Langsung ke konten utama

[eKTP] Skandal e-KTP Gamawan Fauzi: Berkinerja Buruk Diserahi Mega Proyek

Kamis, 15/09/2011 15:36 WIB

Skandal e-KTP Gamawan Fauzi

Berkinerja Buruk Diserahi Mega Proyek

M. Rizal - detikNews
Jakarta - Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) bak kejatuhan durian. Tergabung dalam konsorsium PNRI, BUMN ini termasuk mendapat ikut kebagian jatah proyek e-KTP senilai hampir Rp 6 triliun.
Kontrak menggembirakan itu ditandatangani Kementerian Dalam Negeri bersama Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) secara resmi, 11 Juli 2011.
Sebelumnya, panitia lelang proyek e-KTP yang diketuai Drajat Wisnu Setyawan, pada 21 Juni 2011 mengumumkan pemenang tender e-KTP yaitu Konsorsium PNRI dengan nilai penawaran Rp 5,84 triliun.
Dalam proyek KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional itu, konsorsium PNRI mengalahkan dua konsorsium peserta tender proyek e-KTP ini, yaitu Mega Global Jaya Grafia Cipta dan PT Astra Graphia.
Sesuai kontrak Pekerjaan Penerapan KTP Berbasis NIK (KTP Elektronik) Tahun 2011-2012 antara Konsorsium PNRI dan Ditjen Dukcapil Kemendagri bernomor 027/886/IK, 1 Juli 2011 ditunjuk selaku Ketua Konsorsium PNRI adalah Direktur Utama Perum PNRI Isnu Edhi Wijaya.
Dengan mengantongi kontrak itu, Konsorsium PNRI pun diberi pekerjaan yang terbagi dalam dua tahap, yaitu pekerjaan pada tahun 2011 dan 2012. Pekerjaan dalam tahun 2011 ini meliputi 197 kabupaten/kota, 2.348 kecamatan dan 168 kabupaten/kota. Sementara pekerjaan dalam tahun 2012, juga mengerjakan hal yang sama di 300 kabupaten/kota dan 3.886 kecamatan.
Pekerjaan kosorsium harus menyediakan penerapan e-KTP. Di antaranya, pengadaan blangko KTP berbasis chip, peralatan Data Center Pusat (DC dan DRC), perangkat keras dan lunak untuk tingkat kabupaten/kota/kecamatan, pengadaan sistem automated fingerprint identification system (AFIS) atau sidik jari, bimbingan petugas operator, pedampingan teknis dan penyediaan jaringan komunikasi.
Meski Konsorsium PNRI yang memenangkan tender proyek pengadaan e-KTP, dikabarkan menawari PT Astra Graphia Tbk yang kalah tender, untuk ikut ambil bagian karena cakupan proyek yang luas.
"Selain itu waktu yang dibutuhkan cukup lama, selama satu tahun enam bulan. Kabarnya mereka (konsorsium PNRI) butuh bantuan tambahan," bisik salah satu pelaku pasar.
Menurut si pelaku pasar itu, konsorsium PNRI butuh jaringan yang dimiliki Astra serta kemampuan pendanaannya. Menurut Perpres 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa, diajaknya peserta yang telah kalah itu tidak melanggar UU.
Meski tidak melanggar UU, kabar tawaran pada Astra tentu menimbulkan keraguan akan kemampuan PNRI untuk menyukseskan program e-KTP. Terlebih akhir-akhir ini proyek e-KTP juga mendapat sorotan karena diduga telah terjadi persekongkolan dalam proses lelang dan adanya korupsi.
Dari data yang diperoleh detik+, Konsorsium PNRI ini terdiri dari Perusahaan Umum (Perum) PNRI, PT Sucofindo (persero), PT Sandipala Artha Pura, PT LEN Industri (persero) dan PT Quadra Solution.
Pada uji petik e-KTP yang dilakukan pada 2009, Perum PNRI bergabung dengan Astra Grafia dalam sebuah konsorsium. Namun saat itu konsorsium itu dikalahkan oleh konsorsium berbendera Karsa Wira Utama.
Saat itu PNRI menggunakan perangkat AFIS bermerek L-1. Sementara harga penawaran yang diajukan sebesar Rp 13 miliar dari pagu yang ditetapkan Rp 15 miliar. Sementara konsorsium Karsa Wira Utama yang mengusung produk Dermatel kemudian menang tender. Konsorsium tersebut mengajukan penawaran di harga Rp 9 miliar.
"Proyek yang kami tangani waktu itu (uji petik e-KTP) berhasil dan hemat anggaran. Tapi kenapa dalam proyek e-KTP yang berskala nasional dan nilainya mencapai Rp 6 triliun justru PNRI dan Astra yang dimenangkan. Padahal harga dan spek yang ditawarkan sama saat uji petik," kata pengacara Lintas Peruri, perusahaan yang kalah tender, Handika Honggowongso .
Namun kemudian dalam tender e-KTP berskala nasional, PNRI dan Astra Grafia berbeda konsorsium. Meski begitu produk yang ditawarkan speknya sama. Untuk AFIS sama-sama mengunakan L-1, dan perangkatnya menggunakan Hawlet Packard (HP). Adapun untuk jaringan komunikasinya keduanya menggunakan Indosat. Harga penawaran kedua konsorsium tersebut juga tidak jauh berbeda. Yakni PNRI menawarkan harga Rp 5,8 triliun, sedangkan Astra Grafia diharga Rp 5,94 triliun.
Anehnya para pesaing yang menggunakan produk yang sudah teruji dan harga lebih murah justru digugurkan di tengah jalan. Dalam dokumen sanggah banding yang diperoleh detik+, harga penawaran yang diajukan konsorsium yang digugurkan berkisar Rp 4,7 triliun-Rp 4,9 triliun.

