Langsung ke konten utama

[PNS] Kontroversi Moratorium PNS Rhenald Kasali: Moratorium Bukan Solusi

 

Moratorium memang bukan solusi, tetap entry point untuk reform-red.

Senin, 29/08/2011 12:46 WIB

Deden Gunawan - detikNews


Jakarta - Selama ini pengeluaran negara banyak terkuras untuk gaji pegawai (PNS). dalam APBN 2012 saja alokasi anggaran untuk belanja pegawai mencapai Rp 215,7 triliun. Angka ini meningkat Rp 32,9 trilliun atau 18 % dari pagu APBN sebelumnya (2011), yang besarnya Rp 182,9 triliun.
Beban APBN makin berat, sebab pemerintah juga merencanakan menaikkan gaji pokok PNS, TNI, Polri dan pensiunan rata-rata 10 % pada 2012. Selain itu pemerintah tetap memberikan gaji dan pensiun bulan ke-13 bagi PNS, TNI, Polri dan pensiunan.
Kondisi ini semakin parah ketika pertumbuhan ekonomi di sejumlah daerah tidak mengalami pertumbuhan. Sehingga beban pemerintah daerah lebih banyak terserap untuk belanja pegawai. Bukan untuk belanja modal.
Akibatnya banyak pemda yang mengalami kebangkrutan lantaran anggarannya habis untuk bayar gaji pegawainya. Data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengungkapkan ada 124 Pemerintah Daerah yang terancam bangkrut gara-gara PNS.
Untuk mengatasi masalah tersebut tercetuslah sebuah gagasan untuk melakukan moratorium atau penghentian penerimaan PNS. Langkah ini diharapkan bisa mengirit anggaran yang selama ini jumlahnya selangit.
Tapi persoalannya, apakah cara ini bisa benar-benar menghemat anggaran negara. Atau justru berdampak lain terhadap daerah atau masyarakatnya?
Berikut petikan wawancara Deden Gunawan dari detik+ dengan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali :
Pemerintah mewacanakan akan melakukan moratorium penerimaan PNS. Apakah cara ini akan efektif menghemat APBN?
Saya rasa moratorium bukan sebuah solusi untuk menghemat anggaran. Sebab yang jadi persoalan adalah ketidakefektifan dalam penyerapan belanja negara untuk belanja pegawai. Akibat anggaran lebih banyak dialokasikan untuk para PNS yang tidak produktif. Sementara untuk PNS yang produktif sangat minim.
Harusnya diteliti dulu di bagian mana banyak terserap anggaran belanja pegawai. Setelah dipetakan, pemerintah kemudian memangkasnya di pos yang kurang produktif tersebut.
Ketimpangan inilah yang membuat pengeluaran dan pemasukan negara dari kinerja pemerintahan tidak seimbang. Dana lebih banyak untuk belanja pegawai dibanding pemasukan. Jadi moratorium itu harus dianalisa dulu secara seksama supaya tidak kontraproduktif.
Berarti moratorium PNS itu tidak akan berpengaruh terhadap penghematan anggaran negara?
Saya rasa tidak. Sebab perekrutan PNS baru sangat penting sebagai upaya penyegaran. Yang jadi masalah itu justru atasannya PNS yang kerjanya sudah tidak produktif lagi.
Kalau regenerasi sangat penting karena tenaga-tenaga muda sangat dibutuhkan. Mereka lebih menguasai teknologi atau IT sehingga bisa meningkatkan produktivitas. Sementara PNS yang sudah tua selain gagap teknologi juga banyak yang tidak produktif lagi.
Rusaknya PNS itu sebenarnya mulai terjadi sejak era reformasi. Di era ini banyak PNS yang bersifat tenaga kontrak untuk administrasi. Cara ini dilakukan untuk mem-backup pimpinan PNS yang tidak produktif Harusnya yang perlu dibenahi para pimpinan yang tidak produktif ini. Sementara PNS muda yang melek IT dan belum terkontaminasi dipromosikan jabatannya.
Jadi menurut saya moratorium itu kurang efektif menghemat anggaran. Malah bisa menimbulkan masalah lain.
Apa masalah lain yang akan timbul dari moratorium tersebut?
Masalah akan timbal dari dua sisi, yakni internal dan eksternal. Untuk internal, jika tidak ada penerimaan PNS baru bisa berakibat tidak adanya regenerasi. Padahal faktor usia bisa menentukan produktivitas.
Sedangkan dari eksternal, dikhawatirkan akan terjadi gelombang politik yang akan dimainkan oleh para politisi. Sebab kalangan muda sangat potensial untuk digerakan demi kepentingan politis.
