Langsung ke konten utama

Unit Khusus Pengawasan Jaksa: Mengefisienkan Proses Pemberantasan Korupsi


BEBERAPA bulan lalu saya mendapat telepon dari seorang teman saya tentang kedatangan seorang jaksa ke kantor istrinya. Istrinya itu adalah pejabat pada sebuah instansi pemerintah daerah. Saya pikir, pada waktu itu, hanyalah kedatangan biasa. Rupanya, sang jaksa saat kedatangannya sudah mulai mengancam istrinya bahwa ia akan membawa auditor instansi tertentu untuk membuktikan adanya kerugian negara pada kegiatan pengadaan di instansi istrinya itu. Istrinya itu kebetulan menjadi penanggung-jawab pengadaan tersebut, atau biasa dikenal sebagai pejabat pembuat komitmen.

Lama saya tidak mendengar lagi khabar tentang kedatangan jaksa tersebut dari teman saya. Sampai kemudian, beberapa minggu lalu saya mendapat BBM darinya. Ternyata, istrinya sudah langsung dipanggil untuk datang ke kantor kejaksaan negeri dengan status tersangka. Selanjutnya, sang jaksa mengancam akan menahan istrinya pada saat tiba di kantor kejaksaan negeri. Akhirnya, dengan negosiasi lewat pengacaranya, disepakati tidak adanya penahanan tersebut. Tentu kita sudah tahu, itu menimbulkan biaya yang tidak sedikit bagi kawan saya tersebut.

***

PENGALAMAN ini telah menjadi momok bagi pejabat publik. Kita juga sering menganggapnya biasa saja dan saya lihat kurang kuatnya upaya khusus untuk mengatasi masalah ini. Tekanan masyarakat dalam hal pemberantasan korupsi juga sering dijadikan alasan bagi aparat penegak hukum untuk mengambil keuntungan pribadi. Kita tentu sudah tahu masalah ini dan telah menjadi risiko besar bagi pejabat publik belakangan ini. Karena itu, sekarang banyak pejabat publik yang cenderung menghindar dan tidak mau lagi berurusan dengan pengadaan atau proyek. Mencari siapa yang mau menjadi penanggung-jawab pengadaan di sebuah instansi pemerintah bukanlah pekerjaan mudah.

Padahal, pengadaan atau belanja dari sektor publik masih menjadi sumber utama untuk menggerakkan perekonomian di Indonesia, termasuk di negara maju lainnya. Untuk menjalankan roda perekonomian negara, yang pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian warga negara, kita membutuhkan mesin birokrasi yang mau mengelola proyek. Memang, masalahnya, di masa lalu proyek di kantor pemerintah sering disalahgunakan oleh aparat pemerintah untuk memperkaya dirinya sendiri atau lingkungannya.

Memasuki era demokratisasi, di mana proses manajemen publik sudah semakin transparan dan tekanan publik yang semakin kuat, saya melihat aparat penegak hukum malah memanfaatkan ini untuk kepentingan dirinya dan menyalahgunakan kewenangannya. Saya rasa ini bukan rahasia umum dan kita semua sudah tahu. Tentu kita sering mendengar banyak cerita dari rekan kita, tetangga kita, dan saudara kita yang pernah berurusan dengan aparat penegak hukum, terutama mereka yang terlibat dalam kasus korupsi. Karena itu, mereka cenderung menghindar dari proses penegakan hukum. Jika memungkinkan, mereka akan mengeluarkan biaya berapapun agar proses penegakan hukum tidak berjalan dengan semestinya. Misalnya, jika seseorang telah menjadi tersangka, ia akan berusaha agar prosesnya berhenti untuk tidak sampai ke penuntutan.

Biaya dan bisnis untuk menghentikan proses penegakan hukum ini tentu sangatlah besar. Bahkan, mungkin bisa lebih besar dari keuntungan suatu pengadaan yang telah dikorupsi oleh si tersangka. Karena itu, tidak aneh mereka yang sudah menjadi tersangka cenderung menghindari proses penegakan hukum ini. Istilah yang berkembang, seseorang bisa tinggal “kolor” jika berurusan dengan proses penegakan hukum. Pengacara yang mestinya berperan untuk menegakkan proses hukum, pun cenderung malah menjadi “perantara (broker)” dengan aparat penegak hukum untuk menjalankan bisnis tersebut.

Aparat penegak hukum pun sering menjadikan tekanan publik  sebagai dasar untuk memproses sebuah aduan dugaan tindak pidana korupsi. Padahal, belum tentu aduan tersebut didukung dengan bukti yang cukup. Apalagi ketika menjelang Pilkada. Akhirnya, pejabat publik sering malah dijadikan "bancakan" oleh aparat penegak hukum karena si aparat juga tahu suatu kasus lemah untuk sampai dibawa ke peradilan.

