Langsung ke konten utama

PERURI sebagai GovTech Indonesia



Salah satu perubahan besar di organisasi sektor publik Indonesia ke depan adalah dipindahkan atau ditransformasikannya pembangunan berbagai sistem elektronik instansi sektor publik ke PERURI. Perusahaan milik negara (BUMN) ini akan menjadi Govtech Indonesia. Ini tentu sangat menarik dan merupakan pilihan yang sangat strategis. 

Saya melihat, Govtech Indonesia ini bisa menjadi hal yang positif asalkan diantisipasi dan dipersiapkan dengan baik tatakelolanya. Sebab, menjadikan PERURI sebagai Govtech Indonesia pada dasarnya mirip seperti mengembalikan pekerjaan pembangunan gedung ke Kementerian PUPR atau Dinas PUPR, yang memang sudah menjadi keahlian intinya. 

Dulu, banyak instansi pemerintah yang membangun sendiri gedungnya. Sebagai contoh, Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama banyak membangun gedung universitas atau sekolah sendiri yang akhirnya mangkrak. Kemudian, gedung-gedung ini diteruskan pembangunannya oleh Kementerian PUPR dan berhasil. 

Belakangan ini, pembangunan gedung-gedung instansi pemerintah pusat sudah banyak dikerjakan langsung oleh Kementerian PUPR. Sebagai contoh, instansi pemerintah pusat (seperti Kementerian Keuangan dan BPKP) tidak lagi membangun rumah susun masing-masing, tetapi dikerjakan oleh Kementerian PUPR. Instansi pemerintah pusat hanya menggunakan dan mengelolanya. 

Memang, titik kritisnya pada pembangunan rumah susun tersebut adalah pada fase serah terima dari Kementerian PUPR ke instansi pemerintah pusat. Namun, quality assurance yang ketat dari Kementerian PUPR akan memungkinkan rumah susun yang diserahkanterimakan telah terjaga mutunya dan kemudian dapat dikelola dan dipelihara dengan baik. 

Hal tersebut tentu mirip dengan pembangunan berbagai macam sistem elektronik instansi pemerintah. Memang, sudah saatnya instansi pemerintah lebih banyak berperan sebagai pengguna dan menyerahkan pengembangan sistem elektronik ke instansi yang kompeten di bidangnya, seperti halnya pembangunan gedung-gedung instansi pemerintah yang dipercayakan ke Kementerian PUPR. 

Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menjaga kualitas pembangunan sistem elektronik tersebut oleh GovTech Indonesia dan kemudian bisa digunakan, dikelola, dan dipelihara oleh instansi pemerintah selaku pengguna. 

Selain itu, GovTech Indonesia harus menjaga agar jangan sampai terjerat dengan berbagai kasus korupsi. Di awal-awalnya dulu, Kementerian PUPR menjadi salah satu organisasi yang korup, tetapi kemudian bisa bertransformasi menjadi salah satu organisasi yang baik tata kelolanya. GovTech Indonesia perlu belajar dari Kementerian PUPR tentang hal ini. 

Yang juga perlu diingat, Kementerian PUPR tidak sama mulainya jika disandingkan dengan PERURI yang diarahkan menjadi GovTech Indonesia. Kementerian PUPR sudah lama berkecimpung dan dikenal sebagai ahlinya dalam pembangunan gedung, sementara PERURI lebih dikenal sebagai perusahaan pencetak uang atau dokumen penting lainnya. Ini akan menjadi tantangan tersendiri. 

Karenanya, PERURI pertama sekali perlu mentransformasikan dirinya, sebelum mentransformasikan instansi pemerintah dengan berbagai pembangunan sistem elektronik.

Selamat bertransformasi!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke