Langsung ke konten utama

Mengetatkan Anggaran Perjalanan Dinas, Kebijakan yang Perlu Didukung Semua Pihak

Setelah menerapkan kebijakan memotong anggaran perjalanan dinas tahun 2013 sekitar sepuluh persen, pemerintah semakin menertibkan perjalanan dinas pegawai negeri. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/2012, sekarang ini tidak mudah lagi sebenarnya untuk “menghabiskan” anggaran perjalanan dinas. Sebab, salah satu sumber “kebocoran”, yaitu kegiatan konsinyir, rapat-rapat, seminar, atau sejenisnya yang memanfaatkan fasilitas hotel semakin diperketat.

Di masa lalu, setiap pegawai negeri dengan mudahnya menyerap anggaran perjalanan dinas dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka biasanya mengadakan konsinyir di kota-kota yang tidak terlalu jauh dari kota asalnya. Perjalanan dinas semacam ini juga ditengarai sebagai hal-hal yang mengada-ada. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya perjalanan dinas sering dianggap sebagai tambahan pendapatan pegawai negeri. Lebih ekstrim lagi, pendapatan tambahan itu dianggap sebagai kompensasi “kemiskinan” pegawai negeri.

Itulah sebabnya, anggaran perjalanan pegawai negeri sering menjadi bulan-bulanan politisi, LSM, dan pengamat sosial. Apalagi kalau sudah melibatkan perjalanan dinas politisi ke luar negeri. Isu ini menjadi selalu menarik untuk dikemas oleh media massa. Setiap hal yang negatif terkait perjalanan dinas aparat negara pasti akan menjadi layak berita di media massa.

Dengan kondisi tersebut, sangat tepat ketika pemerintah mengimplementasikan kebijakan yang semakin ketat terkait perjalanan dinas. Di negara seperti Papua Nugini pun perjalanan dinas semakin diperketat. Pemerintah Papua Nugini telah menerbitkan kebijakan atas perjalanan dinas ke luar negeri. Salah satu contohnya, perjalanan dinas ke luar negeri dari Papua Nugini untuk aparatnya harus melalui ijin perjalanan langsung dari perdana menteri. Di Indonesia, pengaturan seperti ini hanya untuk pejabat setingkat menteri atau pimpinan lembaga, yaitu melalui ijin presiden. Untuk level di bawahnya, tidak melalui ijin presiden, tetapi pejabat Sekretariat Negara.

Salah satu kebijakan ketat di Indonesia yang terkait dengan perjalanan dinas untuk rapat, seminar, dan sejenisnya itu adalah harus dilibatkannya unsur dari unit eselon I lainnya. Hal ini dimaksudkan agar perjalanan dinas semacam ini benar-benar adalah untuk hal-hal yang penting, yaitu melibatkan pihak dari satuan kerja lainnya. Artinya, memang benar-benar ada kepentingan untuk melakukan pembahasan dengan unit kerja lain dan bukan sekedar memindahkan penyelesaikan pekerjaan di kantor ke luar kota. Dengan demikian, setiap perjalanan dinas untuk kepentingan semacam ini akan semakin dipersulit. Tanpa adanya wakil dari satuan kerja lain, maka perjalanan dinas untuk kepentingan rapat, seminar, dan sejenisnya tidak bisa dilaksanakan.

Selain itu, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/2012, kini dokumen perjalanan dinas pun semakin ditertibkan. Sebagai contoh, untuk setiap perjalanan dinas yang mengundang pihak lain, pihak lain tersebut harus didukung dengan surat tugas dari unit asalnya. Unit pengundang tidak lagi diperkenankan menerbitkan surat tugas, tetapi cukup surat perjalanan dinas (SPD) yang mengacu kepada surat tugas tersebut.

Kebijakan ini memang akan menimbulkan efek besar ke pengeluaran perjalanan dinas. Namun, hal ini sebenarnya adalah keniscayaan. Setelah mulai menerapkan pembiayaan perjalanan dinas berbasis at cost dua tahun sebelumnya, kini pemerintah menerapkan kebijakan yang lebih ketat pada tata caranya. Hal ini adalah untuk merespon tekanan dari masyarakat. Jika ini dapat terus diimplementasikan, maka pemerintah semakin memiliki anggaran untuk membiayai belanja publik, seperti pembangunan jalan, jembatan, dan seterusnya. Artinya, pemerintah semakin memiliki anggaran belanja modal yang cukup.

