Langsung ke konten utama

Benarkah Kapolri Terlibat?


Beberapa waktu ini kita ditontonkan oleh pertarungan Polri dan KPK. Tontonan itu, dari diskusi saya ke beberapa rekan, ternyata menjadi tontonan yang tidak mengenakkan bagi banyak pihak. Bagi yang memiliki naluri keadilan sangat tinggi, tontonan tersebut terasa sangat menyesakkan dada. Apapun penjelasan dari Polri, selalu dipersepsikan negatif oleh masyarakat. 

Sialnya, banyak pihak kini menghubungkan tindakan Polri yang membabi-buta, terutama ketika terjadi  unjuk gigi Polri untuk menangkap penyidik KPK di sarang KPK, dengan keterlibatan Kapolri secara langsung dalam dugaan tindak pidana korupsi alat simulator. Mereka melihat indikasi ini dari adanya keputusan Kapolri terkait dengan petapan pemenang pengadaan alat simulator. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu saudara penyidik KPK yang akan ditangkap oleh Polri di media sosial.

Sebenarnya, Kapolri sudah menyatakan bahwa ia menetapkan pemenang tersebut karena persyaratan peraturan, dalam hal ini Peraturan Presiden Nomor 54/2010. Namun, entah karena media yang tidak mampu menangkap isi pernyataan Kapolri atau memang penjelasan Kapolri yang tidak memadai, kesan keterlibatan Kapolri semakin mengental. Apalagi, ketika upaya mengkrimaninalisasi KPK semakin kentara, tidak kelihatan adanya upaya tegas dari Kapolri untuk menghentikan hal tersebut. Belakang ini, bahkan persepsi negatif sudah berkembang ke arah Presiden. Entah sengaja dibentuk atau tidak, sekarang terbentuk persepsi bahwa Presiden dalam posisi tersandera oleh Polri. Karena itu, terkesan Presiden tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan upaya "kriminalisasi" tersebut. Karenanya, tidak terhindarkan jika akhirnya para tokoh dan penggiat anti korupsi turun langsung ke jalan untuk menghentikan upaya kriminalisasi tersebut.

Sebelum hal ini semakin meruncing, dengan kemungkinan kejatuhan seorang presiden, perlu rasanya saya sedikit mengulas peran Kapolri terkait regulasi pengadaan. Tulisan ini tentu tidak dimaksudkan untuk menjadi ajang pembelaan bagi Kapolri, tetapi semata-mata untuk pembelajaran bersama.

Prosedur Pengadaan
Dalam Peraturan Presiden Nomor 54/2010, sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70/2012, memang ada pemberian peran terhadap Kapolri. Sebab, ia adalah Pengguna Anggaran Polri. Kapolrilah yang paling bertanggung-jawab dalam manajemen penggunaan anggaran yang ada di Polri. Namun demikian, walaupun ia penanggung-jawab utama, sebenarnya tugas dan kewenangannya dalam pengadaan itu telah dibagi-bagi ke banyak pihak, yaitu pejabat pembuat komitmen, panitia/unit pengadaan, dan panitia penerima hasil pekerjaan. Ketiga pihak inilah yang sehari-hari melakukan kegiatan pengadaan. Sebagai contoh, panitia/unit pengadaanlah yang menetapkan siapa yang akan menjadi rekanan suatu pengadaan (pemenang lelang).

Masalahnya, untuk kepentingan pengendalian, khusus untuk pengadaan yang nilainya di atas Rp100 miliar, terdapat risiko yang sangat besar jika penetapan pemenang diberikan kewenangannya ke panitia/unit pengadaan. Karena itu, khusus untuk pengadaan yang nilainya di atas Rp100 miliar, penetapan pemenang tetap berada di bawah kewenangan Kapolri. 

Memang jika dipandang secara umum, seolah-olah Kapolri terlibat langsung dalam proses pengadaan tersebut. Sebenarnya, hal ini tidak demikian. Seluruh proses tetap berjalan di ketiga pihak tersebut. Kapolri hanya terlibat dalam penetapan pemenang. Artinya, yang membuat kontrak dengan rekanan tetap saja pejabat pembuat komitmen. 

