Sumber Foto: http://www.hacknmod.com/wp-content/uploads/2008/12/customer-service.jpg
Ketika saya menulis tentang bagaimana seharusnya KRL dikelola, ternyata terdapat tanggapan yang menarik, yaitu dari orang yang mengaku dari KAI. Ia menyatakan bahwa apa yang saya tulis adalah karena ketidaktahuan saya. Seolah-seolah, sebagai orang KAI, ia tahu lebih banyak hal tentang KRL.
Pandangan seperti itu memang telah menjadi tantangan tersendiri di sebuah organisasi yang sudah "mapan" seperti KAI. Mereka sering menganggap bahwa customernya itu lebih bodoh dari mereka. Karena itu, mereka cenderung hanya mencekoki saja customer-nya dengan produk mereka. Padahal, belum tentu produk tersebut sesuai dengan kebutuhan customernya. Ini yang biasa disebut perusahaan yang product-oriented. Atau, kadang disebut terperangkap di supply side.
KAI sering memunculkan inovasi baru yang sebenarnya tidak dibutuhkan customer. Sialnya lagi, karena tidak didukung oleh riset yang handal, produk hasil inovasi tersebut tidak terjaga sustainability-nya. Akhirnya, produk tersebut bukannya memberi nilai tambah ke organisasi, tetapi malah membebani organisasi. Apalagi jika di dalam proses inovasi tadi, prinsip governance tidak dijalankan, di mana terdapat upaya hanya untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain secara tidak sah.
Sebagai contoh, lihatlah ketika beberapa tahun yang lalu KAI memasang perangkat gateway sebagai alat kendali tiket. Perangkat ini sekarang hanya menjadi perangkat rongsokan di stasiun-stasiun Jabodetabek. Kita bisa hitung, berapa besar kerugian yang mesti ditanggung oleh KAI akibat kegagalan inovasi tersebut. Padahal, ketika diluncurkan pertama sekali, pimpinan KAI mengagung-agungkan teknologi yang digunakan. Kata mereka, mereka menggunakan teknlologi yang dibangun oleh anak negeri.
Sekedar menggunakan teknologi anak negeri saja tidaklah cukup. Mereka mestinya melakukan uji kelayakan produk tersebut sebelum diluncurkan ke pasar. Syukurnya, sampai saat ini, manajemen KAI masih bisa selamat dari tuntutan hukum akibat kegagalan produk tersebut. Sebab, aparat penyidik belum memahami bahwa kegagalan produk tersebut juga telah menimbulkan kerugian negara. Penyidik tinggal menelusuri apakah ada pelanggaran hukum di dalamnya, dan ada unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain, agar bisa diproses sebagai tindak pidana korupsi.
Baru-baru ini mereka memunculkan lagi produk baru di lokomotif KRL, yaitu layar tv. Padahal, untuk jarak yang pendek seperti itu, tidak diperlukan layanan ini. Akhirnya, muncul banyak caci maki dari pengguna. Mereka bilang yang mereka butuhkan pendingin lokomotif. Dengan demikian, tampak adanya gap antara apa yang dibutuhkan customer dengan apa yang menjadi prioritas manajemen KAI.
Mestinya, manajemen KAI mengubah paradigmanya menjadi berorientasi ke pengguna (customer-oriented). Sebenarnya, saya sebagai pelanggan KRL, sebagaimana pelanggan yang lain, tidak membutuhkan layanan yang muluk-muluk. Yang paling penting adalah jadual yang tepat waktu, AC yang terpelihara, dan ditanganinya setiap gangguan yang terjadi dengan cepat. Ini semua yang saya butuhkan sehari-hari. Yang paling sederhana saja, ternyata tidak bisa dipenuhi oleh manajemen KRL, seperti AC yang sudah tidak terpelihara. Padahal, ketika gerbong KRL baru datang dari Jepang, semua AC-nya dalam keadaan terpelihara.
Memang, masalahnya, pengelola KRL sepertinya tidak sadar atau terkaget-kaget dengan perubahan pola transportasi customer di Jabodetabek. Tampaknya, mereka tidak siap ketika tiba-tiba banyak golongan ekonomi mapan yang menggunakan KRL karena tempat tinggal mereka yang berpindah di pinggiran Jakarta. Bila Anda memiliki customer yang ekonominya mapan, maka Anda harus siap dengan prilaku mereka. Mereka akan cenderung cepat menyampaikan keluhan jika memperoleh layanan yang tidak memuaskan. Sarana yang digunakan pun beragam. Belakangan ini, yang paling efektif, mereka menyuarakannya lewat twitter.
Sialnya bagi pengelola KRL, menteri yang membawahi BUMN pun sudah cerdas menggunakan media sosial. Akhirnya, setiap keluhan pengguna KRL langsung sampai ke menteri tersebut. Walaupun sang menteri tidak seluruhnya meneruskan keluhan tersebut ke manajemen KAI, hal ini telah membuat gerah mereka. Mereka juga tidak mempunyai sistem yang handal dan terintegrasi untuk menindaklanjuti keluhan tersebut. Lihatlah keluhan customer di website KAI ditampung begitu saja, tanpa jelas di mana statusnya. Akhirnya, alih-alih website tersebut mampu mengelola keluhan customer, malah makin memperburuk citra KAI.
