Beberapa minggu yang lalu, ketika melakukan pendampingan pengadaan infrastruktur teknologi informasi di RS Jantung Harapan Kita, saya sempat melewati sebuah toko buku di rumah sakit tersebut. Di depan pintunya terpampang sebuah banner buku baru, buku terlaris versi New York Times katanya, dengan judul "Three Cups of Tea". Harganya lumayan mahal, mendekat Rp100 ribu. Karena tertarik, saya membeli dan membaca buku tersebut sampai habis. Sebagian waktu membaca saya habiskan di rumah dan di kereta.
Buku ini menceritakan pengalaman Greg Mortenson dalam membangun sekolah di Pakistan dan Afganistan. "Mortenson adalah contoh tentang bagaimana merangkul sesama manusia dengan tulus. Kerja (kemanusiaan) yang tidak membuat orang menadahkan tangan, tapi menempatkan orang yang ditolong dalam posisi bermaftabat," tulis Mardiyah Chamim, dari Majalah Tempo, di cover buku tersebut.
Buku ini mengulas tentang pengalaman dan argumentasi Greg tentang pentingnya membangun sekolah dan pendidikan di Pakistan dan Afganistan. Satu-satunya cara, menurut dia, untuk menghadapi teroris adalah dengan membangun sekolah dan pendidikan di negara-negara tersebut.
Tampaknya, apa yang dinyatakan Greg sangat relevan dengan kejadian belakangan ini di Indonesia. Ketika masalah teroris berkembang terus--sebagaimana argumentasi Greg ke pemerintahan Bush--tidak cukup dengan 'memusnahkan' para teroris tersebut. Akar masalahnya adalah rendahnya tingkat pendidikan. Di negara-negara miskin, banyak orang yang tidak sempat mengenyam pendidikan yang baik. Karena itulah, banyak yang akhirnya dengan mudah direkrut menjadi teroris karena keterbelakangan mereka itu.
Anda tentu bisa setuju atau tidak setuju dengan argumentasi tersebut. Namun, rasanya, sebelum Anda menyatakan setuju atau tidak setuju dengan argumentasi tersebu, Anda layak membaca buku ini terlebih dahului.
Namun, bagi Anda yang merasa belum mampu membeli buku tersebut, silahkan mampir untuk membuka-buka beberapa halaman di Rumah Baca Griya Pipit yang kami bangun bersama.
Selamat membaca!
Komentar