Langsung ke konten utama

Kenapa Reformasi di Indonesia Gagal?

Rasanya, pertanyaan ini sudah banyak yang menulis. Argumentasi yang diberikan beragam. Kebetulan, malam ini saya sedang membaca pengalaman reformasi di New Zealand. Dari tulisan Cangiano (1996), saya akhirnya menyimpulkan penyebab utama kegagalan reformasi, yaitu "fokus”. Dapat kita nyatakan, kegagalan reformasi di Indonesia adalah hilangnya fokus tersebut. Atau, bisa juga kita menyebutnya karena reformasi di Indonesia tidak memiliki fokus yang jelas.

Mari kita lihat contoh yang paling mudah. Dalam peristilahan pun, sudah banyak istilah reformasi. Dahulu, kita mengenal reformasi penganggaran. Sekarang ini, kita mendengar jargon yang populer: reformasi birokrasi. Mari bandingkan dengan New Zealand. Mereka di sana pada tahun 1985 – 1994 hanya memiliki 3 fokus reformasi, yaitu pada aspek privatisasi badan usaha negara, manajemen keuangan, dan efisiensi layanan birokrasi. Coba kita lihat reformasi birokrasi di Indonesia. Sangat dipopulerkan adanya 8 domain perubahan. Kemudian, sekarang dikenalkan istilah pengungkit dan hasil yang diadopsi dari Eropa. Pada berbagai domain tersebut, kita bisa melihat adanya fokus reformasi birokrasi yang tidak jelas, yaitu ada aspek manusia, aspek keuangan, aspek pengawasan, dan seterusnya.

Karena tidak jelasnya fokus birokrasi, akhirnya para birokrat seperti kebingungan ketika akan mengimplementasikannya. Hasilnya pun akhirnya menjadi tidak berkualitas. Sebagai contoh, kita telah melakukan reformasi anggaran yang demikian dahsyatnya. Karena tidak fokus, akhirnya edukasi terhadap perubahan yang terjadi kurang gencar. Hanya pihak tertentu saja yang bersentuhan langsung dengan perubahan tersebut. Akhirnya, banyak birokrat yang tidak menyadari telah terjadinya perubahan besar dalam sistem penganggaran kita. Yang repot, mereka sering menganggap bahwa praktiknya business as usual.

Ketika akhirnya mereka terlibat permasalahan hukum karena mengira kondisinya masih business as usual, mereka tidak pernah menyadari kesalahannya. Itulah kenapa belakangan ini kita melihat banyaknya para tersangka koruptor yang tampil di media mempertanyakan kesalahan mereka dengan wajah innocent.

Sekarang ini pun, pemerintah sudah menerapkan sistem akrual untuk pelaporan keuangannya. Hal ini tentu bukan perkara mudah. Namun, kita tidak melihat adanya kampanye besar perubahan dari basis kas ke akrual ini. Akhirnya, pengelola keuangan pun tidak menyadari perbedaan prinsip dari kedua sistem. Mereka mengira bahwa perubahan ke sistem baru tersebut tidak berpengaruh ke pekerjaannya.

Terkait dengan penyusunan rencana kegiatan dan anggaran pun Kementerian Keuangan telah melakukan banyak reformasi. Kini, proses penyusunan anggaran makin disederhanakan. Sayangnya, reformasi ini juga kurang disuarakan. Mungkin, salah satunya karena reformasi penganggaran masih dilihat sebagai urusan teknis keuangan. Padahal, ia akan menyangkut urusan birokrasi yang demikian luas.

Kemudian, baru-baru ini juga pemerintah mempromosikan ide untuk menghapus jabatan eselon III. Beritanya hanya gencar di media. Selanjutnya, sampai sekarang tidak ada due process untuk mengimplementasikan ide tersebut. Kita bisa bayangkan akan seperti apa jadinya kualitas implementasinya jika memang konsep tersebut diterapkan dalam waktu dekat mengingat pemerintahan saat ini akan berakhir tahun 2014.

Penggerak reformasi harus kembali merenungkan, fokus-fokus apa yang penting diterapkan dalam reformasi di Indonesia. Jika tidak, kegagalan itu akan menjadi seperti de javu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke