Langsung ke konten utama

Kebiasaan Buruk Rapat

Dengan perkembangan teknologi saat ini, kita sering tidak sadar bagaimana menggunakan teknologi yang tepat pada saat rapat. Sebagai contoh, pengunaan notebook. Kita sering menjumpai peserta rapat yang sibuk dengan gadget-nya masing-masing. Bahkan, di banyak daerah, saya melihat ketika pimpinan memberikan pengarahan pun banyak peserta yang asyik dengan notebook-nya masing-masing.

Bagi pimpinan yang tidak mengetahui penggunaan teknologi informasi yang tepat, mereka berberfikir bahwa anak buahnya itu sedang mencatat arahannya. Padahal, tidaklah demikian. Mereka sedang asyik mengakses internet atau mengerjakan hal lain yang tidak terkait langsung dengan topik rapat. Atau bahkan merupakan pengalihan dari ketidaktertarikan mereka dengan arahan pimpinan.

Pada lingkungan kerja saat ini, memang multi-tasking adalah hal yang tidak terhindarkan. Teknologi memungkinkan manusia mengerjakan banyak hal pada waktu yang sama. Buruknya, kualitas kerja pun menjadi kurang diperhatikan. Manusia banyak yang tidak fokus dalam bekerja. Mereka kurang bisa meresapi secara mendalam hal-hal yang dikerjakannya. Manusia cenderung cepat berpindah dari topik yang satu ke topik yang lain. Hal ini pun juga merembet ke pemberitaan di media. Media cenderung saat ini mudah berpindah dari isu yang satu ke isu lain. Akhirnya, tidak ada penyelesaian terhadap isu yang pernah diangkat.

Penggunaan teknologi yang tidak tepat mengakibatkan banyak rapat yang tidak efektif. Rapat pun hanya menjadi ajang seremonial. Rapat yang semestinya ditujukan untuk menghasilkan sesuatu yang bersifat kolaboratif, bersama-sama, akhirnya hanya menjadi ajang untuk bekerja sendiri-sendiri. Yang membedakan dengan bekerja tanpa di ruang rapat adalah adalah mereka berada pada ruang yang sama, tetapi tidak secara khusus untuk menuntaskan masalah bersama.

Sebenarnya, penggunaan teknologi yang tidak tepat ini pun sudah berlangsung lama. Jauh sebelum adanya teknologi komputer. Kalau Anda perhatikan, hal ini juga terjadi pada waktu penggunaan buku kerja atau agenda dengan tulisan tangan. Perhatikanlah bahwa banyak peserta rapat hanya mencatat hal-hal yang disampaikan pimpinannya. Rapat yang mestinya dua arah, akhirnya hanya dialog satu arah, monolog.

Kebiasaan mencatat ketika rapat sebenarnya juga merupakan upaya seseorang memproteksi dirinya agar terhindar berkomunikasi atau berdialog langsung dengan pimpinannya. Pada umumnya karena dibentuk oleh budaya feodalisme mereka takut bertatapan mata langsung dengan pimpinannya. Padahal, pada suatu rapat dibutuhkan dialog dua arah, bukan monolog. Dialog ini dapat dibangun jika masing-masing pihak bertatapan muka secara langsung. 

Buku kerja atau agenda adalah salah satu teknologi yang salah digunakan. Manusia menggunakannya secara tidak tepat. Pimpinan rapat pun melihatnya sebagai hal yang baik ketika semua stafnya pada saat rapat mencatat. Padahal, kegiatan mencatat itu adalah pengalihan dari kesungkanan mereka berdialog dengan pimpinan rapat. 

Karena itulah, saya termasuk malas mengikut rapat. Jika isi rapat tidak ada dialog, maka rapat menjadi membosankan. Para pihak tidak bisa saling mengkonfirmasi apa yang disampaikan oleh masing-masing pihak. Saya lebih bersedia mengikut rapat yang isinya ada dialog. Agar dialog ini dapat berjalan, maka berbagai penggunaan teknologi harus diminimalkan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015  ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan ( rules-oriented)  menjadi berorientasi kinerja ( performance-oriented). Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif ( administrative control ) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil ( results control ). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja  (Hartanto, 2018) . Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Ber kal -kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya ( resources ) ...

KENAPA SPBU PETRONAS GAGAL BERBISNIS DI INDONESIA?

Muncul publikasi di media tentang ditutupnya SPBU Petronas di Indonesia. Akhirnya, perusahaan unggul milik pemerintah Malaysia ini hengkang juga dari Indonesia. Sebenarnya, saya telah lama melihat keanehan SPBU Petronas ini. Setiap saya melewatinya, bisa dibilang hampir-hampir tidak ada pengunjungnya. Keanehan kedua, menurut saya, pemilihan lokasinya yang tidak tepat. Hal ini berbeda sekali dengan SPBU Shell. Walaupun harganya mahal mengikuti harga minyak dunia, SPBU milih Belanda ini masih memiliki pengunjung yang lumayan. Salah satu sebabnya adalah pemilihan lokasi yang tepat. Saya menjadi bertanya, kenapa perusahaan sekaliber Petronas bisa salah menempatkan SPBU-nya di Indonesia. Anehnya, Petronas dengan semangat langsung memasang jumlah pompa yang banyak. Bandingkan dengan SPBU Shell yang jumlahnya sesuai dengan kebutuhan pasar. Saya menduga ada 2 penyebab kesalahan strategi Petronas tersebut. Keduanya terkait perencanaan masuk ke pasar. Dugaan pertama saya, Petronas salah ...

INOVASI PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DENGAN QR CODE

Bagi pemerintah daerah, program efisiensi anggaran Presiden Prabowo telah memberikan tekanan yang keras. Mereka harus segera mampu membiayai sendiri pembangunan daerahnya masing-masing.  Jika mereka ingin tetap   bertahan ( sustain ) ke depan, mereka tidak bisa lagi bekerja dengan sistem ataupun kultur lama. Mereka harus segera berubah.  Untuk membiayai sendiri pembangunan daerah, mereka harus melakukan berbagai inovasi yang akan memungkinkan kemandirian fiskal daerah.  Jika hal itu tidak dilakukan, tentu Presiden Prabowo bisa memilih alternatif lain, seperti melakukan penggabungan ( merger ) pemerintah daerah yang tidak mandiri secara fiskal.  Sebab, dengan perubahan yang cepat di tingkat global, tidaklah mungkin jika ke depannya Pemerintah Pusat masih mempertahankan pemerintah daerah yang tidak mampu membiayai gaji dan tunjangan pegawainya secara mandiri. Hal ini sudah begitu membebani anggaran Pemerintah Pusat. Agar bisa bertahan dan mempunyai kemandiria...