***


PNRI memiliki 12 cabang di daerah-daerah. Di Sumatera ada 2, Aceh dan Bengkulu, Jawa ada 3, Sulawesi 2, lalu Ambon dan di Irian Jaya ada 4 buah.
Kondisi PNRI, beberapa tahun lalu, sangat menyedihkan. Tahun 2006, PNRI hanya memperoleh laba sebesar Rp 2 miliar, dengan deviden yang dibayarkan ke pemerintah tahun sebelumnya sebesar Rp500 juta.
Hal itu terjadi karena BUMN ini sepi order. Dokumen milik negara tidak lagi mampir ke PNRI. Bahkan ia pun pernah tidak mendapatkan proyek untuk membuat KTP.
Dokumen-dokumen milik negara justru mulai dikerjakan oleh pihak swasta. PNRI merupakan BUMN yang bergerak di bidang percetakan, khususnya untuk mencetak dokumen-dokumen yang sifatnya sekuriti kelimpungan menghadapi persaingan bisnis percetakan dokumen-dokumen penting negara.
“Pencetakan dokumen-dokumen sekuriti negara dari pemerintah sudah mulai beralih untuk dikerjakan oleh pihak swasta, seperti dokumen penting pemerintah, akta tanah, ijazah, lembar soal Ujian Nasional dan lain-lain, yang memang sangat diperhatikan keasliannya," ujar Ketua Dewan Pengawas perseroan Turmuzi Harun kala itu.
PNRI memang mempunyai catatan buruk. Berdasarkan laporan kinerja BUMN pada 2010 PNRI masuk dalam daftar BUMN yang selalu merugi. Hasil audit di Kementerian BUMN, PNRI tercatat mengalami kerugian sebesar Rp 1,1 miliar pada 2010.
Sumber detik+ mengungkapkan, peralatan PNRI saat ini sudah lawan dan membutuhkan biaya tinggi. Dengan kondisi seperti itu, maka PNRI saat ini lebih banyak melemparkan order cetakan ke pihak ke-3 agar tidak merugi. Maka tidak mengherankan bila PNRI pun dikabarkan menawari Astra.
Saat detik+ melongok lokasi percetakan PNRI di Jl Percetakan Negara Raya, Salemba, Jakarta Pusat, tidak banyak aktivitas pekerjaan yang sedang dilakukan di perusahaan ini.
Satpam yang menjaga pintu gerbang mengaku aktivitas PNRI lebih banyak dilakukan pada malam hari karena banyak orderan cetakan yang harus dibuat, termasuk blanko e-KTP.
Petugas keamanan itu lantas menanyakan maksud kedatangan detik+. Mereka menyarankan agar detik+ menghubungi pejabat dan pimpinan PNRI. Sayang sang bos PNRI Isnu Edhi Wijaya tidak kunjung bisa dihubungi.
(zal/nrl)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke