Langsung ke konten utama

Model bisnis internet di Indonesia perlu dikaji lagi

Reporter : Arif Pitoyo

Pemerintah dan komunitas telematika diminta mengkaji ulang praktik bisnis internet di Indonesia agar legal dispute seperti pada kasus IM2 tidak terulang lagi di masa mendatang.

Imbauan tersebut disampaikan oleh Rudy M. Harahap, staf pengajar IT Governance and Assurance pada Universitas Bina Nusantara dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Menurut dia, pengkajian tersebut harus melibatkan aparat hukum dan para ahli assurance (auditor) negara.

"Tidak ada kata terlambat untuk menata kembali business model internet di Indonesia dengan mengambil pelajaran dari kasus IM2 dan Indosat, sebagaimana terjadi juga sebelumnya di negara lain," tegasnya.

Terkait dengan kasus IM2 sendiri, Rudi menilai semua pihak mesti fokus ke pokok masalah persidangan, tidak mengulangi kesalahan yang sama ketika satu pihak membawa kasus ini ke PTUN yang akhirnya membuang-buang waktu dan energi semua pihak.

Seperti diketahui, vonis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah jatuh kepada mantan Dirut IM2 Indar Atmanto yaitu hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Sedangkan Indosat dan IM2 sebagai perseroan dikenai denda sebesar Rp 1,3 triliun yang harus dilunasi setahun sejak keputusan bersifat tetap.

Imbas kasus IM2 tersebut menjadikan kekisruhan di industri internet di Tanah Air. Bahkan semua ISP yang tergabung dalam Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) akan mengembalikan lisensi yang dimilikinya karena khawatir disalahkan oleh hukum.

Regulator pun untuk sementara waktu menunda proses perizinan baru untuk semua izin telekomunikasi sampai salah penafsiran yang dilakukan Kejaksaan dan pengadilan terselesaikan.

[ega]

http://www.merdeka.com/teknologi/model-bisnis-internet-di-indonesia-perlu-dikaji-lagi.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke