SETIAP pekerjaan profesional, selalu memiliki standar yang dijadikan acuan bersama. Anggota profesi yang melanggar standar tersebut akan dikenakan sanksi profesi jika melanggar standar tersebut.
Dunia auditing adalah salah satu profesi yang sangat ketat mengatur standar tersebut. Sebab, hasil kerjanya akan berpengaruh atau digunakan tidak hanya oleh auditee, tetapi juga oleh masyarakat umum (publik). Karena itu, siapa-siapa yang dapat melakukan auditing atau layak disebut sebagai auditor sangat diatur ketat pada standar tersebut.
Salah satu standar yang dijadikan acuan populer adalah bahwa “Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.” Artinya, hanya seorang auditor yang kompeten saja yang dapat melakukan audit. Mereka haruslah seseorang yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang memadai sebagai auditor.
***
Pada suatu ketika, saya pernah berbincang dengan seorang auditor yang mencoba melakukan audit terhadap sebuah pengadaan TI suatu instansi pemerintah. Ketika saya tanyakan apakah ia pernah mendapatkan pelatihan pengadaan atau telah lulus sertifikasi ahli pengadaan, ternyata ia tidak bisa menjawabnya. Hal ini saya tanyakan karena ia meminta suatu berkas yang tidak relevan dan tidak dipersyaratkan dalam prosedur pengadaan yang diatur dengan regulasi pemerintah.
Dari permintaan ini, tampak kurangnya penguasaan auditor terhadap prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah. Artinya, ia tidak memiliki kompetensi dalam melakukan audit pengadaan, apalagi atas suatu pengadaan TI, di mana dalam audit pengadaan TI memerlukan persyaratan kompetensi teknis tambahan tidak hanya di bidang pengadaan, tetapi juga TI, yang berbeda dengan pengadaan lainnya.
Anehnya lagi, auditor tersebut juga tidak paham bagaimana mestinya prosedur konfirmasi ke penyedia terpilih/pihak ketiga semestinya dilakukan. Konfirmasi yang mestinya dilakukan melalui prosedur surat formal dari auditee, ternyata dilakukan langsung oleh auditor ke pihak ketiga, tanpa diketahui oleh atau memperoleh pengantar tertulis dari auditee tersebut.
***
KONDISI ini telah mengakibatkan auditing di Indonesia dipandang sebagai bagian dari blunder-nya manajemen administrasi di sektor publik. Auditing yang mestinya dipandang bermanfaat bagi pejabat publik itu sendiri, kini dipandang sebagai hal yang menjengkelkan dan tidak memberikan manfaat langsung ke pejabat publik untuk perbaikan ke depan.
Para pejabat publik yang saya temui sering mengeluhkan bahwa penjelasan atau argumentasi yang disampaikannya ternyata tidak diterima oleh auditor walaupun dengan argumentasi yang cukup. Keluhan ini juga muncul pada suatu diskusi di milis yang diikuti oleh mereka yang banyak berlatar belakang auditing.
Selidik punya selidik, salah satu sebab adalah tidak kompetennya auditor dalam melakukan audit terhadap suatu hal yang menjadi objek audit. Akhirnya, auditee malas berurusan dengan auditor dan tidak mau secara terbuka menjelaskan latar belakang tentang sesuatu hal yang sebenarnya merupakan diskresinya yang dipermasalahkan oleh auditor. Auditee menganggap auditor tidak memiliki kompetensi terhadap permasalahan yang diungkapkan. Kondisi ini semakin menimbulkan gap komunikasi antara auditor dan auditee.
Permasalahan ini diperumit ketika beberapa pejabat publik yang berlatar belakang teknis, seperti insinyur atau sarjana teknik, cenderung tidak mau belajar dan tidak mau direpotkan dengan urusan administrasi publik yang kompleks. Bagi mereka, yang penting adalah bagaimana memperoleh pembiayaan dan sumber daya teknis yang cukup, tanpa ingin tahu bagaimana prosedur tersebut semestinya dilakukan agar terjaganya good governance.
Akhirnya, pengadaan yang semestinya melibatkan juga unsur teknis, ternyata hanya dikelola oleh pegawai administrasi yang hanya paham aspek administrasi publik secara linier. Beberapa pengadaan yang mestinya mengutamakan kepentingan teknis ternyata diabaikan karena lebih mementingkan aspek administratifnya. Argumentasi yang berkembang belakangan ini di lingkungan pegawai publik adalah tidak masalah jika suatu pengadaan tidak bermanfaat bagi pengguna atau masyarakatnya, sepanjang tidak ada pelanggaran administratif di dalamnya. Ini menjadi membahayakan kepentingan publik yang lebih luas.
***
ANDA bisa lihat bahwa dengan tidak kompetennya auditor dan tidak kompetennya pihak yang menjalankan proses pengadaan TI mengakibatkan rumitnya pengelolaan urusan publik di lapangan. Ketika akhirnya auditor yang tidak kompeten tadi banyak menanyakan hal-hal yang tidak relevan ke auditee, maka yang terjadi adalah seperti dua orang buta membahas gajah.
Yang repot lagi, biasanya pegawai publik di tataran lapangan jarang mau untuk gigih ketika berurusan dengan auditor. Mereka cenderung permisif karena gap tersebut. Ini mengakibatkan munculnya risiko dalam proses audit. Auditee yang permisif cenderung untuk mencari jalan tengah yang aman, yang akhirnya memunculkan risiko suap. Jika gap ini tidak diatasi segera akan terus menjadi perangkap ke depan. Jumlah auditor dan auditee yang telah diproses oleh penegak hukum karena tertangkap tangan terlibat dalam tindak pidana suap saya yakin tidak akan mengalami perubahan yang signifikan.
***
DI negara maju, seperti Korea Selatan, ada hal yang menarik. Ternyata rekruitmen pegawai publik tidak memandang latar belakang teknis seseorang. Setiap orang yang akan menjadi pegawai publik bukan diuji atas kemampuan teknis berdasarkan ilmu kesarjanaannya. Yang diuji adalah hal-hal yang terkait dengan core competency seorang pegawai publik. Dengan demikian, apapun latar belakang teknis seseorang, ia harus dapat menjalankan peran terkait dengan urusan administrasi publik.
Dalam pandangan saya, ke depan model seperti ini akan diterapkan bagi pejabat publik di Indonesia, atau secara sadar sebenarnya sudah mulai diterapkan dalam menjalankan proses pengadaan. Seorang ahli teknik harus mampu menjalankan administrasi publik dan bukan hanya mengurusi aspek teknis. Aspek teknis bisa dijalankan oleh partner kerja yang berasal dari masyarakat dan sektor privat. Setiap pegawai publik harus paham proses pengadaan yang mengacu pada prinsip good governance.
Terkait dengan peran audit, setiap lembaga audit mestinya juga sudah mulai berhati-hati dalam menugaskan auditornya. Lembaga audit harus menaati standar profesi yang berlaku, yaitu dengan hanya menugaskan auditor yang kompeten untuk melakukan audit. Jangan sampai lagi terjadi auditor yang tidak kompeten ditugaskan untuk melakukan audit di lapangan.
Jika memang tidak tersedia auditor yang kompeten, sebuah lembaga audit dapat menggunakan sumber daya eksternal, yang bisa direkrut dari instansi lain, akademisi, atau pihak ketiga. Mereka dapat direkrut secara temporer. Rekruitmen seperti ini harus dikendalikan sehingga terjadi transfer of knowledge ke auditor yang perlu ditingkatkan kompetensinya di lembaga audit tersebut. []
Komentar