Minggu lalu, saya mendapat pertanyaan dari seorang pejabat sebuah pemerintah daerah yang juga PPK terkait dengan HPS. Dalam sebuah pengadaan yang telah ditetapkan pemenangnya, tetapi belum sampai ke kontrak, dia menemukan bahwa ternyata terdapat penawaran yang harga satuan beberapa itemnya di bawah harga satuan menurut HPS. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan?
Dalam Pasal 13 Keppres 80/2003, dinyatakan bahwa PPK wajib memiliki harga perkiraan sendiri (HPS) yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertangungjawabkan. HPS ini digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran termasuk rinciannya dan untuk menetapkan besaran tambahan nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang dinilai terlalu rendah, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penawaran. Nilai total HPS terbuka dan tidak bersifat rahasia.
Menurut penjelasan ayat (1) Pasal tersebut, data yang digunakan sebagai dasar penyusunan HPS antara lain:
a. Harga pasar setempat menjelang dilaksanakannya pengadaan;
b. Informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. Daftar biaya/tarif barang/jasa yang dikeluarkan oleh agen tunggal/pabrikan;
d. Biaya kontrak sebelumnya yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya, apabila terjadi perubahan biaya;
e. Daftar biaya standar yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Pada Lampiran I Bab II A 1 f 12) c) Keppres tersebut, harga satuan timpang yang nilainya lebih besar dari 110% (seratus sepuluh persen) dari HPS mesti dilakukan klarifikasi. Apabila setelah dilakukan klarifikasi ternyata harga satuan tersebut timpang, maka harga satuan timpang hanya berlaku untuk volume sesuai dengan dokumen pemilihan penyedia barang/jasa.
Dalam sebuah tulisan di Forum Pengadaan yang dipublikasikan ke Media Indonesia, hal seperti ini sering menimbulkan masalah. “Biasanya lalu muncul perdebatan dengan pemeriksa, karena terdapat harga item-item pekerjaan yang melampaui harga item dalam HPS dan oleh pemeriksa dinyatakan merugikan keuangan negara,” tulis Forum tersebut. Namun, dijelaskan dalam Forum tersebut, “… sepanjang proses pengadaannya dilakukan melalui pelelangan, maka harga-harga yang terjadi adalah harga pasar yang sesungguhnya, sehingga tidak dapat dikatakan merugikan negara dalam arti korupsi.”
Artinya, jika mengikuti penjelasan tersebut, tidak ada alasan untuk menolak atau mempermasalahkan harga penawaran sebuah item yang di atas harga HPS, sepanjang telah dilakukan klarifikasi.
Anehnya, setelah diteliti kembali, ternyata memang total harga yang ditawarkan di bawah HPS, tetapi harga satuan masing-masing item ternyata di bagi rata. Ini cukup menimbulkan pertanyaan. Jika melihat dari pola ini, biasanya perusahaan penawar tidak menguasai apa yang ditawarkannya. Setelah ditanyakan oleh PPK, ternyata perusahaan penawar menyatakan bahwa mereka hanya mendapat harga total dari prinsipal, tanpa rinciannya.
Setelah diteliti kembali, rupanya perusahaan tersebut adalah yang cukup beruntung, karena peserta lelang lainnya sudah gugur karena masalah administrasi. Pengadaan ini menggunakan pendekatan pascakualifikasi.
Saya bilang, biasanya perusahaan seperti inilah yang selalu menjadi masalah dalam pengadaan. Kemudian, saya menanyakan nama perusahaan penawar tersebut. Ternyata, yang saya dengar, perusahaan tersebut pernah di-blacklist oleh sebuah departemen karena tidak mau menandatangani kontrak setelah menjadi pemenang lelang sebuah pengadaan. Karena itu, kemenangan perusahaan tersebut layak dibatalkan.
Apa yang bisa diambil hikmahnya dari hal ini? Walaupun memang harga per item di HPS itu tidak mengikat, tetapi ketika Panitia Pengadaan atau PPK melihat keanehan dalam harga penawaran per item, sebaiknya segera ditelusuri kemampuan dan keberadaan perusahaan tersebut.
Dalam Pasal 13 Keppres 80/2003, dinyatakan bahwa PPK wajib memiliki harga perkiraan sendiri (HPS) yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertangungjawabkan. HPS ini digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran termasuk rinciannya dan untuk menetapkan besaran tambahan nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang dinilai terlalu rendah, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penawaran. Nilai total HPS terbuka dan tidak bersifat rahasia.
Menurut penjelasan ayat (1) Pasal tersebut, data yang digunakan sebagai dasar penyusunan HPS antara lain:
a. Harga pasar setempat menjelang dilaksanakannya pengadaan;
b. Informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. Daftar biaya/tarif barang/jasa yang dikeluarkan oleh agen tunggal/pabrikan;
d. Biaya kontrak sebelumnya yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya, apabila terjadi perubahan biaya;
e. Daftar biaya standar yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Pada Lampiran I Bab II A 1 f 12) c) Keppres tersebut, harga satuan timpang yang nilainya lebih besar dari 110% (seratus sepuluh persen) dari HPS mesti dilakukan klarifikasi. Apabila setelah dilakukan klarifikasi ternyata harga satuan tersebut timpang, maka harga satuan timpang hanya berlaku untuk volume sesuai dengan dokumen pemilihan penyedia barang/jasa.
Dalam sebuah tulisan di Forum Pengadaan yang dipublikasikan ke Media Indonesia, hal seperti ini sering menimbulkan masalah. “Biasanya lalu muncul perdebatan dengan pemeriksa, karena terdapat harga item-item pekerjaan yang melampaui harga item dalam HPS dan oleh pemeriksa dinyatakan merugikan keuangan negara,” tulis Forum tersebut. Namun, dijelaskan dalam Forum tersebut, “… sepanjang proses pengadaannya dilakukan melalui pelelangan, maka harga-harga yang terjadi adalah harga pasar yang sesungguhnya, sehingga tidak dapat dikatakan merugikan negara dalam arti korupsi.”
Artinya, jika mengikuti penjelasan tersebut, tidak ada alasan untuk menolak atau mempermasalahkan harga penawaran sebuah item yang di atas harga HPS, sepanjang telah dilakukan klarifikasi.
Anehnya, setelah diteliti kembali, ternyata memang total harga yang ditawarkan di bawah HPS, tetapi harga satuan masing-masing item ternyata di bagi rata. Ini cukup menimbulkan pertanyaan. Jika melihat dari pola ini, biasanya perusahaan penawar tidak menguasai apa yang ditawarkannya. Setelah ditanyakan oleh PPK, ternyata perusahaan penawar menyatakan bahwa mereka hanya mendapat harga total dari prinsipal, tanpa rinciannya.
Setelah diteliti kembali, rupanya perusahaan tersebut adalah yang cukup beruntung, karena peserta lelang lainnya sudah gugur karena masalah administrasi. Pengadaan ini menggunakan pendekatan pascakualifikasi.
Saya bilang, biasanya perusahaan seperti inilah yang selalu menjadi masalah dalam pengadaan. Kemudian, saya menanyakan nama perusahaan penawar tersebut. Ternyata, yang saya dengar, perusahaan tersebut pernah di-blacklist oleh sebuah departemen karena tidak mau menandatangani kontrak setelah menjadi pemenang lelang sebuah pengadaan. Karena itu, kemenangan perusahaan tersebut layak dibatalkan.
Apa yang bisa diambil hikmahnya dari hal ini? Walaupun memang harga per item di HPS itu tidak mengikat, tetapi ketika Panitia Pengadaan atau PPK melihat keanehan dalam harga penawaran per item, sebaiknya segera ditelusuri kemampuan dan keberadaan perusahaan tersebut.
Komentar