Langsung ke konten utama

Enterprise Integration

Beberapa hari ini saya membaca buku enterprise integration yang diberikan oleh staf saya. Tadinya, buku ini diberikan staf saya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan strategic business analysis (SBA). Ia ingin memperjelas argumentasi saya bahwa selama ini kita sering salah dalam melakukan analisis kebutuhan informasi. Kebanyakan kita dididik dengan pendekatan business process analysis (BPA). Padahal, untuk organisasi sektor publik, di mana proses bisnis biasanya sangat rentan terhadap perubahan politik, adalah salah hanya menggunakan pendekatan BPA. Pendekatan BPA juga diterapkan untuk mendukung efisiensi organisasi melalui TI, bukan untuk kepentingan stratejik. Di sektor publik, mengharapkan efisiensi dengan TI tampaknya hanya cerita siang bolong. Jarang terjadi TI dapat menciptakan efisiensi, apapun argumentasinya.

Buku yang diberikan staf saya menguraikan dalam salah satu babnya SBA. Namun, bukan itu yang menarik bagi saya di buku tersebut, tetapi teknologi EA. Salah satunya adalah portal. Dalam buku ini diuraikan beberapa organisasi yang telah berhasil meningkatkan kualitas bisnisnya melalui portal. Saya membayangkan banyak perusahaan TI yang berskala internasional sudah bisa menerapkan integrasi enterprise ini dengan baik. Ternyata tidak demikian.

Buktinya, saya beberapa minggu lalu melakukan aplikasi melalui IBM untuk kepentingan training tim saya ke Melbourne. Yach, memang saya bisa melakukan registrasi langsung secara online. Yang membuat saya jengkel, ternyata apa yang saya registrasi tidaklah terpantau oleh IBM Indonesia. Rupanya, untuk perusahaan sekelas IBM pun, integrasi enterprise, di mana sudah cross-country, tidak terlalu berhasil dilaksanakan.

Yang kemudian merepotkan adalah ketika kita meminta support dari IBM Indonesia, di mana support tersebut dibebankan pada bill yang akan diterbitkan oleh IBM Australia. Itu semua ternyata totally tidak bisa dilayani. Artinya, masing-masing mereka masih menjalankan bisnisnya secara tidak terintegrasi, berupa silo-silo.

Well, kalau perusahaan sekelas IBM saja tidak bisa melakukan integrasi enterprise, bagaimana mungkin untuk integrasi enterprise di sektor publik. Atau, integrasi enterprise hanyalah cita-cita?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) ...

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. ...

KENAPA SPBU PETRONAS GAGAL BERBISNIS DI INDONESIA?

Muncul publikasi di media tentang ditutupnya SPBU Petronas di Indonesia. Akhirnya, perusahaan unggul milik pemerintah Malaysia ini hengkang juga dari Indonesia. Sebenarnya, saya telah lama melihat keanehan SPBU Petronas ini. Setiap saya melewatinya, bisa dibilang hampir-hampir tidak ada pengunjungnya. Keanehan kedua, menurut saya, pemilihan lokasinya yang tidak tepat. Hal ini berbeda sekali dengan SPBU Shell. Walaupun harganya mahal mengikuti harga minyak dunia, SPBU milih Belanda ini masih memiliki pengunjung yang lumayan. Salah satu sebabnya adalah pemilihan lokasi yang tepat. Saya menjadi bertanya, kenapa perusahaan sekaliber Petronas bisa salah menempatkan SPBU-nya di Indonesia. Anehnya, Petronas dengan semangat langsung memasang jumlah pompa yang banyak. Bandingkan dengan SPBU Shell yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan pasar. Saya menduga ada 2 penyebab kesalahan strategi Petronas tersebut. Keduanya terkait perencanaan masuk ke pasar. Dugaan pertama saya, Petronas salah ...