Langsung ke konten utama

Resensi: Buku Ayah, Kisah Buya Hamka


Beruntung sekali saya, ketika dipercaya menjadi reviewer 2nd Ikanas Academic Conference, selain sertifikat, di kantong souvenir, saya melihat ada buku "Ayah, Kisah Buya Hamka" yang ditulis anak kelima Buya Hamka, yaitu Irfan Hamka.

Begitu besar nikmat yang diberikan Sang Khalik kepada penulisnya. Begitu besar juga bakti penulis kepada ayahnya. Itulah sebabnya, ia begitu semangat menerbitkan buku ini ke khalayak luas. Tadinya, buku ini memang telah terbit, tetapi lebih banyak disebarkan ke kalangan terbatas. Buku ini diterbitkan kembali oleh Penerbit Republika dengan beberapa modifikasi, ketika penulis sudah berumur 70 tahun.

Memang, ketika kita membaca buku ini, masih banyak sebenarnya hal-hal yang belum terungkap tentang Buya Hamka. Ketika kecil, tokoh ini sangat saya kagumi karena ceramahnya yang teduh di TVRI. Rasanya, tidak ada pesimisme ketika mendengar jawaban-jawaban beliau ketika menjawab curhat pemirsa. 

Sayangnya, ntah karena keterbatasan penulisnya, atau untuk menjaga hubungan baik dengan banyak pihak, seperti diajarkan ayahnya, penulis kurang berani, misalnya, mengungkap lebih jauh hubungan Buya Hamka dengan Presiden Soeharto. Padahal, tampak adanya pasang-surut hubungan antara keduanya.

Pada awalnya, buku ini lebih terasa sebagai autobiografi penulisnya. Sebagai contoh, ia banyak mengulas tentang perjalanan haji ke Mekkah bersama ayah dan umminya (Bagian 4). Namun, yang lebih banyak diuraikan adalah sisi dirinya. Terutama ketika pada perjalanan haji itu ia juga berkunjung ke beberapa negara sekitarnya. Tampak sekali bahwa penulis kurang bisa membedakan sisi dirinya dan sisinya ayahnya, yang ingin ditulis di buku ini. 

Bahkan, penulis juga banyak menyisipkan sisi percintaan dirinya. Bahkan, begitu jujurnya, juga diceritakan bagaimana para pasangan jemaah haji yang menumpang kelas III mampu menyelesaikan urusan seksnya di dek kapal. Sebab, pada waktu itu perjalanan haji bisa berbulan-bulan karena masih menggunakan kapal laut.

Walaupun begitu, banyak hal yang bisa dipahami lebih jauh tentang Buya Hamka, seperti penjelasan kesufian Buya Hamka (Bagian Enam), kemampuannya mengadakan kesepakatan dengan jin (Bagian Tiga), dan sisi kepeduliannya yang tidak saja dengan manusia, tetapi juga dengan hewan, kucing kesayangannya yang hidup dengannya sekitar 25 tahun (Bagian Delapan).

Kita juga bisa melihat integritasnya menghindari konflik kepentingan ketika ditawari sebagai Mayor Jenderal Tituler (Dua Saran Ummi, hal 199 - 201). Ia tidak ingin persepsi masyarakat yang telah melihatnya sebagai pendakwah terganggu dengan jabatan itu.

Juga ketika ditawari sebagai Duta Besar di Arab Saudi. Terasa sekali peran dari istrinya. Buya Hamka berembug terlebih dahulu dengan istrinya. Ternyata, pandangan istrinya begitu luas. Ia lebih menimbang kepentingan mengurus Mesjid Al Azhar yang saat itu sedang berkembang dan sedang membutuhkannya daripada menerima jabatan bergengsi tersebut. 

Tampaknya, pilihan Buya Hamka ketika dalam posisi sulit menentukan pilhan itu perlu dicontoh oleh Jokowi. Ketika banyak pihak mulai banyak yang ingin mengusungnya sebagai calon presiden, Jokowi perlu membaca buku ini untuk memperoleh pandangan yang bijak.

Sikap Buya Hamka yang terbuka juga tampak sekali. Ia bukanlah pendendam. Hatinya memang begitu teduh. Ini tampak ketika ia dengan ikhlasnya mau membantu orang yang dahulu tidak suka padanya. Bahkan, hal ini ditunjukkan sampai keikhlasannya mengantar ke liang lahat orang-orang yang tadinya berseberangan dengan dirinya, seperti Presiden Soekarno dan M. Yamin. Bahkan ia pun mau mengajari agama ke calon menantu Pramoedya Ananta Toer yang dulunya mengecam hasil karyanya (Bagian Sembilan).

Menurut pandangan saya, buku ini lebih tepat dibilang buku kenangan keluarga yang layak menjadi koleksi bagi turunannya. Soalnya, pada bagian belakang, silsilah keluarga ditulis dengan lengkap. Juga foto-foto keluarga. Foto Buya Hamka sendiri ketika berada di lingkungan kemasyarakatan sangat terbatas. Riset tentang foto ini mestinya dikembangkan jika ingin ditujukan ke khalayak ramai. Pasti masih banyak koleksi foto terkait Buya Hamka di Arsip Nasional yang bisa dipinjam untuk memperkaya isi buku ini.

Biasanya, cukup lama saya dalam membaca biografi. Kali ini, cukup dua malam saja. Ini mungkin disebabkan isinya yang membuat saya semakin ingin tahu tentang Buya Hamka, walaupun rasanya masih perlu buku lain untuk melengkapinya.***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) ...

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. ...

[eKTP] Skandal e-KTP Gamawan Fauzi: Persekongkolan Proyek Rp 5,8 Triliun

Kamis, 15/09/2011 15:24 WIB Skandal e-KTP Gamawan Fauzi Persekongkolan Proyek Rp 5,8 Triliun Deden Gunawan - detikNews Jakarta - Baru saja dimulai, proyek KTP Elektronik (e-KTP) sudah menuai kontroversi. Bau korupsi meruyap dari proyek yang digagas Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ini. Negara ditaksir merugi hingga Rp 1 triliun. Korupsi dalam proyek senilai Rp 5,8 triliun terjadi dalam proses lelang. Ada indikasi kuat, selama proses lelang terjadi persekongkolan agar tender dimenangkan konsorsium PT Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Dugaan persekongkolan itu dilaporkan Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), salah satu peserta tender yang kalah, ke panitia lelang e-KTP ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Proses lelang proyek e-KTP berlangsung pada 21 Februari- 1 Maret 2011. Saat itu ada 9 konsorsium yang ikut tender, yakni PNRI, Astra Grafia, Telkom, Berca, Peruri, Murakabi, Mega Global, Transtel, dan I-Forte. Saat prakualifikasi yang...