Langsung ke konten utama

Kenapa Muncul Salah Persepsi tentang Audit di Indonesia?

Di Indonesia saat ini terjadi salah persepsi tentang audit. Audit dianggap suatu hal yang menakutkan, ancaman, dan tidak bisa dibedakan dengan investigasi. Kenapa muncul demikian? Salah satu sebabnya adalah tidak tepatnya konsep audit yang masuk ke Indonesia. Ini bisa dikaji dari aspek sejarah konsep audit itu masuk ke Indonesia.

Yang masuk ke Indonesia pada awalnya adalah konsep INSPECTION, bukan audit. Karena itu, nama unit audit internal di Indonesia umumnya adalah INSPEKTORAT, yang masih bertahan sampai saat ini. Para auditornya dulu juga disebut INSPEKTUR, tidak hanya pimpinannya.

Hal ini diperparah lagi dengan nama eksternal audiornya, yaitu PEMERIKSA. Kebanyakan orang yang melakukannya pun terperangkap melakukan INSPEKSI dan MEMERIKSA, bukan AUDIT.

Dari sisi auditee-nya, mereka umumnya tidak mengerti konsep dan manfaat audit. Audit terpersepsikan mencari-cari kesalahan, bukan untuk improvement untuk kepentingan auditee.

Hal ini diperparah lagi dengan adanya target WTP yang disamaratakan untuk semua Pemda. Prof. Wihana dari UGM pada sebuah seminar pernah menyatakan bahwa mestinya untuk di daerah Timur target WTP itu tidak begitu dipentingkan. Mencapai target bahwa mereka sudah bisa membuat laporan keuangan saja sebenarnya sudah bagus.

Di sisi auditor, ternyata lebih parah lagi. Sekarang ini banyak terjadi bahwa mereka yang sebenarnya belum kompeten untuk melakukan audit malah ditugaskan melakukan audit karena banyaknya instansi yang harus diaudit karena diamanahkan oleh perundang-undangan.

Ketika terjadi gap yang tinggi antara auditor dengan auditee, tentu saja jalan pintas yang dilakukan. Jika dialog profesional tidak dapat dilakukan, para auditee yang tidak mengerti kenapa auditor mempertanyakan banyak hal, cenderung akan mencari alternatif jalan pintas. Ia tentu tidak ingin pekerjaannya semakin direpotkan dengan urusan audit. Padahal, banyak hal yang masih harus dikerjakannya. Itulah yang terjadi sekarang ini. Di mana risiko terjadinya transaksi illegal tidak terhindarkan.

Memang, KPK sudah men-tap komunikasi telepon para auditor tersebut. Tapi, tentu tidak semua auditor bisa dijangkau oleh KPK. Kemudian, banyak juga transaksi yang sekarang ini kembali ke cara tradisional. Beberapa auditor yang tertangkap belakangan ini oleh KPK sebenarnya juga bukan karena adanya transaksi yang ditangkap melakukan hasil tap komunikasi telepon. Tapi, karena adanya aduan salah satu pihak. Dalam sebuah kasus yang heboh terakhir ini, itu karena adanya junior auditor yang melapor.

Artinya, sebenarnya kita sudah mulai mempunyai harapan kepada junior auditor tersebut. Hanya saja, jika kondisi saat ini masih dipertahankan, di mana salah satu pihak dipaksa untuk mengerjakan atau mencapai target yang diluar jangkauannya, sementara pihak lain dianggap sebagai ancaman, maka transaksi illegal itu akan menjadi risiko yang selalu berulang. Kita perlu berfikir untuk memecahkan masalah ini sebelum cost bernegara menjadi begitu besar, atas urusan yang sebenarnya ditujukan memberikan manfaat untuk kepentingan improvement.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke