Langsung ke konten utama

Optimalisasi Media Sosial dan Sistem Cadangan KRL Jabodetabek

IMG-20110514-00094_2

Seperti tidak pernah usang, penumpang KRL Jabodetabek selalu mengeluh tentang layanan KRL. Padahal, beberapa tahun belakangan ini KRL sudah dikelola secara terpisah dari PT KAI. Kini KRL Jabodetabek dikelola oleh PT KAI Commuter Jabodetabek. Hanya saja, memang apa yang mesti dikelola oleh masing-masing pihak tampaknya belum terdefinisikan dengan jelas. Akibatnya, jika terjadi permasalahan, penanganannya menjadi sangat lambat. Hal ini dipersulit lagi ketika PT KAI Commuter Jabodetabek mesti berurusan dengan instansi lain terkait pengelolaan perkeretaapian. Sebagai contoh, ketika sebuah pohon tumbang di sebuah jalur, biasanya mereka akan meminta bantuan pemerintah setempat dalam penanganannya. Selain itu, belum tampak adanya unit Emergency Response Team yang bisa bergerak dengan cepat.

Beberapa hari ini, kita bisa lihat, ketika terjadi putusnya sebuah jalur listrik antara Tanah Abang – Serpong, tampak begitu lambatnya penanganan pengelola KRL. Memang, permasalahan jalur tentu bukan hanya tanggung-jawab PT KAI Commuter Jabodetabek, tetapi juga KAI dan bahkan Kementerian Perhubungan. Namun, hal ini telah mengakibatkan keluhan bertubi-tubi dari pelanggan. Kita bisa mengikuti keluhan itu dari account twitter @KRL_Jabodetabek dan @KRLMania. Pelanggan paling sering menyuarakan kesenggaraan yang mereka rasakan melalui account ini. Sayangnya, tidak ada sedikit pun permintaan maaf dari manajemen PT KAI Commuter Jabodetabek ataupun PT KAI dan Kementerian Perhubungan melalui media sosial.

Pengelola KRL tampaknya tidak menyadari bahwa pengaruh media sosial itu sudah sangat besar. Jika sebuah organisasi tidak bisa merespon dengan baik, maka citranya akan semakin buruk. Padahal, sudah banyak pihak yang mengerti tentang pentingnya optimalisasi media sosial. Bahkan, Pilkada DKI yang baru dimenangkan Jokowi beberapa waktu lalu baru disadari oleh lawannya Foke adalah pengaruh dari optimalisasi media sosial.

Memang, penggunaan media sosial tidaklah cukup. Agar tidak dikesankan hanya unggul dalam pencitraan, pengelola KRL harus membangun sistem backoffice yang kuat. Sebagai contoh, jalur listrik untuk beroperasinya KRL itu sebenarnya tidak terhindarkan akan terganggu karena penggunaan yang terus menerus. Bisa dalam bentuk ada perangkat yang menyangkut atau bahkan terputus. Namun, pengelola KRL mesti menyiapkan rencana kontinjensi yang handal. Mestinya, ketersediaan perangkat cadangan sudah harus menjadi standar pengelola KRL.

Perangkat cadangan itu bisa disediakan dalam bentuk standby untuk segera dapat diaktifkan ataupun hanya tersimpan pada suatu tempat untuk dapat segera di[pasang dan diaktifkan sewaktu-waktu. Bentuk pertama biasanya adalah yang paling canggih. Sebagai contoh, pada jalur listrik. Mestinya, jalur listrik untuk mendukung operasi KRL itu tidak hanya 2 jalur. Sebab, jalur yang rutin digunakan sudah 2 jalur. Pengelola KRL mestinya membangun 1 jalur cadangan yang dapat digunakan sewaktu-waktu jika salah satu dari 2 jalur yang ada terganggu.

Memang, pendekatan sistem cadangan model pertama itu akan sangat mahal. Pengelola KRL harus melakukan investasi yang cukup besar. Akan tetapi, jika kita bandingkan dengan ketersediaan layanan dan potensi pendapatan dari penumpang, nilai tersebut sebenarnya tidak signifikan. Sayangnya, karena salah dalam pengelolaan di manajemen yang lama, mereka tidak mempunyai anggaran untuk investasi tersebut. Karena itu, yang paling bisa dilakukan adalah dengan menyiapkan pilihan kedua.

Pada sistem cadangan model kedua, mestinya pengelola KRL memiliki gudang-gudang di dekat jalur KRL. Gudang-gudang ini menyimpan perangkat cadangan yang diperlukan. Dengan demikian, ketika terjadi putusnya sebuah jalur kabel, langsung bisa diganti dari stok yang ada di gudang terdekat. Pengelola KRL bisa mencontoh model ini dari pengelola penerbangan, seperti PT Garuda Indonesia. Mereka memiliki cadangan stok yang tersebar di berbagai negara.

Jika sistem cadangan ini bisa diterapkan, saya yakin pengelola KRL bisa dapat segera merespon setiap permasalahan dengan cepat. Bagi pelanggan, sebenarnya yang menjadi perhatian bagi mereka bukan soal adanya permasalahan, tetapi bagaimana sebuah organisasi bisa merespon dengan cepat atas permasalahan yang muncul.

Komentar

Anonim mengatakan…
Model pertama dan kedua sama, perlu investasi (dengan skala berbeda).
FYI, KAI mempunyai UPT pemeliharaan yang tersebar di wilayahnya. Masing-masing UPT juga mempunyai gudang kerja.
Untuk melengkapi gudang kerja ini dengan material dan alat kerja diperlukan investasi yang tidak sedikit, yang sayangnya tidak dipenuhi oleh pemerintah melalui subsidi dan ketika diupayakan melalui kenaikan tarif ditentang keras oleh pengguna.
Pendapat anda mencerminkan ketidaktahuan anda (atau kesoktahuan anda?), tetapi memang komentar dari luar sistem memang selalu dan pasti lebih mudah daripada menghadapi fakta dan keterbatasan yang ada secara langsung.
Anonim mengatakan…
Good comment, but not enough. Orang KAI, ya? Bukankah persoalannya karena uang KAI sudah terkuras dengan investasi direksi lama yang sekarang masuk sidang korupsi? Bukankah karena sistem akuntansi Anda yang rumit yang sekarang menggunakan SAP, tetapi tidak beres juga?
Anonim mengatakan…
Betul, saya orang KAI makanya tahu pendapat di blog ini pendapat orang awam yg gak tahu dan salah. Anda juga sepertinya tidak tahu dan hanya dapat informasi sepotong-sepotong ya? Investasi direksi lama hanya 100M, dibanding kebutuhan investasi di jabodetabek saja gak terlalu signifikan.
Mengenai SAP, masih dalam masa transisi dari sistem lama. Perlu waktu. Anda orang akuntansi kan?
Anonim mengatakan…
Nach, ini seringnya masalah di organisasi yang sudah terlalu "mapan". Mereka cenderung merasa yang paling tahu dibanding customernya. Akhirnya, terjadi gap antara apa yang dibutuhkan customer, dengan apa yang diberikan sebuah organisasi.

Sepanjang Anda masih meng-underestimate pengetahuan customer tentang organisasi Anda, Anda tidak akan bergerak ke mana-mana.
Anonim mengatakan…
Justru malah blog ini yang underestimate kepada KAI (termasuk anda?) Khusus untuk masalah teknis, tentu kami yang lebih kompeten dan lebih tahu dibanding anda. Wajar dan logis kan?
Untuk masalah pelayanan, point of view dari luar tetap kami butuhkan, jadi sbg contoh direksi kami ada yg bukan dari internal KAI.
Anonim mengatakan…
Jika Anda benar orang KAI, Anda perlu membaca artikel berikutnya di blog ini tentang bagaimana mendengar kebutuhan pelanggan.
Anonim mengatakan…
Masih ragu?:-) Anda mestinya bisa simpulkan dari comment saya. Isi comment saya dan pilihan katanya menunjukkan bahwa saya orang KAI, bukan orang awam seperti anda. Saya di bagian teknik yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan.
Tapi it's okay saya akan baca, sekedar menambah wawasan. Mungkin saya akan teruskan ke teman saya di lain bagian yang berhubungan langsung dengan pelanggan.
Just remember, untuk urusan teknis, saya sarankan anda cari dulu referensi yang lengkap. Thanks
asaz mengatakan…
PT KAI Commuter Jabodetabek itu kan dilahirkan dari PT KAI, seperti induk melahirkan anak, ya kalau pelayanan KAI kurang maksimal anaknya juga tidak akan jauh beda
Anonim mengatakan…
Mas asaz, dengan kata lain KCJ adalah anak perusahaan KAI.

Mengenai kinerja, bisa jadi anak perusahaan mengikuti induknya. Tapi ada contohnya lho, anak perusahaan bisa 'lebih' daripada induknya. Misal tekomsel dengan telkom. Barangkali bisa dijadikan referensi

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke