Seperti tidak pernah usang, penumpang KRL Jabodetabek selalu mengeluh tentang layanan KRL. Padahal, beberapa tahun belakangan ini KRL sudah dikelola secara terpisah dari PT KAI. Kini KRL Jabodetabek dikelola oleh PT KAI Commuter Jabodetabek. Hanya saja, memang apa yang mesti dikelola oleh masing-masing pihak tampaknya belum terdefinisikan dengan jelas. Akibatnya, jika terjadi permasalahan, penanganannya menjadi sangat lambat. Hal ini dipersulit lagi ketika PT KAI Commuter Jabodetabek mesti berurusan dengan instansi lain terkait pengelolaan perkeretaapian. Sebagai contoh, ketika sebuah pohon tumbang di sebuah jalur, biasanya mereka akan meminta bantuan pemerintah setempat dalam penanganannya. Selain itu, belum tampak adanya unit Emergency Response Team yang bisa bergerak dengan cepat.
Beberapa hari ini, kita bisa lihat, ketika terjadi putusnya sebuah jalur listrik antara Tanah Abang – Serpong, tampak begitu lambatnya penanganan pengelola KRL. Memang, permasalahan jalur tentu bukan hanya tanggung-jawab PT KAI Commuter Jabodetabek, tetapi juga KAI dan bahkan Kementerian Perhubungan. Namun, hal ini telah mengakibatkan keluhan bertubi-tubi dari pelanggan. Kita bisa mengikuti keluhan itu dari account twitter @KRL_Jabodetabek dan @KRLMania. Pelanggan paling sering menyuarakan kesenggaraan yang mereka rasakan melalui account ini. Sayangnya, tidak ada sedikit pun permintaan maaf dari manajemen PT KAI Commuter Jabodetabek ataupun PT KAI dan Kementerian Perhubungan melalui media sosial.
Pengelola KRL tampaknya tidak menyadari bahwa pengaruh media sosial itu sudah sangat besar. Jika sebuah organisasi tidak bisa merespon dengan baik, maka citranya akan semakin buruk. Padahal, sudah banyak pihak yang mengerti tentang pentingnya optimalisasi media sosial. Bahkan, Pilkada DKI yang baru dimenangkan Jokowi beberapa waktu lalu baru disadari oleh lawannya Foke adalah pengaruh dari optimalisasi media sosial.
Memang, penggunaan media sosial tidaklah cukup. Agar tidak dikesankan hanya unggul dalam pencitraan, pengelola KRL harus membangun sistem backoffice yang kuat. Sebagai contoh, jalur listrik untuk beroperasinya KRL itu sebenarnya tidak terhindarkan akan terganggu karena penggunaan yang terus menerus. Bisa dalam bentuk ada perangkat yang menyangkut atau bahkan terputus. Namun, pengelola KRL mesti menyiapkan rencana kontinjensi yang handal. Mestinya, ketersediaan perangkat cadangan sudah harus menjadi standar pengelola KRL.
Perangkat cadangan itu bisa disediakan dalam bentuk standby untuk segera dapat diaktifkan ataupun hanya tersimpan pada suatu tempat untuk dapat segera di[pasang dan diaktifkan sewaktu-waktu. Bentuk pertama biasanya adalah yang paling canggih. Sebagai contoh, pada jalur listrik. Mestinya, jalur listrik untuk mendukung operasi KRL itu tidak hanya 2 jalur. Sebab, jalur yang rutin digunakan sudah 2 jalur. Pengelola KRL mestinya membangun 1 jalur cadangan yang dapat digunakan sewaktu-waktu jika salah satu dari 2 jalur yang ada terganggu.
Memang, pendekatan sistem cadangan model pertama itu akan sangat mahal. Pengelola KRL harus melakukan investasi yang cukup besar. Akan tetapi, jika kita bandingkan dengan ketersediaan layanan dan potensi pendapatan dari penumpang, nilai tersebut sebenarnya tidak signifikan. Sayangnya, karena salah dalam pengelolaan di manajemen yang lama, mereka tidak mempunyai anggaran untuk investasi tersebut. Karena itu, yang paling bisa dilakukan adalah dengan menyiapkan pilihan kedua.
Pada sistem cadangan model kedua, mestinya pengelola KRL memiliki gudang-gudang di dekat jalur KRL. Gudang-gudang ini menyimpan perangkat cadangan yang diperlukan. Dengan demikian, ketika terjadi putusnya sebuah jalur kabel, langsung bisa diganti dari stok yang ada di gudang terdekat. Pengelola KRL bisa mencontoh model ini dari pengelola penerbangan, seperti PT Garuda Indonesia. Mereka memiliki cadangan stok yang tersebar di berbagai negara.
Jika sistem cadangan ini bisa diterapkan, saya yakin pengelola KRL bisa dapat segera merespon setiap permasalahan dengan cepat. Bagi pelanggan, sebenarnya yang menjadi perhatian bagi mereka bukan soal adanya permasalahan, tetapi bagaimana sebuah organisasi bisa merespon dengan cepat atas permasalahan yang muncul.
Komentar
FYI, KAI mempunyai UPT pemeliharaan yang tersebar di wilayahnya. Masing-masing UPT juga mempunyai gudang kerja.
Untuk melengkapi gudang kerja ini dengan material dan alat kerja diperlukan investasi yang tidak sedikit, yang sayangnya tidak dipenuhi oleh pemerintah melalui subsidi dan ketika diupayakan melalui kenaikan tarif ditentang keras oleh pengguna.
Pendapat anda mencerminkan ketidaktahuan anda (atau kesoktahuan anda?), tetapi memang komentar dari luar sistem memang selalu dan pasti lebih mudah daripada menghadapi fakta dan keterbatasan yang ada secara langsung.
Mengenai SAP, masih dalam masa transisi dari sistem lama. Perlu waktu. Anda orang akuntansi kan?
Sepanjang Anda masih meng-underestimate pengetahuan customer tentang organisasi Anda, Anda tidak akan bergerak ke mana-mana.
Untuk masalah pelayanan, point of view dari luar tetap kami butuhkan, jadi sbg contoh direksi kami ada yg bukan dari internal KAI.
Tapi it's okay saya akan baca, sekedar menambah wawasan. Mungkin saya akan teruskan ke teman saya di lain bagian yang berhubungan langsung dengan pelanggan.
Just remember, untuk urusan teknis, saya sarankan anda cari dulu referensi yang lengkap. Thanks
Mengenai kinerja, bisa jadi anak perusahaan mengikuti induknya. Tapi ada contohnya lho, anak perusahaan bisa 'lebih' daripada induknya. Misal tekomsel dengan telkom. Barangkali bisa dijadikan referensi