Untuk memahami pergerakan bisnis Korea, kita harus memahami pergolakan politik dan hukum di sana. Tahun 2000-an, setelah reformasi, saya pernah bertemu dengan seorang monk Korea di Manila. Ia adalah aktivis Transparency International Korea. Saya tanya, kenapa monk terlibat di pergerakan ini. Dan seterusnya. Kemudian, dia bercerita banyak. Ia menjelaskan peran utama monk dalam menggerakkan reformasi. Salah satu guidance yang tegas dari monk (ulama) adalah: "Aktivis anti-korupsi boleh bekerja sama dengan siapapun. Namun, satu yang tidak boleh, bekerja sama dengan militer." Kenapa? Karena orang-orang militer tidak bisa dipercaya, katanya. Jangan pernah percaya dengan militer, itu warning para monk.
Salah satu momen penting kemajuan pesat reformasi Korea adalah ketika ada ajudan yang menembak mati presiden Korea (Park Chung-hee). Orang bilang, jika presiden ini tidak ditembak mati, maka Korea akan mempunyai presiden diktator seperti Suharto, di mana di awal sangat baik, dan mengalami degradasi di akhir. Syukurnya, ajudan itu memotong alur sejarah tersebut sehingga mereka tidak memiliki diktator.
Sempat KOICA (lembaga donor semacam ADB/WorldBank) memberikan support besar-besaran untuk mendampingi proses reformasi birokrasi di Indonesia melalui Kementerian PAN dan RB. Sialnya, salah satu deputi di kementerian ini, yang mengurus reformasi birokrasi, malah memiliki pemikiran yang menyimpang. Ia mengambil model Eropa (Excellence Model), western. Jika saja pendampingan dari KOICA ini berjalan lancar, akan banyak perubahan birokrasi di Indonesia.
Saya tadinya berharap bahwa Indonesia akan mengikuti Korea dalam keberhasilan reformasinya. Reformasinya memungkinkan adanya kompetisi bisnis yang fair dan mereka menuju kemajuan yang pesat. Sayangnya, trend itu tidak terjadi di Indonesia. Mungkin salah satunya karena kita tidak mengikuti nasehat monk tadi. Kita terlalu lama berleha-leha dengan militer. Militer tidak berhasil total meninggalkan gelanggang politik (sementara di Korea presiden yang berlatar belakang militer terakhir adalah Roh Tae-woo, berakhir 1993). Akhirnya, reformasi Indonesia masih dikotori oleh peran militer (termasuk polisi yang masih berprilaku militer). Kita bahkan sempat memilih presiden yang berlatar belakang militer terlalu lama (dua periode) dan hampir memilih seorang lagi yang berlatar belakang militer beberapa waktu lalu. Kesuksesan Indonesia akhirnya tertunda.
Korea berhasil dipimpin oleh mereka yang berlatar belakang pergerakan (Kim Dae-jung). Kemudian kemajuan pesat dialami ketika mereka dipimpin oleh mantan CEO Hyundai dan walikota Seoul (Lee Myung-bak). Di sinilah hambatan-hambatan dari penegak hukum mulai dihapus. Presiden ini meletakkan KPK sebagai bagian dari Komnas HAM dan meletakkannya di bawah kendali presiden. Aktivis anti korupsi mengkritik habis. Namun, presiden Korea ini berhasil membuat sektor bisnis bergerak bebas, tanpa ketakutan karena penegak hukum yang kelewat batas (yang tampaknya sedang dicoba eksperimennya oleh Jokowi).
Kini, kepemimpinan beralih ke anak yang dulu bapaknya dibunuh oleh ajudannya. Tampaknya, ia (Park Geun-hye) hanya melanjutkan sistem yang sudah berjalan. Karena itu, kita tidak terlalu banyak mendengar lagi cerita presiden ini. Namun, ia dianggap sebagai presiden berpengaruh di Korea setelah Kim Dae-jung.
Och, yach, struktur pemerintahan Korea itu unik. Mereka presidential, tetapi punya perdana menteri (Prime Minister's Office). Ialah yang me-lead tataran implementasi reformasi di Korea.
Di sisi lain, ada hikmah lain yang perlu kita syukuri karena tidak mengikuti alur Korea. Ketika mereka mengalami kemajuan pesat, tentu ada pengorbanan. Para pria sibuk bekerja. Para wanita juga begitu. Sialnya, para wanita yang menjadi korban utama. Agar bisa menarik kaum pria, mereka banyak yang berjuang habis mempercantik dirinya. Cost untuk memelihara kecantikan adalah cost terbesar di sana. Di KRL, iklan paling marak adalah iklan operasi kecantikan. Karena itu, jangan aneh kalau pergi ke Seoul, kita tidak menemukan wanita yang tidak cantik atau sudah tua. Semua tampak muda dan cantik, dengan pengorbanan berat, tentunya.***
Salah satu momen penting kemajuan pesat reformasi Korea adalah ketika ada ajudan yang menembak mati presiden Korea (Park Chung-hee). Orang bilang, jika presiden ini tidak ditembak mati, maka Korea akan mempunyai presiden diktator seperti Suharto, di mana di awal sangat baik, dan mengalami degradasi di akhir. Syukurnya, ajudan itu memotong alur sejarah tersebut sehingga mereka tidak memiliki diktator.
Sempat KOICA (lembaga donor semacam ADB/WorldBank) memberikan support besar-besaran untuk mendampingi proses reformasi birokrasi di Indonesia melalui Kementerian PAN dan RB. Sialnya, salah satu deputi di kementerian ini, yang mengurus reformasi birokrasi, malah memiliki pemikiran yang menyimpang. Ia mengambil model Eropa (Excellence Model), western. Jika saja pendampingan dari KOICA ini berjalan lancar, akan banyak perubahan birokrasi di Indonesia.
Saya tadinya berharap bahwa Indonesia akan mengikuti Korea dalam keberhasilan reformasinya. Reformasinya memungkinkan adanya kompetisi bisnis yang fair dan mereka menuju kemajuan yang pesat. Sayangnya, trend itu tidak terjadi di Indonesia. Mungkin salah satunya karena kita tidak mengikuti nasehat monk tadi. Kita terlalu lama berleha-leha dengan militer. Militer tidak berhasil total meninggalkan gelanggang politik (sementara di Korea presiden yang berlatar belakang militer terakhir adalah Roh Tae-woo, berakhir 1993). Akhirnya, reformasi Indonesia masih dikotori oleh peran militer (termasuk polisi yang masih berprilaku militer). Kita bahkan sempat memilih presiden yang berlatar belakang militer terlalu lama (dua periode) dan hampir memilih seorang lagi yang berlatar belakang militer beberapa waktu lalu. Kesuksesan Indonesia akhirnya tertunda.
Korea berhasil dipimpin oleh mereka yang berlatar belakang pergerakan (Kim Dae-jung). Kemudian kemajuan pesat dialami ketika mereka dipimpin oleh mantan CEO Hyundai dan walikota Seoul (Lee Myung-bak). Di sinilah hambatan-hambatan dari penegak hukum mulai dihapus. Presiden ini meletakkan KPK sebagai bagian dari Komnas HAM dan meletakkannya di bawah kendali presiden. Aktivis anti korupsi mengkritik habis. Namun, presiden Korea ini berhasil membuat sektor bisnis bergerak bebas, tanpa ketakutan karena penegak hukum yang kelewat batas (yang tampaknya sedang dicoba eksperimennya oleh Jokowi).
Kini, kepemimpinan beralih ke anak yang dulu bapaknya dibunuh oleh ajudannya. Tampaknya, ia (Park Geun-hye) hanya melanjutkan sistem yang sudah berjalan. Karena itu, kita tidak terlalu banyak mendengar lagi cerita presiden ini. Namun, ia dianggap sebagai presiden berpengaruh di Korea setelah Kim Dae-jung.
Och, yach, struktur pemerintahan Korea itu unik. Mereka presidential, tetapi punya perdana menteri (Prime Minister's Office). Ialah yang me-lead tataran implementasi reformasi di Korea.
Di sisi lain, ada hikmah lain yang perlu kita syukuri karena tidak mengikuti alur Korea. Ketika mereka mengalami kemajuan pesat, tentu ada pengorbanan. Para pria sibuk bekerja. Para wanita juga begitu. Sialnya, para wanita yang menjadi korban utama. Agar bisa menarik kaum pria, mereka banyak yang berjuang habis mempercantik dirinya. Cost untuk memelihara kecantikan adalah cost terbesar di sana. Di KRL, iklan paling marak adalah iklan operasi kecantikan. Karena itu, jangan aneh kalau pergi ke Seoul, kita tidak menemukan wanita yang tidak cantik atau sudah tua. Semua tampak muda dan cantik, dengan pengorbanan berat, tentunya.***
Komentar