Penerapan kebijakan ini tentu tidak selalu menyenangkan semua pihak. Apalagi bagi pegawai negeri yang belum menerapkan remunerasi dan terbiasa menjadikan anggaran perjalanan dinas sebagai pendapatan tambahannya. Namun, saya yakin, jika semua pihak mau mendukungnya, maka dalam jangka panjang pemerintah Indonesia akan semakin profesional dan kesejahteraan masyarakat dari hasil investasi pemerintah akan semakin mungkin direalisasikan.

Di sisi lain, harus diakui masih adanya keterbatasan regulasi yang ada, yaitu tidak sinkronnya peraturan yang ada. Pihak yang mengimplementasikan melihat adanya konflik antara Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/2012 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/2012. Hal ini mestinya segera ditangani. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/2012 yang dimotori oleh Direktorat Jenderal Anggaran mestinya fokus pada pembuatan referensi tarif, dan bukan tata-cara perjalanan dinas. Tata-cara perjalanan dinas harus mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/2012 yang dimotori oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. ***

 

Komentar

OBAMB mengatakan…
Selain tsb diatas, besarnya juga harus di "roso" bener ngak segitu besarnya untuk perharinya.
Karena selama ini ini gaji PNS maksimal Rp. 150.000,-/hari. Jadi kalau perjalanan dinas ya maksimal Rp. 300.000,- udah sangat sesuai dan patut. Tapi kenyataannya bisa sampai atau lebih besar Rp. 500.000,-./hari gak pake at cost lagi.

Terus batasi uang perjalanan dinas maksimal 2 - 2,5 % saja dari total APBN/APBD Prop/Kota/Kabupaten

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) ...

KENAPA SPBU PETRONAS GAGAL BERBISNIS DI INDONESIA?

Muncul publikasi di media tentang ditutupnya SPBU Petronas di Indonesia. Akhirnya, perusahaan unggul milik pemerintah Malaysia ini hengkang juga dari Indonesia. Sebenarnya, saya telah lama melihat keanehan SPBU Petronas ini. Setiap saya melewatinya, bisa dibilang hampir-hampir tidak ada pengunjungnya. Keanehan kedua, menurut saya, pemilihan lokasinya yang tidak tepat. Hal ini berbeda sekali dengan SPBU Shell. Walaupun harganya mahal mengikuti harga minyak dunia, SPBU milih Belanda ini masih memiliki pengunjung yang lumayan. Salah satu sebabnya adalah pemilihan lokasi yang tepat. Saya menjadi bertanya, kenapa perusahaan sekaliber Petronas bisa salah menempatkan SPBU-nya di Indonesia. Anehnya, Petronas dengan semangat langsung memasang jumlah pompa yang banyak. Bandingkan dengan SPBU Shell yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan pasar. Saya menduga ada 2 penyebab kesalahan strategi Petronas tersebut. Keduanya terkait perencanaan masuk ke pasar. Dugaan pertama saya, Petronas salah ...

INOVASI PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DENGAN QR CODE

Bagi pemerintah daerah, program efisiensi anggaran Presiden Prabowo telah memberikan tekanan yang keras. Mereka harus segera mampu membiayai sendiri pembangunan daerahnya masing-masing.  Jika mereka ingin tetap   bertahan ( sustain ) ke depan, mereka tidak bisa lagi bekerja dengan sistem ataupun kultur lama. Mereka harus segera berubah.  Untuk membiayai sendiri pembangunan daerah, mereka harus melakukan berbagai inovasi yang akan memungkinkan kemandirian fiskal daerah.  Jika hal itu tidak dilakukan, tentu Presiden Prabowo bisa memilih alternatif lain, seperti melakukan penggabungan ( merger ) pemerintah daerah yang tidak mandiri secara fiskal.  Sebab, dengan perubahan yang cepat di tingkat global, tidaklah mungkin jika ke depannya Pemerintah Pusat masih mempertahankan pemerintah daerah yang tidak mampu membiayai gaji dan tunjangan pegawainya secara mandiri. Hal ini sudah begitu membebani anggaran Pemerintah Pusat. Agar bisa bertahan dan mempunyai kemandiria...