Sudah pasti, ketika melakukan penetapan tersebut, ada risiko terjadinya korupsi. Namun, sebelum kita curiga bahwa Kapolri terlibat langsung dalam dugaan tindak pidana korupsi, pertama sekali kita harus menentukan di mana dugaaan korupsi itu terjadi. Jika memang dugaan tindak pidana korupsi itu terjadi dalam penetapan pemenang lelang, barulah Kapolri terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi. Akan tetapi, dari beberapa publikasi di media, tampaknya korupsi tidak terjadi di proses tersebut, tetapi pada waktu implementasi kontrak, yaitu tidak dipenuhinya hal-hal yang dipersyaratkan dalam kontrak. Jika hal ini yang terjadi, tentu yang sangat bertanggung-jawab adalah pejabat pembuat komitmen dan panitia penerima hasil pekerjaan. 

Persepsi Negatif
Hanya saja, karena kurang cerdasnya dalam membuat komunikasi publik, akhirnya apapun yang disampaikan oleh Polri menjadi semacam bumerang. Alih-alih ingin memperjelas permasalahan, ketika setiap unsur dari Polri berbicara ke masyarakat cenderung malah menambah persepsi negatif masyarakat ke Polri. Polri pun tampak kelelahan dalam menyikapi ini. 

Walaupun telah memiliki divisi khusus untuk komunikasi publik, tampaknya Polri perlu merenungkan kembali strategi dalam berkomunikasi dengan publik. Mereka perlu mencontoh praktik komunikasi publik yang dilakukan oleh kepolisian di negara lain. 

Saya melihat, jika pemerintah tidak bisa mengatasi ini dengan baik, akan dapat mengakibatkan ketidakpercayaan yang semakin tinggi kepada pemerintah. Pemerintah pun bisa dianggap sudah tidak efektif. Jika sudah tidak efektif, tentu bisa berakibat drastis. Jangan dianggap enteng. Kejatuhan seorang presiden bisa bukan karena ia melanggar hukum saja. Bisa jadi malah kejatuhannya karena tidak kemampuannya mengelola konflik dengan baik, termasuk ketidaktegasan dalam bersikap.   