Walaupun sudah cukup bukti, aparat penegak hukum juga masih ada yang membuat proses penegakan hukum menjadi berlarut-larut. Sebab, semakin berlarut-larut, maka akan semakin membuat tersiksa pihak yang menjadi tersangka. Tersangka bahkan bersedia mengeluarkan biaya besar agar proses hukum atas dirinya bisa berjalan dengan cepat pada kasus di mana ia tahu bukti hukum tidak cukup kuat untuk menjadikannya sebagai terdakwa.

***

TENTU Anda masih ingat ketika seorang anggota DPR mengeluh tentang kinerja KPK. Ia membandingkannya dengan kinerja Independent Comission Against Corruption (ICAC) di Hongkong. Walaupun pernyataannya menimbulkan polemik dari masyarakat, saya sedikit sejuju dengannya. Ini saya nyatakan bukan karena saya memiliki afiliasi politik dengan anggota DPR tersebut. Sama sekali tidak. Saya hanya merasakan KPK belakangan ini tidak memiliki fokus kerja yang jelas. Ini dapat dimaklumi karena tekanan dari publik dan anggota DPR yang mempunyai kepentingan masing-masing sangat kuat. Beda sekali ketika ICAC pertama kali dibentuk. Mereka mempunyai fokus yang jelas, yaitu pemberantasan korupsi pada penegak hukum, terutama kepolisian. Lagi pula, pekerjaan ICAC disupervisi langsung dari negara lain, yaitu Inggris, karena pada waktu itu Hongkong berada di bawah kendali Inggris.

Walaupun berbeda dengan pada waktu dibentuknya ICAC, saya rasa KPK harus menata-kembali fokus kerjanya. Memang, kita harus mengakui, kita memiliki banyak masalah korupsi di negeri ini. Namun, dengan keterbatasan sumber daya KPK, saya rasa penataan-ulang itu penting sekali. Salah satu pemikiran sederhana saya terkait penataan-ulang ini, sebaiknya KPK itu fokus pada kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara, seperti presiden, menteri, kepala daerah, dan aparat penegak hukum saja.

Dengan sumber daya terbatas, tidak mungkin KPK bisa menyelesaikan semua masalah korupsi yang terjadi di negeri ini. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat sekelas pemimpin proyek sebaiknya diserahkan ke aparat penegak hukum lain. KPK cukup melakukan supervisi terhadap proses yang dilakukan aparat penegak hukum tersebut. Jika dalam proses tersebut kemudian ditemukan adanya keterlibatan pejabat negara atau aparat penegak hukum, barulah KPK mengambil-alih proses penegakan hukumnya. Namun, tetap dibatasi pada penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang terkait dengan pejabat negara atau aparat penegak hukum tersebut, sedangkan yang terkait dengan pejabat birokrasi biasa tetap diserahkan ke aparat penegak hukum lainnya tersebut.

Memang ini merupakan pilihan yang sulit. Sebab, KPK adalah ibarat bayi yang baru lahir, sementara ada orang lain yang telah berumur, atau malah bisa dianggap orang-tuanya. Aparat penegak hukum lain tersebut tidak begitu saja rela dengan pembagian peran tersebut. Sebab, mereka sangat nyaman dengan posisi saat ini yang tidak terkendali. Mereka tidak peduli jika akhirnya tindakannya itu malah merusak sistem dan mengakibatkan tidak berjalannya peran aparat negara dalam menjalankan perekonomian negara.

***

Sebagai langkah awal untuk kembali memfokuskan kerja KPK, saya memiliki pendapat bahwa KPK perlu membentuk unit khusus yang mengurusi tindak pemerasan aparat hukum, seperti jaksa. Terutama untuk menjalankan agar proses penegakan hukum dengan contoh yang dihadapi istri teman saya tersebut dapat berjalan secara efisien.  Yang saya maksud pembentukan unit khusus ini tentu tidak sekedar dibuatnya menu pengaduan di website KPK yang sudah ada saat ini. Yang saya maksud adalah adanya semacam unit khusus yang menangani kejahatan dengan tindak kekerasan seperti di kepolisian.

Sebab, mengawasi pemerasan oleh aparat penegak hukum, terutama jaksa, perlu tindakan tersendiri. Mereka sangat paham bagaimana agar tidak tertangkap ketika terjadi deal. Karenanya, sekedar menyadap alat komunikasi aparat penegak hukum itu sudah tidak cukup lagi. Mereka sudah semakin mengerti bagaimana caranya agar alat komunikasinya tidak disadap ketika melakukan pemerasan ke tersangka. Ini pun sudah diketahui oleh KPK.  "Pemerasan itu beda tipis dengan penyuapan," kata teman saya yang bekerja di KPK. Salah-salah, yang terkena malah pelapor pemerasan itu sendiri.

