Langsung ke konten utama

Good Political Party Governance

Sebuah milis mendiskusikan anggotanya, Misbakhun, yang terkena kasus Century. Ada kecenderungan anggota partai yang lain, teman yang terkena kasus, mencoba mengklarifikasi temannya yang sudah terkena kasus hukum tersebut. Namun, penulis lain menjelaskan dari perspektif yang berbeda. 

Materi tersebut menurut saya bagus sekali untuk didiskusikan setelah merebaknya peran anggota partai yang menyebar ke mana-mana. Di masa lalu, peran ini hanya terkonsentrasi di tangan satu orang, yaitu Suharto. Sekarang ini tidak ada lagi panutan yang powerful, sehingga kekuasaan dan pengaruh anggota partai menjadi tidak terkendali dan semakin “menggemaskan”.

Memang hal ini tidak bisa dipandang secara sederhana. Seringkali sesuatu yang kita lihat sederhana, ternyata tidak sesederhana itu. Secara simpel, memang benar jika kita sudah memasuki dunia politik praktis, banyak risiko yang bisa terjadi. Karena itu, kita harus siap-siap terhadap segala konsekuensinya.

Sering pula, apa yang dilakukan seperti halnya kasus Misbakhun sebenarnya tidak ia lakukan secara langsung. Tapi, sebagai komisaris, jika ia tidak melarang direksi perusahaannya melakukan pelanggaran pun bisa dikenakan sanksi hukum karena ia adalah pengurus perusahaan yang dapat dikenakan sanksi.

Ini juga yang sebenarnya sedang saya diskusikan dengan seorang anggota partai, teman lama saya, terkait dengan beberapa aktivitas partainya di beberapa kementerian. Sekarang ini banyak pihak di kementerian yang mengeluhkan "penggalangan dana" dari partai-partai (ingat juga kasus konsorsium asuransi tenaga kerja yang melibatkan sebuah partai). Yang saya lihat, karena banyak partai baru yang sedang belajar menjadi partai, pengendalian terhadap ini di lapangan sangat lemah. Dengan demikian, banyak pihak mengklaim bahwa penggalangan dana itu adalah untuk "kepentingan ummat".

Kita harus berhati-hati terhadap hal ini. Negara ini sudah diisi oleh orang-orang yang pintar untuk menghantam pihak lain yang tidak suka dengan salah satu pihak. Mirip seperti kasus Misbakhun, nantinya sekecil apapun kesalahan itu, pada era berikutnya kita tinggal menunggu waktu akan banyak Misbakhun-Misbakhun lainnya jika partai tidak mengendalikan cara melakukan penggalangan dana itu. Entah itu benar untuk dana partai atau tidak.

Yang jelas, sebuah partai harus mempunyai good political party governance juga. Mereka adalah juga salah satu komponen governance sebuah negara. Karena itu, setiap ada info tentang penyalahgunaan “pengaruh” partai oleh anggota partainya, pengurus partai harus menyelidikinya. Jika tidak benar, partai harus membangun kembali image buruk yang dikembangkan oleh pihak-pihak tertentu. Jika benar, partai harus berani menarik anggotanya dan memberi sanksi yang tegas sebelum malah nanti diadili oleh hukum negara, walaupun anggota partai itu adalah ustadz yang sangat dihormati.

Yang lebih parah lagi, sekarang ini bukan hanya anggota-anggota partai yang terlibat di sebuah kementerian yang sudah menjengkelkan para pihak. Ternyata, keluarga anggota partai yang kebetulan menjadi menteri pun ikut-ikutan terlibat. Entah itu benar atau tidak.

Khusus untuk partai teman saya itu, anehnya, saya belum melihat tindak-lanjut apapun terhadap yang sudah saya sampaikan kepadanya tentang ini, walaupun respon sms cepat dilakukan.

Saya tidak ingin kita mengulangi masa lalu. Di mana kita pernah saking membencinya pada pihak tertentu, misalnya anggota partai, karena tingkah-lakunya, akhirnya kita membantai seluruh anggota atau pihak yang terlibat dengannya secara habis-habisan di periode pemerintahan berikutnya (ingat kasus partai komunis). Kita harus menjaga agar bangsa ini semakin beradab. Salah satu cara sederhana adalah segera menindaklanjuti "kegerahan" yang sekarang muncul di kementerian-kementerian terhadap terlalu masuknya komponen-komponen partai ke dalam urusan-urusan internal kementerian.

Itu kalau kita tidak ingin mucul Misbakhun-Misbakhun baru. Terlepas ia sebenarnya bersalah atau tidak.

Hotel Horison, Bandung, 7 November 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke