Langsung ke konten utama

Seberapa Jauhkah Partai Politik Boleh Terlibat dalam Urusan Birokrasi?

Beberapa waktu lalu ada seorang menteri yang menyatakan tidak akan melibatkan pejabatnya yang terlibat sebagai tersangka korupsi dalam sebuah pengadaan teknologi informasi yang jumlahnya sangat menggiurkan para prinsipal. Ia menjanjikan bahwa pengadaan tersebut akan dilakukan secara transparan dan akan melibatkan KPK beserta BPK sejak awal.

Rupanya, pernyataan Bapak Menteri tadi mengusik si pejabat yang sudah dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung tersebut. Beberapa hari kemudian, keluarlah undangan dari sebuah partai politik ke para pejabat birokrasi yang terkait dengan proyek tersebut, di mana para pejabat tersebut berasal dari beberapa kementerian/lembaga, untuk membahas rencana pengadaan proyek besar tersebut. Entah ini karena si pejabat tersangka tadi melobi partai politik tersebut, atau karena faktor lain, itu tentu tidak mudah dinyatakan sebagai suatu kebetulan.

Para pejabat birokrasi cukup bingung dengan surat undangan tersebut. Sebab, undangan dari sebuah departemen di partai politik tersebut dikirim secara resmi ke nama dan jabatan si pejabat birokrasi. Hanya saja, ini baru pertama kalinya terjadi dalam sejarah sebuah partai politik mengundang secara resmi pejabat birokrasi. Paling tidak, dari yang saya tahu.

Sebab, biasanya, partai politik itu suaranya disampaikan lewat dewan perwakilan rakyat, yaitu DPR, DPRD, atau DPD. Baru kali inilah terjadi langsung partai politik mengundang pejabat birokrasi untuk membahas proyek negara secara khusus. Apa yang aneh di sini? Apakah si pejabat tadi ingin menunjukkan kekuatan networking-nya ke Bapak Menteri yang menyatakan tidak ingin melibatkannya dalam proyek tersebut?

Pertanyaan berikutnya, apakah pantas sebuah partai politik memanggil langsung pejabat birokrasi untuk membahas sesuatu hal yang berhubungan dengan jabatan birokrasi? Anda bisa lihat, dalam kasus Tjiptohardjo saja, mantan Direktur Jenderal Pajak, pun sebuah komisi di DPR tidak dengan mudahnya dapat mengundang atau memanggil pejabat birokrasi.

Selanjutnya, bagaimana selayaknya sikap para pejabat birokrasi tadi ketika menerima undangan dari partai politik? Apakah ia sebaiknya datang langsung? Perlukah mereka meminta ijin dari menteri/pimpinan lembaganya masing-masing?

Kita tentu perlu merenungkan kembali hal seperti ini. Janganlah dibiarkan para birokrat itu bermain mata dengan partai politik. Biarkanlah masing-masing itu berada pada jalurnya. Dengan demikian, dapat tercipta check and balances. Kita tentu tidak ingin proses demokrasi kita gagal hanya karena memperjuangkan kepentingan sesaat orang-orang tertentu. Marilah kita berfikir untuk hal yang lebih besar. Tentunya, kalau kita ingin negeri ini menjadi bertambah maju.

Anda punya tanggapan? Silahkan posting di sini!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke