaan masuk ke pasar. Dugaan pertama saya, Petronas salah ...

INOVASI PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DENGAN QR CODE

Bagi pemerintah daerah, program efisiensi anggaran Presiden Prabowo telah memberikan tekanan yang keras. Mereka harus segera mampu membiayai sendiri pembangunan daerahnya masing-masing.  Jika mereka ingin tetap   bertahan ( sustain ) ke depan, mereka tidak bisa lagi bekerja dengan sistem ataupun kultur lama. Mereka harus segera berubah.  Untuk membiayai sendiri pembangunan daerah, mereka harus melakukan berbagai inovasi yang akan memungkinkan kemandirian fiskal daerah.  Jika hal itu tidak dilakukan, tentu Presiden Prabowo bisa memilih alternatif lain, seperti melakukan penggabungan ( merger ) pemerintah daerah yang tidak mandiri secara fiskal.  Sebab, dengan perubahan yang cepat di tingkat global, tidaklah mungkin jika ke depannya Pemerintah Pusat masih mempertahankan pemerintah daerah yang tidak mampu membiayai gaji dan tunjangan pegawainya secara mandiri. Hal ini sudah begitu membebani anggaran Pemerintah Pusat. Agar bisa bertahan dan mempunyai kemandiria...