Pembentukan unit khusus yang mengawasi jaksa-jaksa nakal itu saya rasa sangat penting dan perlu disegerakan. Tujuannya, bukan untuk mencemarkan citra lembaga kejaksaan atau aparat penegak hukum lain, tetapi adalah untuk membuat proses penegakan hukum itu berjalan efisien. Ketika proses penegakan hukum tidak berjalan efisien, maka akan banyak orang yang mengambil keuntungan di proses tersebut. Akan tumbuh bisnis-bisnis perantara (broker) untuk mengintervensi proses penegakan hukum.

***

PERTANYAANNYA kemudian adalah apakah yang mesti dilakukan oleh unit khusus tersebut? Saya kembali berfikir sederhana, yaitu bagaimana atau langkah-langkah apa yang perlu disusun sehingga dapat menciptakan proses penegakan hukum menjadi efisien. Langkah awal adalah KPK membuat menu pengaduan khusus untuk jaksa nakal di websitenya, atau melalui saluran lain seperti SMS, seperti saya uraikan sebelumnya. Bukan sekedar menu pengaduan yang bersifat umum. Jika perlu, KPK bersifat aktif mengumpulkan data ke pihak yang sedang menghadapi proses penegakan hukum, yaitu para tersangka.

Kemudian, setiap pengaduan yang masuk atau hasil pendataan ke tersangka ditelaah. Atas kasus yang masuk, KPK kemudian menginformasikan langsung ke jaksa tersebut. KPK kemudian "menongkrongi" jaksa-jaksa yang diadukan tadi. Kalau KPK bisa menjalankan ide ini, tentu akan terasa sekali peran KPK dalam pemberantasan korupsi yang bersifat jangka panjang. Keterlibatan KPK ini adalah untuk memastikan bahwa proses hukum akan dijalankan secara efisien oleh jaksa dan menghindari upaya menggantung-gantung proses penegakan hukum untuk kepentingan pribadi sang jaksa.

Kalau jaksanya mulai “nakal”, barulah KPK memprosesnya lebih lanjut. Namun, sebelum proses itu dijalankan, KPK telah berperan sebagai early warning system dalam proses penegakan hukum. KPK tidak lagi disalahkan seperti polisi yang berdiri di balik pohon dan kemudian menyemprit pelanggar ketika terjadi pelanggaran, yang cenderung dianggap seperti menjebak oleh seorang mantan pimpinan Mahkamah Konstitusi.

Tersangka pun harus dibimbing oleh KPK bahwa ia harus mau mengikuti seluruh proses penegakan hukum, termasuk sampai dengan persidangan di pengadilan. Artinya, ia harus dibimbing untuk tidak mau mengeluarkan biaya penyuapan. Jika perlu, memang sedikit warning ke tersangka bahwa upayanya memberikan kompensasi ke penegak hukum, walaupun melalui pengacaranya, bisa mengakibatkan sanksi hukum yang semakin berat. Intinya adalah bagaimana agar semua pihak mau berproses di pengadilan, tetapi dengan proses yang efisien. Sebab, proses peradilanlah yang bisa menentukan apakah seseorang telah terbukti melanggar hukum atau tidak. "Biarkan pengadilan yang memutuskan seorang bersalah atau tidak," kata seorang mantan anggota KPK.

Semoga Anda yang bekerja di KPK bisa memulai pemikiran sederhana ini untuk menuju Indonesia yang lebih baik.  Dan saya yakin, beberapa pemikiran ini mungkin sudah ada di pihak Anda, tetapi karena satu dan lain hal tidak pernah diimplementasikan. Merefleksikan kembali strategi dan fokus saya rasa tetap penting bagi KPK agar lebih bisa semakin berperan dalam pemberantasa korupsi di negara ini. Selamat berjuang KPK!

:: Sebuah perenungan untuk negeri ini yang ditulis di Kampus Kijang, Binus University, 8 Oktober 2011, pada pagi yang cerah. Perenungan lainnya dapat dilihat di http://pojokgagasan.blogspot.com. Tulisan-tulisan pada blog ini bersifat independen dan tidak terafiliasi pada pihak mana pun.

Komentar

asaz mengatakan…
jaksa dan polisi kalau sudah terlibat korupsi susah di tindak termasuk KPK pasti susah karena Korupsi itu kejahatan berjamaah, KPK harus betul-betul mandiri tidak tergantung polisi dan jaksa

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke