Langsung ke konten utama

Konflik Kepentingan

Ketika sedang melakukan asistensi ke sebuah instansi pemerintah, saya menemukan ada seorang ibu yang kebetulan istri sekjen sebuah departemen ternyata juga merangkap sebagai salah satu konsultan di departemen tersebut. Rupanya, persoalan sang ibu menjadi konsultan di organisasi yang suaminya menjadi sekjen ini telah juga menjadi rumor di internal organisasi tersebut.

Anehnya, pejabat tingkat menengah yang merekrut ibu tadi tidak merasa bersalah. Menurutnya, sah-sah saja jika dia merekrut ibu tadi. Toch, dia merekrutnya karena keahliannya. Ibu tadi juga dosen di sebuah perguruan tinggi.

Ini memang suatu topik yang dapat menyulitkan. Karena itu, saya mengusulkan kepada pejabat tingkat menengah tadi agar tidak menjadi masalah dan menyulitkan posisi pak sekjen di kemudian hari, sebaiknya ibu tadi tidak direkrut sebagai konsultan, tapi diminta sebagai nara sumber yang dapat diundang sesuai keperluan. Untuk itu, ibu tadi bisa dibayar berdasarkan jam bekerjanya sesuai dengan kebutuhan tadi, tidak dibayar bulanan sebagai konsultan.

Memang, agak susah meyakinkan masyarakat kita, terutama para pejabatnya, bahwa dalam hal tertentu pelanggaran itu tidak hanya dilihat dari adanya korupsi atau tidak. Konflik kepentingan (conflict of interest) di beberapa negara justru juga adalah pelanggaran. Konflik kepentingan ini sering terkena pada pejabat penting dan sering menjadi isu nasional yang diperbincangkan di media. Tentu saja, ketika konflik kepentingan muncul, semua orang ingin membaca dan mendengarnya, seperti halnya mendengar gosil selebriti.

Karena itu, kita sebaiknya sejak awal berusaha untuk menghindarkan konflik kepentingan ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Memang, di beberapa negara seperti Australia, konflik kepentingan masih dimungkinkan terjadi. Namun, seseorang yang terlibat konflik kepentingan harus menyatakan di awal adanya konflik kepentingan tersebut. Seseorang bisa dianggap melakukan pelanggaran jika di kemudian hari dia terbukti memiliki konflik kepentingan dan ternyata tidak pernah mengungkapkannya sejak awa. Dalam pengambilan keputusan stratejik, orang yang memiliki konflik kepentingan pun dilarang untuk terlibat lebih jauh. Dalam praktiknya, orang tadi harus menyatakan adanya konflik kepentingan dan mundur dari rapat yang terkait dengan pengambilan keputusan di mana dia mengalami konflik kepentingan.


Jl. Pramuka, menjelang Maghrib, 26 Juni 2008

Komentar

Anonim mengatakan…
Tulisan yang bagus, Pak. Saya setuju sekali. Yang hendak saya tanyakan adalah apakah konflik kepentingan semacam ini terjadi karena tidak adanya aturan yang tegas yang memisahkan profesionalitas kerja dengan kepentingan pribadi? Apakah memang ada hal-hal lainnya juga yang ikut menciptakan konflik kepentingan itu? Sebab, rasanya kok konflik kepentingan ini terjadi di hampir semua instansi dan seolah-olah telah menjadi kebiasaan yang dianggap wajar. Bagaimana pendapat Bapak mengenai lumrahnya orang-orang yang masih memiliki hubungan keluarga yang bekerja di tempat yang sama? Misalnya: suami-istri, mertua-menantu, orang tua-anak, dsb. Apakah hal ini juga dapat dikategorikan sebagai konflik kepentingan? Bagaimana ya sebaiknya menyikapi hal ini? Wah! Saya jadi kebanyakan nanya nih! Hehehe.


Salam. :)
Rudy M Harahap mengatakan…
Benar, banyak faktor, aturan juga merupakan salah satu faktor. Tapi, yang penting adalah persoalan integritas. Kita di negara berkembang masih sering menghadapi tantangan ini.

Namun demikian, jangan pesimis. Kita harus terus membicarakan ini agar semua pihak sadar pentingnya menghindari konflik kepentingan.

Sangat jelas, hubungan kekerabatan adalah salah satu bentuk konflik kepentingan.
Anonim mengatakan…
Bapak benar. Saya pun berkali-kali mengalami tantangan yang demikian. Persoalan konflik kepentingan pada prakteknya rupanya memang masih dianggap sepi. Dengan kata lain, sedikit pihak yang menyadarinya. Padahal, ini merupakan pintu awal praktek KKN.

Saya pernah membicarakan konflik kepentingan dalam suatu obrolan ringan dengan beberapa rekan kerja. Saya mencoba menyontohkannya melalui proses penerimaan karyawan baru. Saya katakan bahwa buruknya kinerja instansi publik sebenarnya juga berasal dari kurang transparannya proses rekrutmen pegawai. Sudah menjadi rahasia umum jika mekanisme rekrutmen yang ada selama ini masih memberikan peluang bagi orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan untuk diterima sebagai pegawai. Tes yang dilaksanakan pun dapat dikatakan formalitas belaka. Kalau perlu setor saja sejumlah uang. Pintar atau bodoh, jujur atau tidak jujur, itu urusan belakangan. Yang penting masuk dulu.

Saya jelaskan pula bahwa bagaimana pun, hal ini sedikit banyak mempengaruhi kinerja institusi. Pasti ada rasa kagok atau canggung bahkan tidak tegas ketika yang dihadapi adalah kerabat sendiri. Ujung-ujungnya kongkalikong juga. Saya usulkan agar pola penerimaan pegawai diperbaiki. Jangan lagi ada orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan diterima sebagai pegawai. Ini persoalan profesionalitas dan transparansi institusi. Masyarakat akan menilainya. Lagipula, ada lembaga pemerintahan lainnya yang terbukti mampu melaksanakannya.

Sebagian besar rekan-rekan kerja tidak setuju dengan usulan saya. Hanya sedikit yang setuju. Ketika saya balik menanyakan alasan mereka yang tidak setuju, hanya dijawab jika itu dapat mematikan peluang seseorang untuk berkarir. Bagaimana jika memang pada dasarnya si calon pegawai adalah orang-orang yang pintar dan mampu? Jadi, jangan dilihat faktor keluarganya dong! Begitu kira-kira mereka katakan. Saya tetap beranggapan bahwa faktor keluarga atau kekerabatan tetap merupakan salah satu faktor penentu juga karena selama ini memang demikian adanya.

Belakangan saya mengetahui jika mereka yang tidak setuju memang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat-pejabat eselon tinggi. Diam-diam banyak juga pegawai yang masuk menggunakan pola "terima kasih". Nampaknya hal ini memang dipengaruhi oleh budaya kekerabatan yang memang amat (bahkan terlalu) kuat di negara kita. Budaya yang mungkin terlalu permisif terhadap apa pun. Saya seringkali mendengar kata-kata seperti ini: apa salahnya sih membantu saudara dan keluarga sendiri? Kalau bisa, ya bantu mereka dulu daripada orang luar. Disadari atau tidak, konflik kepentingan mulai muncul karena ketidakmampuan (atau ketidakmauan) pihak-pihak tertentu dalam memilah-milah kepentingan.

Saya berpikir jika ini memang persoalan sistem dan mentalitas juga. Ternyata memang diam-diam masih banyak pihak yang berkepentingan dengan sistem yang seperti ini. Saya kira, siapa pun ingin institusinya berkembang maju dan profesional di mata publik. Saya cukup merasakan tantangan yang ada di lingkungan kerja dalam upaya mempertahankan integritas pribadi dan menghindari konflik kepentingan. Seorang senior pernah berkata kepada saya bahwa jika suatu saat nanti saya akan menyadari jika semua kebijakan tersebut dibuat hanya agar semuanya seolah-olah terlihat bagus, tapi sebenarnya tetap bobrok di dalamnya. Saya mulai berpikir jika dia benar.

Saya cukup optimis jika kita bisa menghindari konflik-konflik demikian. Namun, semuanya tetap memerlukan proses. Perlu keberanian bersikap dan strategi dalam menghadapinya. Terkadang saya merasa berjalan sendirian. Wah! Rasanya saya jadi curhat nih. Hahaha.

Salam hangat. :)
Rudy M Harahap mengatakan…
Yang penting, tetap optimis. Di beberapa badan, sudah ditetapkan bahwa pelamar tidak boleh ada hubungan keluarga, seperti di BI.

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke