Langsung ke konten utama

Arsitektur Bisnis Instansi Pemerintah

Seorang teman yang bekerja di sebuah pemda, mengeluhkan banyaknya laporan yang harus disiapkan oleh pemda. Contoh laporan yang sudah diwajibkan adalah sebagai berikut:
  1. LPPD, 
  2. LKPJ, 
  3. LPPD, dan 
  4. LKPD.
Laporan-laporan ini wajib dihasilkan oleh pemda karena adanya regulasi berikut:
  1. PP 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
  2. PP 08/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
  3. PP 6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah.

Baru-baru ini juga sudah terbit PP 60/2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah. Dia membayangkan bagaimana jadinya pemda jika harus menerbitkan LSPI. 

Memang, inilah uniknya negara kita. Setelah gencarnya otonomi daerah, banyak instansi pemerintah pusat yang kehilangan pegangan bagaimana mengelola kegiatan di lapangan, yang kini umumnya ditangani oleh pemda. Keberhasilan pemda dalam mencapai kinerjanya juga akan terkait dengan kinerja instansi pemerintah pusat. Ini sebenarnya bukan soal rela atau tidak relanya instansi pemerintah pusat terhadap instansi pemerintah. Karena itu, mereka berusaha masuk ke pemda melalui regulasi. Entah itu lewat UU, PP, atau peraturan menteri.    

Hanya saja, memang, masalahnya adalah tidak adanya sinkronikasi kegiatan instansi pemerintah pusat dalam membuat regulasi tersebut. Instansi pemerintah pusat cenderung berlomba untuk membuat aturan yang mengutamakan kepentingannya masing-masing. Lalu, pertanyaannya, bagaimana mengatasi hal ini? 

Sebenarnya, di sinilah tugas dari Pemerintah. Presiden selaku kepala pemerintahan mestinya menata kembali peraturan yang sudah terbit tersebut dan melakukan sinkronikasi. Namun, memang, ada joke di lapangan. Sering sekali inisiatif untuk melakukan pembenahan, malah justru bukan pembenahan yang terjadi, tetapi malah muncul duplikasi peraturan baru. 

Saya rasa, niat baik seperti itu harus di-backup dengan adanya arsitektur bisnis instansi pemerintah (termasuk keterkaitan instansi pemerintah pusat dengan instansi pemerintah daerah). Dengan adanya arsitektur ini, maka kita bisa menyusun gap antara yang terjadi saat ini dan harapannya kemudian. Dari sinilah, perbaikan mestinya dimulai. 

Masalahnya, siapa yang harus mulai? Ini pertannyan yang sulit. Apakah Depkominfo? Tentu saja bukan. Sebab, Depkominfo tentu tidak paham proses bisnis instansi pemerintah. Saya lebih cenderung setuju jika inisiatif ini dilaksanakan oleh Sekretariat Kabinet dengan leading langsung dari Presiden. 

Apakah mereka mampu? Nach, ini pertanyaan kemudian yang harus kita jawab bersama. Namun, saya yakin, jika ditopang banyak pihak, inisiatif ini pasti akan berjalan dengan baik. 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke