Tumbangnya kekuasaan Orde Baru telah memunculkan wajah-wajah baru di dunia lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau bahasa kerennya non-government organization (NGO). Kini kita sering melihat LSM yang tidak hanya didominasi oleh mereka yang kritis terhadap pemerintah, tetapi juga ada yang malah menjadi alat politik pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sering sekali kita temui pemerintah tidak mau bergerak, mengambil keputusan, tanpa adanya tekanan dari LSM. Karena itu, tidak aneh jika sekarang malah banyak LSM yang dibentuk oleh orang-orang pemerintah, baik secara terbuka atau secara diam-diam.
Mereka—LSM bentukan orang-orang pemerintah—bisa menjadi alat untuk pendukung terhadap setiap pengambilan keputusan yang ada di sekitar instansi pemerintah tersebut. Dengan harapan, setiap proses pengambilan keputusan atas kebijakan publik dapat berjalan mulus. Tanpa dukungan ini, biasanya pengambil keputusan publik belakangan ini agak takut mengambil keputusan, walaupun keputusan tersebut benar. Maklumlah, birokrat kita dikenal sebagai safety player. Belum lagi diperparah dengan kondisi birokrasi yang saat ini takut berbuat sesuatu karena takut dituduh korupsi.
Baru-baru ini saya mengunjungi Medan. Sekembalinya dari sana, di pesawat saya membaca isi sebuah media cetak Medan yang memberitakan adanya tekanan dari sebuah LSM ke pemerintah daerah karena tidak kunjung dikucurkannya anggaran pembangunan sebuah gedung olah raga. Di sebuah media cetak Jakarta, kita juga baru membaca adanya konflik kepentingan antara seorang pejabat Departemen Kesehatan dengan sebuah LSM internasional.
Memang, sudah menjadi kecenderungan bahwa belakangan ini banyak warga masyarakat yang mengambil keuntungan dari keberadaan LSM. Secara tidak sadar, kini kita sering menghadapi LSM yang mestinya memperjuangkan kepentingan komunitasnya justru malah mengambil keuntungan sendiri. Bahkan, tidak aneh jika ada LSM yang dituduh ikut mengkorupsi anggaran publik.
Hal ini dapat terjadi karena pendiri-pendiri LSM yang muncul belakangan ini tidak mengerti filosofi LSM itu sendiri. Mereka hanya melihat bahwa banyak orang-orang besar di negeri ini yang lebih didengar oleh pemerintah karena mereka berlatar belakang LSM, misalnya baru-baru ini Adnan Buyung Nasution yang telah diangkat sebagai penasehat Presiden. Jarang yang menyadari bahwa pemerintah lebih mendengar orang-orang berlatar-belakang LSM tersebut bukan karena mereka berasal dari LSM, tetapi justru karena kematangan mereka itu sendiri dalam melihat fenomena permasalahan di masyarakat.
Jika kita tengok lebih jauh, saat ini banyak LSM yang beroperasi tidak hanya dari anggaran pribadi orang per orang. Akan tetapi, menggunakan anggaran publik, seperti sumbangan BUMN, donasi asing, dan bahkan ada yang dari APBN/APBD. Karena itu, penggunaan anggaran oleh LSM haruslah dikendalikan dan diaudit secara periodik.
Sebenarnya, saat ini banyak LSM yang sudah diaudit. Hanya saja, sayangnya, audit tersebut hanya terbatas pada proyek-proyek yang dibiayai donor internasional. Jarang sekali kita menemui laporan keuangan LSM yang diaudit secara komprehensif. Kita juga jarang menemui adanya opini audit atas laporan keuangan LSM. Apalagi, LSM yang mengumumkan secara terbuka hasil audit laporan keuangannya di koran-koran.
Karena audit masih terbatas pada proyek yang dibiayai donor, audit terhadap laporan keuangan LSM pun masih bersifat parsial. Kecurangan-kecurangan berupa penggunaan bukti transaksi di dua kegiatan yang berbeda pun menjadi mudah terjadi dan sulit untuk ditelusuri oleh auditor, kecuali untuk penugasan yang sifatnya investigatif.
Tampaknya, kini LSM sudah menjadi ajang bisnis yang menarik. Banyak warga masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari bisnis LSM ini. Itulah sebabnya, mesti segera dikeluarkan aturan yang memaksa para LSM bersifat transparan melalui audit laporan keuangan yang komprehensif dan dipublikasikan secara terbuka. Sebaiknya, LSM pun mulai sekarang harus berani mempublikasikan laporan keuangannya secara terbuka, tidak ditutup-tutupi, sebagaimana sikap yang ingin dijunjungnya sehari-hari. Mereka juga mesti tahan untuk dikritik jika ada hasil audit yang mengoreksi pengelolaan keuangannya.
