Saya tertarik dengan perdebatan mengenai isu pemblokiran BlackBerry (BB). Yang menarik bagi saya bukan soal pemblokiran itu sendiri, tetapi sudah mulai sadarnya beberapa pihak tentang pentingnya pengamanan informasi negara.
Belakangan ini, secara tidak sadar, banyak pejabat kita yang menggunakan BB, tanpa tahu konsekuensi keamanannya bagi kepentingan negara. Padahal, negara maju seperti Singapura, yang sangat “melek” teknologi informasi, telah lama melarang pegawai publik untuk menggunakan BB.
Anehnya, lembaga negara yang tugasnya mendalami ini, seperti Lembaga Sandi Negara, saya lihat belum mengeluarkan statement bahayanya penggunaan BB bagi keamanan negara. Pejabat negara sekelas Presiden pun bisa "berlenggang-kanggung" bersama dengan staf intinya, termasuk para menteri dan staf khusus, menggunakan BB. Begitu juga saya lihat komunikasi di teman-teman Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Dari dulu saya sempat bertanya, apakah ada yang salah dengan Lembaga Sandi Negara? Mestinya, merekalah yang paling kompeten berbicara tentang aspek keamanan negara pada penggunaan BB. Karena itu, adalah percuma saja kita membuat aturan pengamanan fisik yang ketat bagi komunikasi Kepala Negara, sementara penggunaan BB tidak dikendalikan dengan ketat.
Untuk mendalami lebih lanjut tentang hal ini, dapat dibaca diskusi yang dimulai dari pertanyaan seorang anggota pada sebuah milis. Anggota milis ini menanyakan isi sebuah tulisan media massa, yaitu sebagai berikut:
"Segala jenis data yang dikirim menggunakan layanan BB terenskripsi atau dikunci oleh penyedia layanannya, yaitu Research in Motion Ltd (RIM). Kunci data ini hanya bisa dibuka oleh RIM yang berpusat di Kanada.”
“Jika Pemerintah Indonesia ingin mengakses atau menyadap data yang dikirim lewat BB, Pemerintah RI harus meminta terlebih dahulu kepada Pemerintah Kanada. Pemerintah Kanada-lah yang selanjutnya akan meneruskan permintaan tersebut kepada RIM. Data pun akan diserahkan RIM lewat Pemerintah Kanada kepada Indonesia."
“Pertanyaannya adalah enkripsi dilarang atau dibolehkan di Indonesia?” tanyanya.
Seorang anggota lain, yang mantan staf khusus bidang teknologi informasi pada sebuah kementerian, menanggapi pertanyaan tersebut. Dia menyatakan bahwa masalah blokir yang muncul saat ini terhadap provider yang berbeda negara adalah dampak kewajiban negara melindungi warganya dan melindungi kepentingan negaranya.
Masalah blok akses hosting antar negara yang terjadi di Timur Tengah adalah hal yang mencuat belakangan di media, sementara blokir tersebut sebenarnya sudah lama terjadi di beberapa negara termasuk di Indonesia. Antara lain, untuk mencegah terjadinya penjajahan ekonomi melalui informasi, keamanan rahasia bisnis, dan rahasia negara, dan banyak hal lain yang tidak bisa dijangkau dengan hukum yang berlaku di negara pengguna fasilitas tersebut.
Masalah bahasan tentang penyadapan di media, menurut pendapat anggota milis ini, hanyalah pengalihan isu dari isu perlindungan konsumen menjadi isu politik. Sebab, meski di Indonesia, bukan berarti pemerintah bebas bisa menyadap tanpa jejak hukum dan tanpa dasar hukum. Justru bila jasa tersebut diselenggarakan di Indonesia, maka bila terjadi sesuatu, negara bisa melakukan tindakan yang melindungi bangsanya.
Ditambahkannya lagi, siapapun pengusaha yang mau mencari makan dan “mendulang” sebagian dari isi kocek warga negara Indonesia yang jumlah dan omzetnya sangat besar harus bersedia menjalankan kegiatannya dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Sayang, katanya, sampai hari ini, faktanya menunjukkan indikasi RIM masih bebas beroperasi di Indonesia tanpa ada tindakan negara untuk melindungi kedaulatan bangsa dan warganya. Beberapa lembaga negara justru menggunakan jasa RIM untuk mengkomunikasikan hal-hal yang bersifat rahasia negara.
“Kita bisa melakukan hal yang lebih baik bagi bangsa dan negara untuk mempergunakan sarana sejenis yang jasanya sudah tersedia secara lokal dengan sarana dan tarif lebih murah dan tidak berbeda fasilitasnya, tanpa harus tergantung kepada RIM,” tutupnya.
