Langsung ke konten utama

Tantangan Berbagai Pengukuran dan Penilaian Governance System dan SPBE Pemerintah Daerah

Dalam governance system, accountability biasanya menjadi beban kolektif dan tidak bisa menjadi beban satu jabatan atau satu orang. Karena itu, kita mengenal adanya governing board

Sementara itu, responsibility biasanya dibebankan pada satu jabatan sesuai dengan tingkatan hirarki, yang biasanya menjadi tanggung jawab manajemen atau executive team, dari tingkatan junior, middle, sampai dengan senior

Karena itu, penting sekali ketika mengukur (measure) atau menilai (assess) suatu governance system (seperti Opini Auditor atas Laporan Keuangan, SAKIP, RB, SPIP, ZI/WBK/WBBM, MCP, Sistem Integritas, dan SPBE), kita mengidentifikasi terlebih dahulu governing board yang biasanya collective itu. Lebih jelasnya, kita harus mengidentifikasi siapa yang harus accountable, yang berbeda dengan siapa yang responsible.

Lebih tegasnya lagi, jika kita menggunakan framework three lines of model (LOM) dari the Institute of Internal Auditor (IIA), governing body harus diidentifikasi secara hati-hati. Sebab, kondisinya tidak sama antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.

Governing body itu bisa dalam bentuk formal yang tampak dalam struktur organisasi atau informal dalam bentuk tim pengarah pada berbagai Keputusan tambahan di organisasi.

Sebagai contoh, ketika mengukur kematangan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), governing body ini bisa dilihat di Keputusan Tim Koordinasi SPBE masing-masing organisasi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (KLP).

Tantangan Pengukuran dan Penilaian

Yang jadi masalah saat ini pada berbagai model pengukuran atau penilaian governance system di Indonesia, ketika mengukur atau menilai kita tidak memahami adanya level atau tingkatan pengukuran atau penilaian yang berbeda, terutama pada Pemerintah Daerah, yaitu keberadaan level organisasi dan level negara. 

Harus dipahami, pada level negara terdapat dua governance system yang setingkat, yaitu governance system negara federal (kadang disebut national atau commonwealth governance system) dan governance system negara bagian (kadang disebut state atau provincial governance system, termasuk kabupaten/kota sebagai local government).

Sebagai contoh, KL berada pada level organisasi. Level negaranya sendiri adalah Pemerintah Pusat (PP). Karenanya, dalam rejim atau regulasi keuangan negara, di lingkup nasional kita mengenal adanya Laporan Keuangan (LK) KL dan LKPP. Itu sebabnya LKPP bukan merupakan kompilasi atau agregasi dari LKKL. Jika terdapat suatu LKKL yang buruk, tidak otomatis kita bisa mengklaim LKPP pun buruk.

Jika konsisten, di lingkup daerah, mestinya kita mengukur atau menilai governance system pada level Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sebagai sebuah organisasi yang setingkat dengan KL. Jadi, kita tidak hanya mengukur atau menilai governance system pada level Pemerintah Daerah saja karena Pemerintah Daerah sebenarnya sebuah level negara (bagian) yang setingkat dengan governance system Pemerintah Pusat. Karena itu, mestinya kita mengenal adanya LKOPD dan LKPD.

Argumentasinya jelas, Pemerintah Daerah memiliki governance system tersendiri yang mandiri atau otonom yang mengatur mereka. Misalnya, mereka memiliki governing body yang paling tidak terdiri dari kepala daerah, dewan perwakilan rakyat daerah, forum komunikasi pimpinan daerah, dan satuan tugas (taskforce) atau komite yang independen dari Pemerintah Pusat. Karena itu, ketika mengukur atau menilai governance system mereka, kita mestinya memperhatikan adanya keberadaan dua level ini, yaitu level OPD dan level PD.

Sebagaimana diuraikan sekilas, dalam konteks Indonesia saat ini, sebenarnya kita sudah mulai mengakui keberadaan level Pemerintah Daerah sebagai sebuah negara bagian jika lihat dari governance system pada rejim atau regulasi pengelolaan keuangan negara/daerah.

Pada rejim perencanaan pun, pada praktiknya di lapangan, kewenangan perencanaan di Pemerintah Daerah berada pada masing-masing OPD. Pada praktiknya, unit perencanaan di Pemerintah Daerah--seperti Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) atau nama lain--lebih berfungsi sebagai koordinator perencanaan, semacam line kedua di LOM.

Peluang Pengembangan ke Depan

Governance system lingkup keuangan di Pemerintah Daerah sudah semakin berjalan di Indonesia  karena kita mulai mengakui keberadaan Pemerintah Daerah sebagai level negara (bagian) yang setingkat dengan negara. Kita mengenal adanya LKPD yang setingkat dengan LKPP beserta keberadaan hasil audit berupa opini auditor atas LKPD yang independen dari LKPP.

Hanya saja, masalahnya, pada berbagai model pengukuran atau penilaian governance system lainnya di Indonesia, kita (secara sadar atau tidak sadar) tidak mengakui keberadaan governance system Pemerintah Daerah yang mandiri tersebut. 

Hal itulah yang menyebabkan berbagai model pengukuran atau penilaian governance system di Indonesia gagal mengukur kondisi real governance system Pemerintah Daerah. Karenanya, ke depan kita harus melakukan reformasi radikal (radical reform) berbagai model pengukuran atau penilaian governance system yang ada di Indonesia, yaitu dengan mengakui keberadaan level organisasi dan level negara pada pengukuran atau penilaian governance system di Pemerintah Daerah.

Sebagai contoh, sebagaimana diuraikan sebelumnya, mestinya atas governance system keuangan Pemerintah Daerah kita mengenal adanya LKOPD selain LKPD yang diikuti adanya opini auditor atas LKOPD selain LKPD. Ini jika kita konsisten mengakui keberadaan opini auditor atas LKKL (level organisasi) dan opini auditor atas LKPP (level negara).

Begitu juga jika kita konsisten (dan mempunyai keinginan semakin berhasil) mengukur atau menilai kematangan atau efektivitas governance system SPBE di Pemerintah Daerah. Mestinya, kita mengembangkan skoring maturitas atau efektivitas SPBE level OPD dan SPBE level PD. Sebab, skor SPBE PD tidaklah otomatis merupakan agregasi, penjumlahan, atau rata-rata dari skor SPBE OPD. 

Intinya, kita harus mengakui konsep atau idea berbagai model pengukuran atau penilaian governance system di Indonesia masih kurang berterima di Pemerintah Daerah karena kita sebagai orang pusat di Jakarta gagal memahami bahwa Pemerintah Daerah pada dasarnya adalah sebuah negara bagian yang setingkat governance system-nya dengan level negara.

Untuk memahami lebih jauh pemikiran ini, kita bisa menonton film “Max Havelaar” yang akan membuka mata kita kita tentang governance system pusat (VOC/Pemerintah Hindia Belanda yang bermetamorfosis menjadi Pemerintah Pusat) yang berbeda dengan governance system daerah (Bupati Lebak pada waktu itu) pada link https://youtu.be/teDbp-QsjGI

Atau, lebih banyak orang KL didistribusikan ke Pemerintah Daerah, terutama pada jabatan tingginya, untuk memahami pemikiran ini.***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) hanya untuk ke