Komentar

Anonim mengatakan…
Apabila kapolri tidak terlibat, kenapa pada saat pengepungan KPK oleh beberapa anggota polisi, Kapolri terkesan diam saja dan membiarkan...apakah seperti itu profesional polisi atau memang perintah atasan..?????
Anonim mengatakan…
Sikap Kapolri yg sejak penggeledahan oleh KPK di Korlantas, ditindaklanjuti dg penarikan penyidik KPK, usaha penyerbuan KPK beberapa hari lalu, membuat kita semua menjadi yakin bahwa Kapolri terlibat dlm korupsi Korlantas. Bukan media, bukan LSM tpi sikap kapolri dan bberapa petinggi polri yg ngomong penuh kebohongan membuat rakyat marah. Mereka pikir rakyat dpt terus dibodohi.
Anonim mengatakan…
Jika saya ada iktikad baik dari polri sejak awal gak akan seperti ini, serahkan saja pelaku simulator ke KPK, tar dipengadilan akan ketauan siapa yg benar, yg terjadi polri ikut membawa lembaga melawan KPK, dari stetmen polri dah ketauan kok jika polri berusaha memojokkan peyidik KPK, padahal bukan dia yg melakukan tapi anak buahnya, jika skenario seperti ini bisa berlaku di Polri kenapa kasus Semangi dan Kasus Trisakti kok bukan kapolrinya aja yg diseret langsung ke pengadilan, bukankah dia ikut bertanggungjawab terhadap tindakan tersebut?..aneh dan ajaib cuma ada di indonesia
Unknown mengatakan…
Ah, jangan heran, hampir semua pejabat kita memang orang bodoh..sebelum menjabat aja mereka sudah ada pikiran mau korupsi, pas korupsi, eh kentara, trus ketahuan, mau coba berkelit dengan menggunakan trik-trik bodoh, nggak cantik mainnya. Sudah pasti korupsi di negara kita ini belum bakal secepatnya diberantas tuntas, mungkin berangsur-angsur berkurang (kecuali ada gebrakan spektakular dalam waktu hanya 2 - 3 tahun seperti yang dilakukan oleh Pemimpin di negara Mexico, Peru, Korea Selatan, Liberia dan Filipina). Selain ada Komisi Pemberantasan Korupsi mungkin ada baiknya dibentuk "Komisi Korupsi" dimana institusi ini kerjanya mengatur pera pejabat bodoh yang mau korupsi tetapi dikontrol dan dibatasi jumlahnya dan dilakukan secara bergiliran sampai akhirnya suatu waktu korupsi dapat berhenti (untuk yang gede-gede), tinggal tersisa korupsi dibawah 1M saja yang mungkin rakyat bisa terima, dan pas gilirannya menjabat dia kebagian jatahnya. Oke?
Anonim mengatakan…
Sedih sekali, polisi negaraku adalah polisi bodoh? Kerjanya korupsi atau memeras rakyat. ya tuhan Allah Robbi berikanlah kami polisi yang bijak yang tidak angkuh, tidak sembrono, menegakkan hukum, tidak pilih bulu, tidak korupsi. ya Allah berikanlah kami presiden yang tegas, DPR yang bersih, Jaksa, hakim, baik tidak korupsi. Ya Allah siapakah yg tidak korupsi di negaraku ini?
Anonim mengatakan…
tidak semua polisi jahat.. masih ada kompol novel baswedan
dan seharusnya KPK jangan mengangkat kompol novel jadi pegawai tetap
kalo kompol novel sudah bukan polisi terus siapa yang akan jadi calon kapolri yang antikorupsi?????
Unknown mengatakan…
Ada yang mengatakan jika korupsi nggak ketahuan orang tsb dikatakan pintar jika ketahuan baru dibilang bodoh..memang sulit apabila sudah berbicara mengenai "Moral" atau akhlak, itu tergantung dari masing2 insan tsb. Mungkin saya dan anda masih berpikiran jernih saat ini dengan moral masih murni dengan ide-ide yg belum terkontaminasi tetapi apabila diperhadapkan dengan tawaran yg menggiurkan apakah moral kita masih akan tetap murni? contohnya terjadi dalam kasus korupsi bank Century. Sebenarnya bank Century tidak termasuk salah satu bank yg harus diselamatkan, tetapi karena ada "Niat" kongkalikong dari sekelompok orang untuk mengkorupsi uang rakyat maka dibuatlah akal-akalan, rekayasa utk penyelamatan beberapa bank agar perekonomian negara kita berjalan stabil. Yang lucunya ada salah satu bank yg masuk program penyelamatan ini merasa tidak perlu untuk diselamatkan karena memang kondisi keuangan bank tersebut tidak sakit alias sehat. Tetapi karena akal-akalan ini BI mengucurkan dana ratusan milyar ke bank tsb yg sebenarnya tidak perlu. Sudah tentu pemilik bank tsb yg tadinya tidak ada niat ikut2an dlm konspirasi keghiatan korupsi ini ikut terseret kedalam permainan yg awalnya kelihatan rapih, maka dana ratusan milyar tsb disalurkan ke rekening lain yg bukan digunakan utk kegiatan bank tsb. Dalam hal ini siapa yang salah? Pernah dengar ada seorang petani dari Sulawesi Tenggara kaget hampir pingsan karena tiba2 direkeningnya masuk dana belasan milyar rupiah yang entah dari mana asalnya? tapi dasar petani ini tidak punya "niat" korupsi, dilaporkannya masalah ini kepada yg berwenang shg tiba2 dana tsb lenyap kembali. Kejadian ini terjadi pada awal-awal kasus Century diangkat. Apakah petani ini termasuk orang "bodoh" atau "pintar"?

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke