Langsung ke konten utama

MEMIMPIN BRIGADE FISKAL DAERAH DI TENGAH KERASNYA TEKANAN FISKAL

Program efisiensi anggaran Presiden Prabowo telah menimbulkan tekanan yang demikian keras kepada pemerintah daerah. Karenanya, jika ingin tetap bertahan dari tekanan tersebut, pemerintah daerah harus memiliki kepemimpinan Brigade Fiskal Daerah.

Setelah keberadaan Brigade Pangan Daerah, kepemimpinan Brigade Fiskal Daerah akan memungkinkan pemerintah daerah membiayai sendiri pembangunan daerah, termasuk untuk membayar gaji dan tunjangan pegawai pemerintah daerah secara mandiri.

Jika hal tersebut tidak dilakukan, Presiden Prabowo dapat memilih alternatif lain, seperti menggabung (merger) pemerintah daerah yang tidak mampu mandiri. Kemungkinan ini juga telah diungkapkan oleh Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda dalam suatu wawancara dengan media elektronik.

Penyebabnya, dengan perubahan yang cepat di tingkat global, terjadinya perang di beberapa wilayah, dan kebijakan Trump, Pemerintah tidak lagi dapat mempertahankan pemerintah daerah yang tidak mampu membiayai gaji dan tunjangan pegawainya secara mandiri, yang sudah begitu membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Bagaimanakah bentuk kepemimpinan Brigade Fiskal Daerah tersebut? Kepemimpinan tersebut bisa dalam beberapa bentuk berikut.

Pertama, kepemimpinan dalam menggali potensi pendapatan daerah.

Agar dapat meningkatkan kemampuan fiskalnya, pemerintah daerah harus memiliki kepemimpinan dalam menggali berbagai potensi pendapatan daerah. Salah satu potensi pendapatan daerah yang dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah pendapatan asli daerah (PAD).

Sayangnya, bukti menunjukkan bahwa kemampuan daerah dalam menggali atau mengumpulkan PAD (local taxing power) sangat rendah, yaitu berkisar 1,3 persen, sedangkan tahun 2029 ditargetkan menjadi 2,9 persen, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2024-2029.

Selain itu, berdasarkan analisis postur Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) tahun 2024 oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), kontribusi PAD atas pendapatan daerah belum begitu berperan, yaitu hanya sekitar 28,7%, sedangkan transfer dari Pemerintah Pusat ke pemerintah daerah berkontribusi sekitar 65,7% dari pendapatan daerah.

Kedua, kepemimpinan dalam inovasi layanan perpajakan dan retribusi daerah.

Pemerintah daerah membutuhkan kepemimpinan dalam inovasi layanan perpajakan dan retribusi daerah karena belum banyak pemerintah daerah yang melakukan inovasi pemungutan PAD, seperti inovasi pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB) setelah dialihkan ke pemerintah daerah tahun 2010 berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (UU PDRD).

Buktinya, kontribusi PBB terhadap PAD pada pemerintah daerah di Indonesia masih sangat rendah, dengan persentase yang bervariasi. Memang, beberapa pemerintah daerah yang berada di Pulau Jawa dan kota-kota besar sudah berhasil memungut sebesar 20 persen PBB dari total PAD, tetapi pemerintah daerah lainnya baru mencapai di bawah 10 persen.

Untuk itu, pemerintah daerah harus melakukan inovasi berbagai layanan perpajakan dan retribusi daerah. Sebagai contoh, Pemerintah Kota Tangerang Selatan telah melakukan inovasi pada layanan PBB dengan menggunakan QR Code.

Baru-baru ini mereka menerbitkan tagihan PBB berupa Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT-PBB) tahun 2025 dengan QR Code yang memungkinkan masyarakat mendapatkan informasi aktivitas pembayaran mereka dan juga tunggakan beberapa tahun ke belakang (jika ada). 

Hal tersebut juga akan membantu masyarakat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan baik. Selain itu, masyarakat juga tidak perlu lagi menggunakan "oknum perantara" untuk mengetahui tunggakan PBB, yang biasanya diperlukan untuk kepentingan pengurusan jual-beli tanah dan bangunan.

Salah satu momok saat ini adalah ketika ingin melakukan jual-beli tanah dan bangunan, para notaris mensyaratkan pelunasan PBB. Biasanya, penjual akan diminta biaya tambahan lagi untuk mengecek tunggakan tersebut dan kemudian melakukan pembayaran sesuai dengan nilai tunggakannya.

Jelas, di sisi pemerintah daerah, inovasi penggunaan QR Code tersebut akan meningkatkan PAD secara langsung. Sebab, masyarakat akan langsung mengetahui tunggakan beberapa tahun sebelumnya yang bisa jadi sudah menumpuk dan kemudian langsung melakukan pembayaran secara online lewat perangkat mobile mereka. Inilah bentuk nyata inovasi peningkatan PAD. 

Sayangnya, alih-alih melakukan inovasi layanan perpajakan dan retribusi daerah, ternyata banyak pemerintah daerah yang masih menggunakan sistem aplikasi PBB dan format SPPT-PBB lama ketika PBB ini dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak. 

Kenapa inovasi SPPT-PBB dengan QR Code tersebut penting? Sebab, ketika masih dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak, SPPT-PBB sering didistribusikan melalui kepala desa atau kelurahan. Ternyata, walaupun masyarakat diberikan peluang membayar secara online setelah menerima SPPT-PBB tersebut, banyak masyarakat yang justru menitipkan pembayaran PBB mereka ke petugas desa atau kelurahan karena tempat pembayaran yang jauh.

Sialnya, banyak sekali titipan pembayaran tersebut yang tidak disetorkan oleh petugas desa atau kelurahan ke tempat pembayaran. Akibatnya, masyarakat tidak terlalu mengetahui apakah terjadi pembayaran atau masih ada tunggakan atas PBB mereka.

Memang, beberapa pemerintah daerah sudah ada yang berinovasi menginformasikan tunggakan tersebut, tetapi tanpa QR Code. Sebagai contoh, SPPT-PBB Pemerintah Kota Tangerang tahun 2022 sudah menampilkan daftar tunggakan PBB.

Kelemahannya, lembar SPPT-PBB tersebut menjadi panjang ketika menampilkan daftar tunggakan selama 10 tahun. Bahkan, bisa menjadi lampiran tersendiri.

Ketiga, kepemimpinan yang menutup peluang korupsi layanan perpajakan dan retribusi daerah.

Peluang korupsi karena birokrasi layanan perpajakan dan retribusi daerah yang rumit harus dihindari. Sebagai contoh, di sebuah desa di Kabupaten Serang beberapa warga kini tidak lagi menerima SPPT-PBB secara rutin melalui kepala desa.

Rupanya, hal tersebut terjadi pada masyarakat yang memiliki tunggakan PBB lebih dari dua tahun, yaitu SPPT-PBB mereka akan dinonaktifkan dan tidak disampaikan melalui kepala desa. Konsekuensinya, mereka harus datang langsung ke kantor Bapenda Kabupaten Serang untuk mengaktifkannya kembali. Bahkan, mereka akan diminta untuk mengurus surat keterangan dari kepala desa.

Birokrasi layanan perpajakan dan retribusi daerah semacam itu akan menimbulkan kesulitan bagi masyarakat dan malah menimbulkan peluang atau risiko korupsi. Hal ini juga akan memunculkan peluang bagi oknum tertentu untuk mengambil keuntungan, yang memenuhi salah satu unsur tindak pidana korupsi.

Keempat, kepemimpinan dengan langkah inovasi lainnya.

Inovasi SPPT-PBB dengan QR Code perlu direplikasi ke pemerintah daerah lainnya, dan bahkan mesti menjadi standar nasional. Karenanya, Kementerian Dalam Negeri perlu memberikan panduan baru agar inovasi dengan pemanfaatan QR Code dalam meningkatkan pendapatan daerah menjadi standar nasional yang diterapkan di seluruh pemerintah daerah.

Sambil menunggu standar nasional tersebut, masing-masing pemerintah daerah dapat segera menjalankan langkah inovasi lainnya, berupa pengamatan, peniruan, dan jika perlu modifikasi sesuai dengan konteks daerahnya masing-masing. 

Sebagai contoh, inovasi bisa dilakukan oleh pemerintah daerah atas sistem layanan perubahan nama SPPT-PBB, yaitu masyarakat dapat mengajukan perubahan nama di SPPT-PBB secara online dan kemudian dilakukan perubahan atas SPPT-PBB. Sebab, banyak SPPT-PBB saat ini yang masih atas nama developer atau nama pemilik lama dan belum diubah ke pemilik barunya.

Bahkan, dari hasil Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), banyak masyarakat yang sudah memperoleh sertifikat tanah dengan ukuran baru yang berbeda dari yang tercantum di SPPT-PBB. Data di SPPT-PBB harus disesuaikan dengan data hasil PTSL ini. Karenanya, kegiatan tambahan berupa rekonsiliasi dan pemutakhiran data harus dilakukan.

Intinya, peningkatan pendapatan daerah harus terus dilakukan melalui kepemimpinan Brigade Fiskal Daerah. Hal ini akan memungkinkan pemerintah daerah semakin mandiri, tidak terus-menerus "menyusu" ke Pemerintah Pusat.***

Dipublikasikan di https://pontianakpost.jawapos.com/opini/1465966397/memimpin-brigade-fiskal-daerah-di-tengah-kerasnya-tekanan-fiskal

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) ...

Internal Auditor dan Jasa Consulting

Pernyataan berikut sering muncul: “Bahwa BPKP itu fungsinya audit. Audit itu mencocokan apakah sesuatu sesuai dengan suatu standar tertentu. Jadi harus ada standardnya dulu. Kemudian ada pekerjaan atau proses melakukan sesuatu (yang diatur oleh standardnya) terlebih dulu. Baru kemudian bisa di audit. Oleh BPKP Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan? Nah kalau BPKP mendampingi … mestinya ya nggak tepat ??? Kapan meng-audit dan assessment-nya? Kalau ada yang menyimpang, yang salah yang menyimpang atau yang mendampingi?” Hal itu tidaklah salah total. Sebab, masyarakat awam selama ini sering menganggap bahwa kegiatan auditor hanyalah membandingkan antara apa yang diimplementasikan di lapangan dengan apa yang seharusnya. Kegiatan audit ini biasanya dikenal sebagai compliance audit yang sebenarnya hanyalah salah satu peran yang dapat diberikan oleh internal auditor sebagai bagian dari jasa assurance. Padahal, sebenarnya banyak kegiatan jasa assurance lainnya yang dapat diberikan auditor. Ar...

KENAPA SPBU PETRONAS GAGAL BERBISNIS DI INDONESIA?

Muncul publikasi di media tentang ditutupnya SPBU Petronas di Indonesia. Akhirnya, perusahaan unggul milik pemerintah Malaysia ini hengkang juga dari Indonesia. Sebenarnya, saya telah lama melihat keanehan SPBU Petronas ini. Setiap saya melewatinya, bisa dibilang hampir-hampir tidak ada pengunjungnya. Keanehan kedua, menurut saya, pemilihan lokasinya yang tidak tepat. Hal ini berbeda sekali dengan SPBU Shell. Walaupun harganya mahal mengikuti harga minyak dunia, SPBU milih Belanda ini masih memiliki pengunjung yang lumayan. Salah satu sebabnya adalah pemilihan lokasi yang tepat. Saya menjadi bertanya, kenapa perusahaan sekaliber Petronas bisa salah menempatkan SPBU-nya di Indonesia. Anehnya, Petronas dengan semangat langsung memasang jumlah pompa yang banyak. Bandingkan dengan SPBU Shell yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan pasar. Saya menduga ada 2 penyebab kesalahan strategi Petronas tersebut. Keduanya terkait perencanaan masuk ke pasar. Dugaan pertama saya, Petronas salah ...