Seorang member lainnya yang merupakan akademisi dari UGM menyatakan, yang menjadi persoalan adalah terakumulasinya content komunikasi privat warga Indonesia di yahoomail, yahoo messenger, gmail, BB messenger. Sebaiknya, pemerintah memang tidak perlu tahu komunikasi privasi warganya. Celakanya, justru agen asing yang menguasai akumulasi content komunikasi privat itu. BB menempati posisi unik dalam bisnis penguasaan content komunikasi privat ini karena mampu menarik hati para usernya sehingga rela menyerahkan userid dan password email mereka, termasuk email domain .id mereka. Selain itu, BB (dan operator Opera Mini) memanfaatkan teknologi proxy kompresi akses web untuk mengakumulasi komunikasi web.
Apakah pengguna BB dan Opera Mini sadar kalau akses web mereka adalah melalui server operator di luar sana? Ini termasuk akses ke sistem-sistem informasi berbasis web yang melibatkan entry userid dan password.
Terhadap ini, member yang pertama menanggapi menyatakan, selain jangan sampai kita dijajah negara lain melalui penguasaan informasi, kita juga perlu menjaga jangan sampai Indonesia ikut-ikutan untuk menjadi negara otoriter yang tidak demokratis seperti Amerika, Cina, Rusia, Burma, Inggris, dan beberapa negara yang semuanya berkedok negara demokrasi, yang secara nyata mengekang kebebasan individu dan privasi dengan mengendalikan, mengawasi, dan menyadap semua komunikasi pribadi dan usaha tertentu secara bebas berdasar undang-undang, yang dilaksanakan dengan segala cara untuk memonitor semua komunikasi internal dan eksternal yang terhubung dengan negara tersebut.
Satu tanggapan muncul dari pejabat Kementerian Kominfo, yang juga menjadi anggota milis ini. Dia menyatakan bahwa banyak pihak telah sepakat dengan semangat “Menjaga Kedaulatan Informasi NKRI”. Kelihatannya, memang akan seperti simalakama. Kuncinya, jangan sampai informasi atau segala hal privasi publik dan negara dikuasai pihak asing.
Yang masih menjadi ganjalan adalah, sedalam apa asing akan bisa menguasai informasi bangsa ini melalui teknologi yang memudahkan hidup manusia? Bila kita menuntut BB membangun data center (DC) di Indonesia, sejauh mana pemerintah atau pihak yang berwenang dapat mengontrol bahwa informasi-informasi yang berjalan melalui DC tersebut tidak digunakan untuk kepentingan yang tidak sehat, seperti mulai dari pencurian ide-ide, hingga spionase berbalut konten gratisan yang keren ala BB, Facebook (FB), dan lain-lain.
“Bila saya adalah dalang (misalnya memang demikian) spionase berbalut BB, maka adalah uang receh untuk sekedar membangun DC di Indonesia. Yang penting adalah saya masih menguasai kedaulatan informasi bangsa Nusantara ini,” katanya.
Jadi, apakah Anda masih ingin terus membocorkan rahasia negara kita ke negara lain? Gunakanlah BB!
Anda mempunyai tanggapan tentang ini? Silahkan posting di sini.
Komentar
Saya sepakat dengan saudara Rudy bahwa keamanan negara pada akhirnya adalah hal yang paling penting untuk dilindungi, bisa mengalahkan hak perlindungan konsumen ataupun kebebasan memperoleh informasi publik, namun implementasi perlindungan keamanan negara tersebut mutlak dengan telah memenuhi peraturan perundang-undangan serta norma, standard, prosedur dan kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini instansi yang berwenang dalam hal keamanan informasi (memangnya ada? dan apakah Lembaga Sandi Negara yang dimaksud oleh saudara Rudy memang tugas dan fungsinya di bidang keamanan informasi nasional?).
Saya kira Kemenkominfo sekalipun yang merupakan departemen teknis bidang informasi tidak mendalami perihal keamanan informasi nasional, dalam hal keamanan informasi nasional saya dalam posisi HAVE NO IDEA apakah pemerintah RI punya perangkatnya.
Sungguh ironis memang, di abad informasi yang penuh dengan tarik-menarik untuk menguasai informasi, pemerintah kita belum dapat mengambil sikap dan tindakan yang proporsional sesuai dengan prioritas nilai informasinya.
Tapi, ini hanya soal aliran saja. Beberapa pihak lebih menyukai nama "National Security Agency". Kalau lihat tupoksinya, memang inilah tugas LSN.
Mereka tidak hanya melindungi komunikasi dan informasi pemerintah, tetapi juga negara dan warga negaranya. Karena itu, ada kata "negara" di belakang nama lembaga ini.
Btw, saya pernah membimbing salah satu mahasiswa LSN dan pernah diskusi di sistem enkripsi untuk e-proc LKPP. Mereka sebenarnya sudah memahami perannya ini. Hanya saja, di level pimpinan, masih lebih ke perlindungan terhadap teknologi komunikasi konvensional. Walaupun mereka sudah mulai masuk ke enkripsi sistem email.