Jadi moratorium itu tidak perlu dilakukan?
Memang ada baiknya tidak menerima PNS. Tapi kalau tidak sama sekali akan menimbulkan risiko yang juga lebih besar. Jadi sebenarnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah perampingan dengan memperhatikan downsizing dan right-sizing di tiap-tiap pos pemerintahan.
Dari pengamatan atau kajian bapak sebenarnya apa yang menjadi penyebab borosnya anggaran belanja pegawai?
Penyebab borosnya anggaran belanja pegawai karena sistem penggajiannya yang tidak beres. Gaji PNS kecil sementara variable income diberikan kepada pejabat yang pegang posisi.
Jadi patokan income berpatokan pada proyek. Dalam setiap pemberian proyek ada income-nya. Jadi anggaran itu lebih banyak tersebar untuk proyek-proyek pegawai.
Misalnya, ketika membangun suatu jembatan pegawainya disertakan untuk survei, guru dilibatkan untuk sertifikasi, pejabat jalan-jalan ke luar negeri lihat pameran dengan alasan survei. Yang ikutan banyak, setidaknya 10-40 orang. Mereka diberi fasilitas dan uang saku yang tidak sedikit.
Kegiatan-kegiatan inilah yang membuat anggaran membengkak. Jadi bukan karena gaji mereka anggaran belanja pegawai jadi besar. Tapi belanja untuk kegiatan yang tidak perlu yang membuat anggaran membengkak.
Jadi apa solusi untuk menghemat anggaran dari belanja pegawai?
Kalau wacana moratorium itu memang diperlukan. Tapi itu sebatas shock therapy saja sehingga masyarakat tidak menggantungkan cita-cita dengan menjadi PNS saja.
Namun yang juga harus dilakukan mengukur dampak politisnya. Sebab anak-anak muda ini merupakan target pemilih potensial. Mereka akan jadi incaran politisi yang berebut jabatan.
Selama ini ada anggapan di masyarakat bahwa menjadi PNS merupakan kebanggaan keluarga. Bagaimana untuk merubahnya?
Memang tidak dipungkiri di sejumlah daerah yang tidak ada kegiatan ekonominya, banyak anak muda yang berupaya menjadi PNS. Alasannya, kalau tidak jadi PNS tidak bergengsi. Padahal paradigma itu sebuah kemunduran.
Contohnya saja di Sumatera Barat, saat ini banyak anak mudanya yang tidak lagi tertarik untuk merantau. Mereka lebih banyak berharap menjadi PNS. Sehingga sekarang ini sangat jarang anak-anak muda di sana yang mau berdagang atau usaha lain. Akibatnya mereka menjadi beban negara.
Contoh lainnya di Pulau Buru. Di sana sebenarnya punya potensi untuk bisnis. Misalnya lobster, pangan. Tapi karena tidak dikelola dan dirangsang dengan baik, para pemuda di sana lebih memilih bersaing ikut Pilkada atau menjadi tim sukses dari para calon Pilkada.
Berarti peran Pemda sangat dibutuhkan untuk mengubah paradigma jadi PNS sebagai tujuan?
Betul. Harusnya menggalakkan program-program entrepreneurship. Misalnya lewat dinas pertanian, peternakan , perikanan, maupun pertambangan.
Masing-masing Pemda harus menggalakkan kegiatan entrepreneur di daerah masing-masing. Sehingga masyarakat usia kerja bisa tertarik berusaha dibanding jadi PNS.
Dengan cara seperti itu diharapkan kaum muda bisa menjadi entrepreneur yang bisa menggerakkan kegiatan ekonomi di daerahnya masing-masing. Kalau sudah begini, pelan-pelan belanja pemerintah untuk pegawai berkurang. Malah bisa jadi gaji PNS akan besar karena sudah jarang yang minat jadi PNS karena lebih memilih berbisnis.
Saat ini selain moratorium, pemerintah sudah menjalankan program pensiun dini di sejumlah instansi. Kira-kira mana yang lebih efektif untuk penghematan anggaran?
Kalau saya lebih setuju diterapkan pensiun dini. Sebab dampak politiknya dapat diukur. Selain itu dengan pensiun dini bisa menyaring PNS yang kurang produktif dan terkontaminasi, tidak disiplin, ketinggalam teknologi, cacat moral.
Kalau perlu dirangsang supaya PNS yang sudah tua tapi tidak produktif ditawarkan uang pensiun yang tinggi. Cara seperti ini jauh lebih efektif dibanding melakukan moratorium PNS.
(ddg/iy)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) ...

Internal Auditor dan Jasa Consulting

Pernyataan berikut sering muncul: “Bahwa BPKP itu fungsinya audit. Audit itu mencocokan apakah sesuatu sesuai dengan suatu standar tertentu. Jadi harus ada standardnya dulu. Kemudian ada pekerjaan atau proses melakukan sesuatu (yang diatur oleh standardnya) terlebih dulu. Baru kemudian bisa di audit. Oleh BPKP Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan? Nah kalau BPKP mendampingi … mestinya ya nggak tepat ??? Kapan meng-audit dan assessment-nya? Kalau ada yang menyimpang, yang salah yang menyimpang atau yang mendampingi?” Hal itu tidaklah salah total. Sebab, masyarakat awam selama ini sering menganggap bahwa kegiatan auditor hanyalah membandingkan antara apa yang diimplementasikan di lapangan dengan apa yang seharusnya. Kegiatan audit ini biasanya dikenal sebagai compliance audit yang sebenarnya hanyalah salah satu peran yang dapat diberikan oleh internal auditor sebagai bagian dari jasa assurance. Padahal, sebenarnya banyak kegiatan jasa assurance lainnya yang dapat diberikan auditor. Ar...

KENAPA SPBU PETRONAS GAGAL BERBISNIS DI INDONESIA?

Muncul publikasi di media tentang ditutupnya SPBU Petronas di Indonesia. Akhirnya, perusahaan unggul milik pemerintah Malaysia ini hengkang juga dari Indonesia. Sebenarnya, saya telah lama melihat keanehan SPBU Petronas ini. Setiap saya melewatinya, bisa dibilang hampir-hampir tidak ada pengunjungnya. Keanehan kedua, menurut saya, pemilihan lokasinya yang tidak tepat. Hal ini berbeda sekali dengan SPBU Shell. Walaupun harganya mahal mengikuti harga minyak dunia, SPBU milih Belanda ini masih memiliki pengunjung yang lumayan. Salah satu sebabnya adalah pemilihan lokasi yang tepat. Saya menjadi bertanya, kenapa perusahaan sekaliber Petronas bisa salah menempatkan SPBU-nya di Indonesia. Anehnya, Petronas dengan semangat langsung memasang jumlah pompa yang banyak. Bandingkan dengan SPBU Shell yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan pasar. Saya menduga ada 2 penyebab kesalahan strategi Petronas tersebut. Keduanya terkait perencanaan masuk ke pasar. Dugaan pertama saya, Petronas salah ...