Para auditor juga mesti turun ke LSM-LSM untuk mensosialisasikan manfaat dari audit tersebut. Jika akuntan publik tidak memiliki anggaran yang cukup, layak kiranya auditor-auditor negara memainkan peran sosialisasi tersebut. Pada akhirnya, secara nasional kita akan dapat menegakkan good governance, tidak saja pada level aparat negaranya, tetapi juga masyarakatnya, yang direpresentasikan oleh LSM.***
Mereka—LSM bentukan orang-orang pemerintah—bisa menjadi alat untuk pendukung terhadap setiap pengambilan keputusan yang ada di sekitar instansi pemerintah tersebut. Dengan harapan, setiap proses pengambilan keputusan atas kebijakan publik dapat berjalan mulus. Tanpa dukungan ini, biasanya pengambil keputusan publik belakangan ini agak takut mengambil keputusan, walaupun keputusan tersebut benar. Maklumlah, birokrat kita dikenal sebagai safety player. Belum lagi diperparah dengan kondisi birokrasi yang saat ini takut berbuat sesuatu karena takut dituduh korupsi.
Baru-baru ini saya mengunjungi Medan. Sekembalinya dari sana, di pesawat saya membaca isi sebuah media cetak Medan yang memberitakan adanya tekanan dari sebuah LSM ke pemerintah daerah karena tidak kunjung dikucurkannya anggaran pembangunan sebuah gedung olah raga. Di sebuah media cetak Jakarta, kita juga baru membaca adanya konflik kepentingan antara seorang pejabat Departemen Kesehatan dengan sebuah LSM internasional.
Memang, sudah menjadi kecenderungan bahwa belakangan ini banyak warga masyarakat yang mengambil keuntungan dari keberadaan LSM. Secara tidak sadar, kini kita sering menghadapi LSM yang mestinya memperjuangkan kepentingan komunitasnya justru malah mengambil keuntungan sendiri. Bahkan, tidak aneh jika ada LSM yang dituduh ikut mengkorupsi anggaran publik.
Hal ini dapat terjadi karena pendiri-pendiri LSM yang muncul belakangan ini tidak mengerti filosofi LSM itu sendiri. Mereka hanya melihat bahwa banyak orang-orang besar di negeri ini yang lebih didengar oleh pemerintah karena mereka berlatar belakang LSM, misalnya baru-baru ini Adnan Buyung Nasution yang telah diangkat sebagai penasehat Presiden. Jarang yang menyadari bahwa pemerintah lebih mendengar orang-orang berlatar-belakang LSM tersebut bukan karena mereka berasal dari LSM, tetapi justru karena kematangan mereka itu sendiri dalam melihat fenomena permasalahan di masyarakat.
Jika kita tengok lebih jauh, saat ini banyak LSM yang beroperasi tidak hanya dari anggaran pribadi orang per orang. Akan tetapi, menggunakan anggaran publik, seperti sumbangan BUMN, donasi asing, dan bahkan ada yang dari APBN/APBD. Karena itu, penggunaan anggaran oleh LSM haruslah dikendalikan dan diaudit secara periodik.
Sebenarnya, saat ini banyak LSM yang sudah diaudit. Hanya saja, sayangnya, audit tersebut hanya terbatas pada proyek-proyek yang dibiayai donor internasional. Jarang sekali kita menemui laporan keuangan LSM yang diaudit secara komprehensif. Kita juga jarang menemui adanya opini audit atas laporan keuangan LSM. Apalagi, LSM yang mengumumkan secara terbuka hasil audit laporan keuangannya di koran-koran.
Karena audit masih terbatas pada proyek yang dibiayai donor, audit terhadap laporan keuangan LSM pun masih bersifat parsial. Kecurangan-kecurangan berupa penggunaan bukti transaksi di dua kegiatan yang berbeda pun menjadi mudah terjadi dan sulit untuk ditelusuri oleh auditor, kecuali untuk penugasan yang sifatnya investigatif.
Tampaknya, kini LSM sudah menjadi ajang bisnis yang menarik. Banyak warga masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari bisnis LSM ini. Itulah sebabnya, mesti segera dikeluarkan aturan yang memaksa para LSM bersifat transparan melalui audit laporan keuangan yang komprehensif dan dipublikasikan secara terbuka. Sebaiknya, LSM pun mulai sekarang harus berani mempublikasikan laporan keuangannya secara terbuka, tidak ditutup-tutupi, sebagaimana sikap yang ingin dijunjungnya sehari-hari. Mereka juga mesti tahan untuk dikritik jika ada hasil audit yang mengoreksi pengelolaan keuangannya.
Para auditor juga mesti turun ke LSM-LSM untuk mensosialisasikan manfaat dari audit tersebut. Jika akuntan publik tidak memiliki anggaran yang cukup, layak kiranya auditor-auditor negara memainkan peran sosialisasi tersebut. Pada akhirnya, secara nasional kita akan dapat menegakkan good governance, tidak saja pada level aparat negaranya, tetapi juga masyarakatnya, yang direpresentasikan oleh LSM.***
Komentar