Karena itu, tidak ada alasan lagi bagi pengelola KAI untuk merasa lebih pintar dari pelanggannya jika mereka tetap ingin survive. Atau, mereka akan seperti saat ini, tidak bergerak ke mana-mana dan selalu merasa lebih pintar dari pelanggannya.
Komentar
Awalnya bermula dari tulisan anda sebelumnya (saya ingatkan lagi "Optimalisasi Media Sosial dan Sistem Cadangan KRL Jabodetabek ", soalnya saya khawatir anda pelupa), anda menyoroti kemampuan teknis PT. KAI dan memberikan saran yang mengesankan anda lebih pintar.
Fakta 2:
Saya menjelaskan bahwa wajar jika saya (baca: PT. KAI) merasa lebih tahu dalam bidang teknis perkeretaapian (yang merupakan kompetensi kami) dibandingkan anda (saya juga tidak jelas anda kompeten di bidang apa). Ini wajar kan, sama wajarnya dengan misalnya orang PLN yang merasa lebih tahu secara teknis tentang jaringan transmisi listrik dan PLTU
Fakta 3:
Begitu saya menyorot ketidaktahuan (baca:kesoktahuan) anda di bidang teknis, anda mengubah topik menjadi "Tantangan Organisasi Mapan: Mampu Mendengar Kebutuhan Pelanggan", membuat tulisan baru berdasar diskusi kita di tulisan sebelumnya
Saran saya:
1. Riset secara mendalam, jangan hanya karena merasa bisa menulis anda asal menulis. Contoh, Anda menyebut korupsi direksi lama, sistem akuntansi yang ketika saya counter balik, anda tidak bisa jawab. Ada banyak penjelasan untuk pertanyaan dan pernyataan anda dalam tulisan ini. Saya tegaskan, PENJELASAN, BUKAN PEMBENARAN atau ALASAN(walaupun saya ragu apakah anda bisa dan mau menerima PENJELASAN itu karena sifat gegabah anda).
2. Fokus dalam tulisan. Bidang teknis yang anda sebutkan dalam tulisan pertama tentu beda dengan bidang pelayanan yang anda singgung dalam tulisan ini. Hargai lawan diskusi dengan tidak seenaknya mengubah topik sebelum selesai dibahas.
3. Berusaha bersikap subyektif, jangan membuat kesimpulan yang menghakimi, seperti misal "Karena itu, tidak ada alasan lagi bagi pengelola KAI untuk merasa lebih pintar dari pelanggannya jika mereka tetap ingin survive". Seperti yang saya bilang di atas, justru kami harus lebih pintar dan semakin pintar secara teknis di bidang perkeretaapian. Anda sendiri pastinya tidak tahu dinamika perusahaan yang ada dan terjadi di dalam tubuh PT. KAI.
But in the end, it's all up to you
Yang saya maksud dari awal, PT KAI itu harus bisa memberi komunikasi dan respon yang tepat dan cepat kepada pelanggan. Paling sederhana adalah ketika terjadi gangguan, PT KAI harus bisa memberikan informasi yang cepat dan tepat melalui media sosial yang ada, seperti estimasi waktu selesai dan seterusnya. Dengan demikian, pelanggan akan bisa dengan cepat mengambil keputusan apakah tetap menunggu KRL atau akan menggunakan moda transportasi lainnya.
Anyway, thanks sudah mau sharing dan berdebat di blog ini. Mudah-mudahan bermanfaat ke depannya. Salam saya untuk komisaris Anda Pak Martinus.
Pemanfaatan media sosial memang belum terlalu dimaksimalkan, pengguna KRL tidak semuanya menggunakan media sosial, nanti kami diprotes juga oleh mereka. Cara tercepat, sederhana dan efektif yang sudah kami lakukan agar semua orang di stasiun-stasiun sepanjang lintasan kereta api tahu adalah mengumumkan di stasiun-stasiun tersebut dan menyarankan pengguna krl menggunakan moda transportasi lain jika terjadi gangguan berat yang waktunya kami estimasikan terlalu lama bagi konsumen untuk tetap menunggu krl.
Di semua perusahaan pelayanan publik, tentunya engineering dan pelayanan harus terintegrasi dengan baik. Bagaimana bisa melayani kalau ada peralatan teknis yang rusak? Secara personal pun kami terintegrasi. Contoh sepele, blog anda saya infokan ke teman di pelayanan. Mohon anda pahami, organisasi yang sudah mapan pun punya "hak" untuk berubah dan setiap perubahan, terutama yang besar, memerlukan waktu transisi. Tidak selayaknya anda men-judge "integrasi proses tidak terjadi". Banyak contoh perusahaan kecil maupun besar yang bertransformasi dengan baik.
Saya pribadi kenal dengan Pak Martinus, tapi dia sebagai komisaris tentunya hanya mengurusi grand policy perusahaan bukan practical policy perusahaan. Jadi mohon maaf salam anda tidak saya sampaikan. Tetapi untuk orang-orang seperti anda, pengguna jasa kereta api, ada salam dari Dirut kami Pak Jonan.
Saya ragu diskusi kita bermanfaat untuk anda karena sifat anda yang selalu men-judge di awal tanpa data dan fakta yang aktual. Tetapi saya berharap semoga diskusi kita bermanfaat untuk orang lain yang membaca blog ini.
Salam
Saya hanya mengoreksi isi blog ini, apa hubungannya sama rendah hati?