Langsung ke konten utama

BENARKAH MASYARAKAT KITA TIDAK PATUH BAYAR PAJAK?

Baru-baru ini laporan Bank Dunia mengumumkan kualitas pemungutan pajak kita. Media massa bahkan ada yang menulisnya dengan judul "Bank Dunia Bongkar Buruknya Kinerja Penerimaan Pajak Indonesia", seperti di detik.com pada Rabu (26/3). 

Laporan tersebut mengungkapkan bahwa rasio pajak kita begitu rendahnya jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, yaitu hanya mencapai 9,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2021. Penyebab utamanya pada dua hal, yaitu kepatuhan wajib pajak dan kebijakan perpajakan itu sendiri. 

Benarkah demikian? 

Menurut saya, kalau karena kebijakan perpajakan, biasanya jumlah pajak tetap akan tercatat sebagai penerimaan pajak. Sebagai contoh, pajak penghasilan pegawai negeri itu ditanggung oleh Pemerintah. Akan tetapi, bukan berarti Pemerintah tidak mencatatnya sebagai penerimaan pajak. 

Tetap saja pajak penghasilan pegawai negeri itu dicatat sebagai penerimaan pajak. Dengan demikian, tidak terlalu tepat jika rasio pajak terhadap PDB yang rendah itu sepenuhnya karena adanya kebijakan perpajakan. 

Saya lebih tepat melihat penyebab utamanya adalah kepatuhan warga negara Indonesia dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini tentu tidaklah aneh. Sebagaimana pernah saya tulis dalam detik.com pada 14 September 2017, tantangan pemungutan pajak kita adalah mengubah masyarakat dari "mental gratis" menjadi "sadar pajak".

Kita tentu memahami bahwa salah satu sebab rakyat Indonesia memerdekakan diri dari penjajah adalah karena pemungutan pajak melalui upeti oleh penjajah. Karenanya, setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1945, masih banyak masyarakat kita yang "merayakan" kemerdekaannya dengan tidak membayar pajak sampai dengan saat ini. 

Hal ini juga terdeteksi dari besarnya shadow economy di Indonesia. Kita bisa melihat dari variasi bisnis di Indonesia. Selain bisnis material, banyak sebenarnya "bisnis keagamaan" yang jumlahnya signifikan, tetapi tidak terkena pajak. Banyak kalangan yang berlindung di bisnis keagamaan ini agar tidak terkena pajak. 

Aparat pajak pun seperti sungkan menyentuh perpajakan bisnis keagamaan tersebut. Lagi pula, bisnis keagamaan ini sudah terkena zakat, infaq, dan sodaqoh. Jika kita ingin memajakinya, tentu akan menjadi isu yang sensitif di negara kita. 

Itu sebabnya, saya berpandangan sudah saatnya Pemerintah mengintegrasikan pemungutan "pajak kenegaraan" dengan "pajak keagamaan" tersebut.  Dengan demikian, angka rasio pajak terhadap PDB tidak dikesankan rendah lagi. 

Sebagai contoh, sudah saatnya Pemerintah menerapkan mekanisme seperti di Selandia Baru, yaitu setiap warga negara yang menyumbang (termasuk sumbangan keagamaan) Rp100 ribu akan mendapatkan pengembalian dari sistem perpajakan senilai Rp30 ribu (sekitar 30 persen). 

Hal tersebut secara tidak langsung akan memungkinkan Pemerintah Indonesia mendeteksi berapa sebenarnya pembayaran "pajak" masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kemudian, Pemerintah juga akan terbantu karena distribusi pembiayaan publik melalui sumbangan keagamaan tersebut dikelola langsung oleh pemberi dan penerima. Hal ini akan mengurangi biaya administrasi keuangan negara. 

Sisi lainnya, Pemerintah akan terbantu mendongkrak jumlah masyarakat yang mau mendaftar dan disiplin membayar pajak. Soalnya, jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya, jumlah wajib pajak kita sebenarnya begitu rendah. 

Banyak di antara masyarakat kita yang tidak merasa memiliki kepentingan dengan sistem perpajakan. Itulah kenapa rakyat yang memiliki nomor pokok wajib pajak juga sangat rendah jika dibandingkan negara maju. 

Kedua, selain integrasi pajak kenegaraan dan pajak keagamaan, Pemerintah harus terus membangun kesadaran tentang pentingnya pajak sejak usia dini. 

