Resensi Buku: Memberantas Mafia Pajak, Jangan dengan Rekayasa
Oleh: Rudy M. Harahap
Robert Klitgard pernah menyatakan dalam bukunya Membasmi Korupsi (1998), salah satu hambatan dalam pemberantasan korupsi adalah isu korupsi itu sendiri. Isu korupsi sering digunakan untuk menjatuhkan lawan-lawan penguasa untuk menjatuhkan pemerintahan yang berkuasa. Artinya, isu korupsi sering dipolitisasi untuk kepentingan tertentu.
Dalam skala kecil, ternyata isu korupsi sering dipolitisasi untuk kepentingan politik kantor. Misalnya, jika ada pejabat yang ingin dipromosikan, ia dengan berani menunjukkan diri dengan menghukum pihak-pihak yang akan dijadikan "korbannya". Inilah yang juga pernah terjadi dalam pemberantasan mafia pajak, sebagaimana ditulis oleh Heri Prabowo dalam buku terbarunya "Catatan Harian Seorang Mafia Pajak".
Sebelum membeli buku ini, saya sempat membacanya secara sekilas. Tadinya, saya pikir ini adalah tulisan biasa saja, yang bisa saya baca isinya sekilas di toko buku. Ternyata, catatan harian yang ditulis dalam bentuk novel fiksi ini memang benar-benar enak dibaca. Dalam beberapa jam saja saya telah menyelesaikannya setelah akhirnya saya membeli buku yang tidak terlalu mahal ini, seharga dua kali makan siang saya.
Apa yang ditulis Heri Prabowo sebenarnya sederhana saja. Namun, mantan pegawai pajak di Surabaya ini, dan alumni STAN-Prodip, menuliskannya dengan lugas, terutama pengalamannya berhubungan dengan mafia pajak. Sebenarnya, bukan secara khusus tentang mafia pajak, tetapi mafia peradilan di negeri ini.
Sambil membaca buku ini, saya tertarik untuk mengetahui tokoh-tokoh yang difiksikan oleh penulis. Ternyata, tokohnya adalah ada, termasuk penulis buku ini sendiri. Beberapa pejabat penting yang tampak disamarkan adalah Hadi Purnomo,mantan Direktur Jenderal Pajak, sekarang menjabat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan RI, yang difiksikan sebagai Pak Budi Permana. Kemudian, mantan Kepala Kanwil Pajak Jawa Bagian Timur I Fadjar Siahaan, yang disamarkan sebagai Pak Roy, yang akhirnya mengambil pensiun dini.
Walaupun cerita awal penyebab penulis terlibat dalam korupsi pajak tidak terlalu menarik -- yaitu ditinggal pacarnya yang menikah dengan pengusaha kaya, kemudian penulis berusaha menjadi pengusaha juga, tetapi gagal -- buku ini telah memberikan liku-liku penting tentang korupsi pajak dan prilaku aparatnya. Dari buku ini, banyak hal yang bisa diambil pelajaran.
Salah satu pelajaran penting: Tidak boleh ada skenario penyelematan tersangka, tidak boleh ada tersangka yang di-DPO-kan, tidak boleh ada penurunan barang sitaan, dan tidak boleh ada lagi rekayasa sidang (hal 292). Demikian tulis Heri Prabowo.
Rekayasa dalam kasus penyalahgunaan faktur pajak fiktif tahun 2005 ini telah mengakibatkan tidak tuntasnya pembersihan korupsi pajak sejak reformasi birokrasi Departemen Keuangan digulirkan. Akibatnya, pemain yang sama mengulanginya lagi (hal 291). Dan bisa jadi terulang lagi seperti yang baru ditemukan pada 2010 ini, sebelum Menteri Keuangan Sri Mulyani mengundurkan diri.
Buku ini penting dibaca oleh aparat penegak hukum, dan tentunya para birokrat. Intinya, jika Anda aparat hukum bermain-main dengan rekayasa kasus hukum, maka permasalahan yang sama akan berulang. Anda harus mau jujur untuk menuntaskan ke akarnya sejak dini, dari mulai korupsi skala kecil, oleh orang rendahan, sebelum mengakar dan mereka menjadi orang besar. Jangan tinggalkan penyakit yang akan merepotkan generasi ke depan, yang mereka adalah anak-anak atau cucu-cucu Anda sendiri.
*) Penulis adalah pengamat akuntabilitas dan transparansi pemerintah.
Komentar