Kemarin saya sempat mengikuti undangan rapat persiapan penerimaan CPNS Tahun 2013 di Kementerian PAN dan RB. Hampir semua kementerian/lembaga diundang, terutama para pejabat eselon I. Selain itu, diundang juga wakil dari beberapa pemerintah provinsi yang mendapat formasi untuk menerima CPNS tahun ini.
Rencananya, tahun ini akan direkrut sekitar 60.000 CPNS, di mana 40.000 CPNS dari pemerintah daerah. Sebanyak 40.000 CPNS itu akan direkrut di 220 pemerintah daerah. Penentuan kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang akan direkrut itu telah melalui beberapa proses. Menurut Menteri PAN dan RB yang hadir membuka acara tersebut, penentuan kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang mendapat formasi setelah mempertimbangkan kemandirian anggaran, jumlah penduduk, dan hasil analisis jabatan. Dari sejumlah pemerintah daerah yang mengusulkan, ternyata 150 pemerintah daerah dianggap tidak memenuhi syarat. Di sisi lain, terdapat 100 pemerintah daerah yang tidak mengusulkan.
Sentralisasi Pendaftaran
Yang menarik, pada tahun ini pemerintah akan menerima pendaftaran peserta seleksi melalui sistem tersentralisasi. Pada sistem tersentralisasi ini, peserta mendaftar secara online pada sebuah sistem yang dibangun oleh BKN bekerja sama dengan PT Telkom Indonesia. Namun, pengumuman adanya penerimaan seleksi CPNS masih melalui website masing-masing kementerian/lembaga pemerintah daerah.
Penerimaan tersentralisasi ini berbeda dengan penerimaan tahun lalu. Pada tahun lalu, pendaftaran peserta seleksi CPNS dilakukan secara terdesentralisasi, di mana peserta mendaftar ke website masing-masing kementerian/lembaga/pemerintah daerah. Akibatnya, banyak terjadi duplikasi pendaftaran karena seorang calon peserta mendaftar pada beberapa instansi. Sementara itu, walaupun sudah mendaftar ke beberapa instansi, peserta hanya bisa mengikuti ujian pada satu instansi. Sebab, pelaksanaan ujian masing-masing instansi itu bersamaan. Dengan adanya sistem pendaftaran tersentralisasi itu, mestinya masalah duplikasi ini bisa dipecahkan.
Yang hebat lagi, nantinya pendaftar cukup memasukkan NIK mereka. Selanjutnya, data pendaftar akan muncul secara otomatis. Dengan demikian, kemungkinan adanya kesalahan data atau kesengajaan mengubah data pribadi dapat diminimalkan. Sayangnya, ini masih rencana. Sebab, BKN sedang menjajagi kerja sama dengan Kemendagri untuk memperoleh data NIK tersebut. Di sisi lain, pada saat pertemuan tersebut, ada yang mempermasalahkan pendaftar warga negara Indonesia dari luar negeri yang belum memiliki NIK. Karena itu, diusulkan agar juga bisa mendaftar dengan ID Paspor.
Computer Assisted Test
Yang menarik lagi, pada tahun ini, pemerintah juga akan melaksanakan ujian dengan bantuan komputer (Computer Assisted Test – CAT). Perangkat untuk kepentingan CAT ini telah tersedia di kantor pusat dan 12 kantor regional BKN. Di kantor pusat BKN, terdapat sekitar 140 unit, sedangkan di masing-masing kantor regional sekitar 50 unit. Dengan CAT ini, peserta dapat melakukan ujian TKD secara bergiliran.
Manfaat utama dari CAT ini adalah peserta dapat langsung mengetahui berapa hasil TKD yang diperolehnya setelah ujian. Dengan demikian, ujian akan semakin transparan. Manfaat berikutnya, efisiensi penggunaan anggaran bila dibandingkan dengan ujian secara tertulis yang harus mencetak lembar soal dan lembar jawaban dengan biaya yang signifikan.
Sayangnya, pemerintah tampaknya masih ragu-ragu dalam menerapkan CAT. Hal ini tampak dari penyajian yang diberikan, di mana tidak dinyatakan secara jelas instansi mana yang wajib menerapkan CAT. Penyaji hanya menyatakan bahwa penggunaan CAT diutamakan pada 18 instansi yang telah menjadikannya sebagai target program reformasi.
Resistensi Reformasi
Masalah berikutnya, ketika CAT dikenalkan, ada resistensi yang besar dari masing-masing instansi. Resistensi tersebut tampak dari beberapa pertanyaan peserta. Pertanyaan umum adalah mempersoalkan kesiapan anggaran di sisi mereka agar CAT bisa dilaksanakan. Persoalan lain adalah soal kesiapan di lingkungan daerah mereka. Kita tentu tahu bahwa dengan adanya CAT maka kemungkinan intervensi dari para pejabat atau politisi akan dapat diminimalkan. Tujuan tersebut tampaknya sudah mulai dipahami oleh masing-masing instansi.
Resistensi ini juga tampak nyata ketika para panelis yang merupakan pejabat eselon I BKN dan Kementerian PAN dan RB menjadikan reformasi birokrasi sebagai retorika seleksi penerimaan CPNS. Peserta tampak tidak antusias. Berbeda dengan masyarakat yang menginginkan adanya reformasi birokrasi, pandangan peserta yang berasal dari berbagai instansi tersebut ternyata berbeda tentang reformasi birokrasi. Mereka menanggapi dingin retorika panelis ketika berbicara reformasi birokrasi.
Parahnya lagi, terdapat suatu daerah yang menginginkan diberikannya keistimewaan khusus. Argumentasi yang diberikan adalah kondisi daerahnya yang unik, seperti masih seringnya perang suku, kualitas SDM, dan seterusnya. Padahal, inilah peluang awal di mana rekruitmen CPNS akan menjadi buruk. Efek negatifnya lagi, dalam jangka panjang, pemerintah daerah akan diisi oleh PNS yang tidak berkualitas.
Tampaknya, memang masih ada gap yang besar antara yang menjadi retorika pemimpin politik dengan apa yang terjadi di lapangan. Sebagaimana pengertian korupsi yang tidak sama antara satu daerah dan daerah lainnya, reformasi birokrasi juga tidak dimaknai serius oleh semua pihak. Jadi, wajar saja jika ekspektasi masyarakat adanya reformasi birokrasi tidak pernah tercapai.
Kita mestinya merenungi lagi apa yang salah dari program reformasi birokrasi dan mencari cara baru agar perubahan (change) bisa berjalan dengan baik.***
Komentar