Soal pengadaan barang/jasa (PBJ) masih menjadi isu yang terus muncul. Mungkin karena dorongan dari pemerintah saat ini di mana kita dipaksa untuk terus berkinerja, sementara itu sistem PBJ masih tidak memungkinkan hal itu. Suatu hal yang sangat dilematis. Sistem PBJ di negara kita masih menjadi hambatan utama untuk berkinerja. Dari ngobrol ngalor-ngidul, ternyata soal ini pun rupanya sudah pernah dibahas di literatur. Kondisi saat ini tidak bisa dilepaskan dari dua pertarungan pendekatan reform berbasis NPM.
Dalam reform NPM itu ada dua pendekatan yang populer, yaitu "liberation management" versus "market-driven management". Pendekatan pertama mengasumsikan orang-orang di sektor publik itu adalah orang-orang baik yang sialnya sedang berada pada sistem yang buruk.
Mereka ini biasanya dibombardir oleh berbagai peraturan yang duplikasi, saling tumpang tindih, dan sering malah sebenarnya tidak perlu. Pandangan ini mengangggap mestinya mereka para profesional di sektor publik itu diberikan kesempatan untuk berakuntabel atas apa yang dicapainya. Bukan mereka yang salah, tetapi sistem yang buruklah yang mengakibatkan mereka tidak bisa bekerja. Karenanya, pengendalian melalui hasil menjadi ciri utama yang didorong pendekatan ini, bukan pada prosedur atau input.
Sialnya, kebanyakan negara berkembang itu masih didominasi, didokrin, dan akhirnya percaya dengan market-driven management. Padahal, landasan berpikir pendekatan ini berbeda dengan konteks negara berkembang. Berbeda dengan liberation management yang berbasis trust, asumsi pendekatan ini para profesional di sektor publik itu adalah orang-orang yang culas.
Karenanya, untuk mengendalikan mereka, kompetisi pasar harus terus didorong. Jangan pernah percaya dengan mereka, itu inti nasihat pendekatan ini.
Itulah sebabnya, lelang selalu menjadi hal yang diagungkan di sistem PBJ kita. Penunjukan langsung selalu menjadi barang haram. Kepercayaan bahwa lelang menyelesaikan masalah sektor publik pun sudah merambah pada penentuan pejabat publik, walaupun mayoritas rakyat Indonesia menganggap jabatan adalah amanah. Suatu yang paradoksial.
Sialnya lagi, kita di universitas pun telah didoktrin sejak lama untuk percaya dengan market-driven management, suatu ajaran penting kapitalisme. Kelas-kelas selama ini dirancang untuk percaya dengan pendekatan market ini. Dan akhirnya, secara tidak sadar, kita pun sekarang terperangkap di dalamnya.
Program-program reform di negara berkembang pun selalu percaya dengan anjuran ini. Apalagi ketika yang berbicara adalah lembaga donor. Karenanya, desain sistem PBJ kita pun masih berbasis ketidakpercayaan pada para profesional di sektor publik.
Ini mestinya sama-sama kita lawan. Situasi praktik yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan dari mindset konseptual kita sendiri. Sepanjang kita masih percaya dengan dokrin market-driven management yang buta, sepanjang itulah kita masih terus akan berbicara blundernya sistem PBJ kita, kita terperangkap di dalamnya, dan memakan rekan-rekan kita sendiri sebagai korbannya.
Saatnya kita bergerak untuk mengembalikan mindset bahwa masih banyak profesional di sektor publik adalah orang-orang yang bisa dipercaya dan kita harus memenangkan pertarungan pendekatan liberation management atas market-driven management.
Bacaan utama:
Gianakis, G. A. (2002). The promise of public sector performance measurement: Anodyne or placebo? Public Administration Quarterly, 26(1/2), 35-64.
Dalam reform NPM itu ada dua pendekatan yang populer, yaitu "liberation management" versus "market-driven management". Pendekatan pertama mengasumsikan orang-orang di sektor publik itu adalah orang-orang baik yang sialnya sedang berada pada sistem yang buruk.
"The liberation management school characterizes professsional public managers as good managers caught in bad systems."
Mereka ini biasanya dibombardir oleh berbagai peraturan yang duplikasi, saling tumpang tindih, dan sering malah sebenarnya tidak perlu. Pandangan ini mengangggap mestinya mereka para profesional di sektor publik itu diberikan kesempatan untuk berakuntabel atas apa yang dicapainya. Bukan mereka yang salah, tetapi sistem yang buruklah yang mengakibatkan mereka tidak bisa bekerja. Karenanya, pengendalian melalui hasil menjadi ciri utama yang didorong pendekatan ini, bukan pada prosedur atau input.
"Liberated managers would be held accountable to the democratic process by what they achieve in their respective policy areas. Hence, the necessary control is exercised through outcome measures rather than through input constraints."
Sialnya, kebanyakan negara berkembang itu masih didominasi, didokrin, dan akhirnya percaya dengan market-driven management. Padahal, landasan berpikir pendekatan ini berbeda dengan konteks negara berkembang. Berbeda dengan liberation management yang berbasis trust, asumsi pendekatan ini para profesional di sektor publik itu adalah orang-orang yang culas.
"[P}ublic-sector managers are motivated by narrow self-interest and will take advantage of opportunities to 'cheat' as expressed in public choice theory and principal-agent theory."
Karenanya, untuk mengendalikan mereka, kompetisi pasar harus terus didorong. Jangan pernah percaya dengan mereka, itu inti nasihat pendekatan ini.
"Competition in and of itself serves as a control mechanism in the private sector and dovetails with the narrow self-interest that may drive managers."
Itulah sebabnya, lelang selalu menjadi hal yang diagungkan di sistem PBJ kita. Penunjukan langsung selalu menjadi barang haram. Kepercayaan bahwa lelang menyelesaikan masalah sektor publik pun sudah merambah pada penentuan pejabat publik, walaupun mayoritas rakyat Indonesia menganggap jabatan adalah amanah. Suatu yang paradoksial.
Sialnya lagi, kita di universitas pun telah didoktrin sejak lama untuk percaya dengan market-driven management, suatu ajaran penting kapitalisme. Kelas-kelas selama ini dirancang untuk percaya dengan pendekatan market ini. Dan akhirnya, secara tidak sadar, kita pun sekarang terperangkap di dalamnya.
Program-program reform di negara berkembang pun selalu percaya dengan anjuran ini. Apalagi ketika yang berbicara adalah lembaga donor. Karenanya, desain sistem PBJ kita pun masih berbasis ketidakpercayaan pada para profesional di sektor publik.
Ini mestinya sama-sama kita lawan. Situasi praktik yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan dari mindset konseptual kita sendiri. Sepanjang kita masih percaya dengan dokrin market-driven management yang buta, sepanjang itulah kita masih terus akan berbicara blundernya sistem PBJ kita, kita terperangkap di dalamnya, dan memakan rekan-rekan kita sendiri sebagai korbannya.
Saatnya kita bergerak untuk mengembalikan mindset bahwa masih banyak profesional di sektor publik adalah orang-orang yang bisa dipercaya dan kita harus memenangkan pertarungan pendekatan liberation management atas market-driven management.
Bacaan utama:
Gianakis, G. A. (2002). The promise of public sector performance measurement: Anodyne or placebo? Public Administration Quarterly, 26(1/2), 35-64.
Komentar