Mereposisi Akuntabilitas Lembaga Pengawas Internal Pemerintah
Oleh: Rudy M. Harahap
Media Indonesia merilis buruknya kinerja internal auditor di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, yaitu kinerja pada inspektorat jenderal dan badan pengawas daerah. Ditengarai, kinerja lembaga pengawas tersebut belum mampu mencegah timbulnya korupsi atau penyelewengan di lingkup aparatur pemerintahan. Padahal, menurut sebuah penelitian di Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2007, aparatur pemerintahan menempati peringkat tertinggi sebagai aktor korupsi (Media Indonesia, 25/3 2008).
Indikator rendahnya kinerja lembaga pengawas internal ini juga ditampakkan oleh KPK, di mana dari 7.000 pengaduan korupsi ke KPK pada 2007, ternyata tidak satu pun yang berasal dari lembaga pengawas internal pemerintah. Terkecuali, tentunya, yang berasal dari BPKP, dimana KPK telah membuat MOU khusus dengan lembaga ini.
Mandulnya lembaga pengawas internal ini ditengarai karena keberadaannya yang berada di bawah menteri/pimpinan lembaga atau gubernur/bupati/walikota. Karena itu, ada pemikiran untuk membuat mekanisme yang memungkinkan pertanggungjawaban lembaga pengawas internal tersebut langsung ke Presiden. Bahkan, dipandang perlu untuk menyatukan pertanggungjawaban lembaga tersebut dalam sebuah lembaga khusus.
Memang, sejak otonomi daerah, keberadaan lembaga pengawas internal yang berada di bawah kementerian/lembaga dan pemerintah daerah ini begitu powerful. Menurut informasi dari seorang rekan yang berada di sebuah inspektorat jenderal, banyak sekali penugasan pemeriksaan yang harus mereka lakukan.
Sayangnya, dalam hal ditemukannya kasus yang berindikasi korupsi, aparat pengawas internal pemerintah ini cenderung sungkan untuk menyampaikan masalahnya ke lembaga penegak hukum. Setiap permasalahan berindikasi tindak pidana cenderung diselesaikan di internal.
Saya pernah berbincang dengan pimpinan sebuah inspektorat jenderal kementerian yang masih sangat muda dan mempunyai idealisme pada waktu itu. Menurutnya, seorang menteri biasanya akan berfikir beberapa kali sebelum menyerahkan anak buahnya ke lembaga penegak hukum. Karena itu, biasanya langkah pertama yang dilakukan jika ditemukannya indikasi korupsi, menteri biasanya meminta pejabat yang terlibat membuat pernyataan untuk bersedia mengembalikan kerugian keuangan negara. Padahal, menurut UU Tindak Pidana Korupsi, penyelesaian perdata melalui penggantian kerugian negara tidak mengakibatkan hilangnya tuntutan pidana.
Permasalahan kedua, para aparat pengawas internal pemerintah biasanya kurang mempercayai lembaga penegak hukum. Menurut mereka yang pernah melimpahkan kasus yang ditemukannya berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata lembaga penegak hukum semacam kejaksaan justru malah banyak melakukan intrograsi ke aparat pemeriksa.
Menurut saya, memang dari posisinya pun lembaga pengawas internal pemerintah ini perlu diperkuat. Dalam pandangan saya, buruknya kinerja lembaga pengawas internal pemerintah ini karena akuntabilitas lembaga pengawas internal pemerintah saat ini masih belum jelas. Yang jelas, lembaga pengawas internal pemerintah tidak berakuntabilitas secara langsung ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena BPK adalah lembaga di luar pemerintah.
Akuntabilitas lembaga pengawas internal pemerintah ke depan mestinya diarahkan langsung ke Presiden. Akuntabilitas lembaga pengawas internal pemerintah ini harus menjadi bagian dari akuntabilitas Presiden. Sebab, rendahnya kinerja lembaga internal audit akan mengakibatkan secara langsung rendahnya kinerja Presiden.
Karena itu, perlu segera disusun sebuah sistem akuntabilitas Presiden yang memungkinkan sistem akuntabilitas lembaga pengawas internal pemerintah menjadi bagian terintegrasi (integrated) sistem akuntabilitas Presiden yang sudah mulai digagas belakangan ini di kalangan internal pemerintah.
*) Penulis adalah pengamat akuntabilitas dan transparansi.
Oleh: Rudy M. Harahap
Media Indonesia merilis buruknya kinerja internal auditor di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, yaitu kinerja pada inspektorat jenderal dan badan pengawas daerah. Ditengarai, kinerja lembaga pengawas tersebut belum mampu mencegah timbulnya korupsi atau penyelewengan di lingkup aparatur pemerintahan. Padahal, menurut sebuah penelitian di Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2007, aparatur pemerintahan menempati peringkat tertinggi sebagai aktor korupsi (Media Indonesia, 25/3 2008).
Indikator rendahnya kinerja lembaga pengawas internal ini juga ditampakkan oleh KPK, di mana dari 7.000 pengaduan korupsi ke KPK pada 2007, ternyata tidak satu pun yang berasal dari lembaga pengawas internal pemerintah. Terkecuali, tentunya, yang berasal dari BPKP, dimana KPK telah membuat MOU khusus dengan lembaga ini.
Mandulnya lembaga pengawas internal ini ditengarai karena keberadaannya yang berada di bawah menteri/pimpinan lembaga atau gubernur/bupati/walikota. Karena itu, ada pemikiran untuk membuat mekanisme yang memungkinkan pertanggungjawaban lembaga pengawas internal tersebut langsung ke Presiden. Bahkan, dipandang perlu untuk menyatukan pertanggungjawaban lembaga tersebut dalam sebuah lembaga khusus.
Memang, sejak otonomi daerah, keberadaan lembaga pengawas internal yang berada di bawah kementerian/lembaga dan pemerintah daerah ini begitu powerful. Menurut informasi dari seorang rekan yang berada di sebuah inspektorat jenderal, banyak sekali penugasan pemeriksaan yang harus mereka lakukan.
Sayangnya, dalam hal ditemukannya kasus yang berindikasi korupsi, aparat pengawas internal pemerintah ini cenderung sungkan untuk menyampaikan masalahnya ke lembaga penegak hukum. Setiap permasalahan berindikasi tindak pidana cenderung diselesaikan di internal.
Saya pernah berbincang dengan pimpinan sebuah inspektorat jenderal kementerian yang masih sangat muda dan mempunyai idealisme pada waktu itu. Menurutnya, seorang menteri biasanya akan berfikir beberapa kali sebelum menyerahkan anak buahnya ke lembaga penegak hukum. Karena itu, biasanya langkah pertama yang dilakukan jika ditemukannya indikasi korupsi, menteri biasanya meminta pejabat yang terlibat membuat pernyataan untuk bersedia mengembalikan kerugian keuangan negara. Padahal, menurut UU Tindak Pidana Korupsi, penyelesaian perdata melalui penggantian kerugian negara tidak mengakibatkan hilangnya tuntutan pidana.
Permasalahan kedua, para aparat pengawas internal pemerintah biasanya kurang mempercayai lembaga penegak hukum. Menurut mereka yang pernah melimpahkan kasus yang ditemukannya berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata lembaga penegak hukum semacam kejaksaan justru malah banyak melakukan intrograsi ke aparat pemeriksa.
Menurut saya, memang dari posisinya pun lembaga pengawas internal pemerintah ini perlu diperkuat. Dalam pandangan saya, buruknya kinerja lembaga pengawas internal pemerintah ini karena akuntabilitas lembaga pengawas internal pemerintah saat ini masih belum jelas. Yang jelas, lembaga pengawas internal pemerintah tidak berakuntabilitas secara langsung ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena BPK adalah lembaga di luar pemerintah.
Akuntabilitas lembaga pengawas internal pemerintah ke depan mestinya diarahkan langsung ke Presiden. Akuntabilitas lembaga pengawas internal pemerintah ini harus menjadi bagian dari akuntabilitas Presiden. Sebab, rendahnya kinerja lembaga internal audit akan mengakibatkan secara langsung rendahnya kinerja Presiden.
Karena itu, perlu segera disusun sebuah sistem akuntabilitas Presiden yang memungkinkan sistem akuntabilitas lembaga pengawas internal pemerintah menjadi bagian terintegrasi (integrated) sistem akuntabilitas Presiden yang sudah mulai digagas belakangan ini di kalangan internal pemerintah.
*) Penulis adalah pengamat akuntabilitas dan transparansi.
Komentar