Sebagai contoh, dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mestinya dimunculkan spanduk "MBG Ini Dibayar dari Pajak" di sekolah-sekolah. Dengan demikian, sejak di sekolah dasar, anak-anak kita sadar bahwa pajak telah banyak memberikan manfaat bagi mereka dan kemudian mereka akan bertanggung jawab membayar pajak ketika bekerja atau memperoleh penghasilan. 

Ketiga, tentunya penting sekali perbaikan sistem informasi perpajakan. Jangan sampai terulang kembali kegagalan pembangunan sistem informasi ini. 

Pemerintah bisa memanfaatkan perbankan untuk menguatkan sistem informasi perpajakan. Sebagai contoh, beberapa bank sudah mencantumkan akumulasi setahun pendapatan bunga tabungan nasabah dalam aplikasinya. Dengan demikian, wajib pajak mudah membuat laporan pajak tahunan untuk mencantumkan nilai pendapatan bunga tersebut. 

Keempat, saat ini sebenarnya pemotongan pajak karyawan sudah bisa masuk ke dalam sistem informasi perpajakan. Dengan demikian, bagi mereka yang hanya menjadi karyawan, mereka sudah bisa mempunyai laporan proforma pajak yang mencantumkan penghasilan dan potongan pajaknya selama setahun. Jika tidak ada pendapatan tambahan, mereka tinggal "klik" untuk mengirim laporan pajaknya.

Sayangnya, karena tidak disiplin di sisi pemberi kerja, banyak data tersebut yang tidak akurat. Aparat perpajakan mestinya bisa lebih fokus untuk meningkatkan disiplin pemberi kerja dengan kegiatan fasilitasi yang lebih intensif di semua kantor-kantor pajak. Jika perlu, aparat pajak bekerja sama dengan para mahasiswa untuk menjadi tenaga penggerak di lapangan. 

Semoga dengan empat hal di atas rasio pajak terhadap PDB kita bisa meningkat di masa datang. 

Tentunya, selain empat hal tersebut, harus terus dikembangkan inovasi lainnya dengan mendengar masukan dari masyarakat. 

Apakah Anda memiliki masukan? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) ...

Internal Auditor dan Jasa Consulting

Pernyataan berikut sering muncul: “Bahwa BPKP itu fungsinya audit. Audit itu mencocokan apakah sesuatu sesuai dengan suatu standar tertentu. Jadi harus ada standardnya dulu. Kemudian ada pekerjaan atau proses melakukan sesuatu (yang diatur oleh standardnya) terlebih dulu. Baru kemudian bisa di audit. Oleh BPKP Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan? Nah kalau BPKP mendampingi … mestinya ya nggak tepat ??? Kapan meng-audit dan assessment-nya? Kalau ada yang menyimpang, yang salah yang menyimpang atau yang mendampingi?” Hal itu tidaklah salah total. Sebab, masyarakat awam selama ini sering menganggap bahwa kegiatan auditor hanyalah membandingkan antara apa yang diimplementasikan di lapangan dengan apa yang seharusnya. Kegiatan audit ini biasanya dikenal sebagai compliance audit yang sebenarnya hanyalah salah satu peran yang dapat diberikan oleh internal auditor sebagai bagian dari jasa assurance. Padahal, sebenarnya banyak kegiatan jasa assurance lainnya yang dapat diberikan auditor. Ar...

KENAPA SPBU PETRONAS GAGAL BERBISNIS DI INDONESIA?

Muncul publikasi di media tentang ditutupnya SPBU Petronas di Indonesia. Akhirnya, perusahaan unggul milik pemerintah Malaysia ini hengkang juga dari Indonesia. Sebenarnya, saya telah lama melihat keanehan SPBU Petronas ini. Setiap saya melewatinya, bisa dibilang hampir-hampir tidak ada pengunjungnya. Keanehan kedua, menurut saya, pemilihan lokasinya yang tidak tepat. Hal ini berbeda sekali dengan SPBU Shell. Walaupun harganya mahal mengikuti harga minyak dunia, SPBU milih Belanda ini masih memiliki pengunjung yang lumayan. Salah satu sebabnya adalah pemilihan lokasi yang tepat. Saya menjadi bertanya, kenapa perusahaan sekaliber Petronas bisa salah menempatkan SPBU-nya di Indonesia. Anehnya, Petronas dengan semangat langsung memasang jumlah pompa yang banyak. Bandingkan dengan SPBU Shell yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan pasar. Saya menduga ada 2 penyebab kesalahan strategi Petronas tersebut. Keduanya terkait perencanaan masuk ke pasar. Dugaan pertama saya, Petronas salah ...