Langsung ke konten utama

MANAJEMEN KINERJA: MENGGUNAKAN SISTEM PENGENDALIAN SECARA STRATEGIS SEBAGAI ‘REM’ DAN ‘GAS’ DI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Secara regulasi, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015 ternyata telah mengarahkan perubahan birokrasi kita dari yang dulunya kebanyakan berorientasi pada peraturan (rules-oriented) menjadi berorientasi kinerja (performance-oriented).

Dengan kata lain, regulasi kita telah mengarahkan agar kita berubah dari tadinya lebih menekankan pada pengendalian administratif (administrative control) menjadi lebih menekankan pada pengendalian hasil (results control). Namun, nyatanya, masih banyak yang ragu-ragu dan mempertanyakan apakah kita mesti lebih berorientasi pada peraturan atau lebih berorientasi pada kinerja (Hartanto, 2018).

Keraguan terkait orientasi tersebut konsisten dengan keluhan beberapa kali Presiden Joko Widodo ketika melihat perilaku birokrasi kita. Berkal-kali ia telah menyatakan bahwa organisasi sektor publik di Indonesia (baca: instansi pemerintah) kebanyakan menggunakan sumber dayanya (resources) hanya untuk kepentingan hal-hal yang bersifat administratif daripada hal-hal yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, atau dengan kata lain, berkinerja. Bahkan, di beberapa kesempatan, ia menyatakan bahwa para pegawai sektor publik (baca: aparatur sipil negara) sehari-harinya masih terperangkap dengan kesibukan mempertanggungjawaban beragam berkas keuangan, yang populer disebut ‘SPJ’, atau pengendalian administratif. 

Lengkapnya, Presiden Joko Widodo berpandangan bahwa para pegawai sektor publik yang berada di bawah kendalinya masih terlalu banyak menghabiskan waktunya pada aktivitas mengumpulkan, mengecek, mengesahkan bukti-bukti administrasi, dan kemudian melaporkan bukti-bukti tersebut. Kesibukan ini sangat kentara sekali pada akhir dan awal tahun anggaran. Pada waktu-waktu tersebut, kita akan disibukkan dengan kegiatan menyusun berbagai dokumen dan laporan, yaitu laporan keuangan (LK), laporan kinerja instansi (LAKIN), rencana kerja individu (SKP), penilaian prestasi kerja pegawai (PPKP), dokumen anggaran awal tahun (DPA), dan dokumen rencana kinerja organisasi (RENKIN). 

Permasalahan besar tersebut sebenarnya sudah menjadi perhatian kita semua. Namun, kita sendiri tidak berhasil 'move on' dalam mengatasi hal ini. Bahkan, bisa dibilang, belakangan ini pekerjaan kita yang bersifat administratif bukannya menurun, tetapi malah bertambah. Sebagai contoh, dalam peraturan Badan Kepegawaian Negara, untuk sekadar mengajukan cuti saja, pegawai negeri sipil (PNS) mesti mengisi formulir (Farida, 2018).  Padahal, permintaan cuti semacam ini cukup diproses dengan surat elektronik (email) atau layanan pesan elektronik (electronic messanger services) yang diajukan kepada atasannya masing-masing, sebagaimana dipraktikkan di negara maju. Sebab, dokumentasi permintaan cuti ini hanyalah untuk kepentingan administrasi internal saja. Selain itu, dalam situasi Pandemi Covid-19 seharusnya instansi pemerintah mengurangi formulir-formulir administrasi yang tidak memberikan nilai tambah. 

Secara teoritis, permasalahan yang diuraikan sebelumnya di tulisan ini sudah menjadi perhatian utama banyak akademisi. Sebagai contoh, Hyndman et al. (2014) menyatakan bahwa alih-alih menciptakan efisiensi dan mendorong kinerja sebagaimana dijanjikan sebelumnya, banyak program reformasi sektor publik berbasis New Public Management (NPM) malah menciptakan beban administrasi baru, yang disebut 'lapisan endapan' atau sediment baru. Akibatnya, bukannya bertambah berkinerja, para pegawai sektor publik harus menjalankan berbagai sistem administrasi baru hasil program reformasi yang tumpang-tindih (redundant) dengan sistem administrasi sebelumnya. Kemudian, sering sekali berbagai sistem administrasi baru tidak terkoneksi (disconnected) dengan berbagai sistem administrasi lainnya, yang kemudian berjalan sendiri-sendiri (stand-alone). 

Selain itu, jarang sekali berbagai sistem administrasi baru tersebut berhasil secara utuh menggantikan atau menghapus sistem administrasi lama. Karenanya, tidak aneh jika banyak organisasi yang akhirnya menerapkan beragam sistem administrasi yang tidak terkoneksi secara kuat (loosely coupled systems), di mana berbagai sistem ini tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi dengan baik (not well-integrated and coordinated), yang kemudian menjadi suatu 'paket sistem pengendalian'  (a package of control systems(Malmi & Brown, 2008; Otley, 1980, 2016)

Sayangnya, walaupun kita sering mengeluhkan permasalahan tersebut, kita tidak bisa berbuat banyak. Yang dapat kita lakukan hanyalah sekadar menjalankan berbagai sistem administrasi yang ada sebagai ‘ritual’, tanpa peduli apakah nantinya ritual tersebut dapat memberikan nilai tambah bagi organisasi. Hal ini dalam literatur dikenal sebagai tindakan ‘transaksional’ yang tidak membangun ‘relasi’ atau keterikatan dengan sistem-sistem yang ada di organisasi (Agyemang & Broadbent, 2015).

Tidaklah aneh jika kemudian kita melihat berbagai sistem administrasi yang dipromosikan oleh berbagai program reformasi di Indonesia ternyata gagal membentuk budaya kinerja (performance culture) atau budaya berbasis hasil(results-based culture) (Cameron & Quinn, 2011)Alih-alih, berbagai program reformasi yang ada telah menciptakan ritual baru yang berujung dengan seremonial pemberian award. Sebagai contoh, kita melihat banyak organisasi sektor publik di Indonesia berlomba mendapatkan award hanya dengan menjalankan kegiatan administratif, seperti penyusunan LK, LAKIN, dan SKP. Bukan karena benar-benar telah berkinerja.

Tidaklah mengherankan, karena sekadar menjalankan ritual dan keterikatan transaksional pegawai, berbagai sistem administrasi baru yang dikenalkan oleh berbagai program reformasi di Indonesia kemudian tidak berhasil menurunkan tingkat korupsi di Indonesia, yang dibuktikan dengan masih buruknya indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang diumumkan oleh Transparency International (TI). Buktinya lagi, beberapa organisasi yang mendapatkan award karena berhasil menjalankan kegiatan administratif malah terkena ‘operasi tangkap tangan (OTT)’, terutama para pimpinan puncaknya. Bahkan, beberapa organisasi yang mendapatkan award karena berhasil menerapkan Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) pun tidak lepas dari OTT tersebut. Berbagai award yang diterima akhirnya berakhir sebagai 'figura' di kantor-kantor pemerintah.

Hal tersebut terjadi tidak terlepas karena 'kepalsuan' (artificialdalam menggunakan 'sistem pengendalian'. Akibatnya, akuntabilitas sektor publik di Indonesia terperangkap dalam akuntabilitas ketaatan (compliance accountability) daripada akuntabilitas kinerja (performance accountability). Dengan kata lain, kita belum memiliki ikatan yang kuat dengan berbagai sistem pengendalian yang telah dipromosikan di Indonesia sejak tahun 2008 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008. 

Penggunaan sistem pengendalian yang penuh kepalsuan tersebut karena terdapat kesalahan pemahaman kita tentang sistem pengendalian. Banyak juga pimpinan organisasi sektor publik tidak memahami bahwa sistem pengendalian sangat berperan penting dalam membuat organisasi sektor publik berkinerja, termasuk mencapai tujuan strategisnya. Hal ini tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga terjadi di negara maju, seperti Australia (Rana, Hoque, & Jacobs, 2018) .

Menggunakan Sistem Pengendalian Secara Strategis

Fenomena penggunaan sistem pengendalian dengan penuh kepalsuan tersebut harus menjadi perhatian kita bersama. Karenanya, pertanyaannya kemudian adalah: Bagaimanakah agar kita, pegawai sektor publik di Indonesia, tidak menggunakan sistem pengendalian dengan penuh kepalsuan lagi?

Pertanyaan tersebut pada dasarnya bisa dijawab jika kita memiliki keterikatan yang kuat atas sistem pengendalian di organisasi, terutama sistem pengendalian internal pemerintah (SPIP).[1] Keterikatan yang kuat ini akan terbangun jika kita (secara perorangan maupun kolektif) menggunakan 'sistem pengendalian secara strategis' (strategic use of control systems), yaitu menggunakan sistem pengendalian secara komprehensif dan integratif, tidak hanya untuk membatasi (to constrain) gerak pegawai sektor publik, tetapi juga menggunakan sistem pengendalian yang mendorong (to encourage) pegawai sektor publik mencapai tujuan strategis organisasi. 

Saat ini, sistem pengendalian di Indonesia lebih banyak digunakan untuk membatasi atau mengatur gerak pegawai sektor publik, atau disebut sebagai pengendalian berbasis risiko (risk-based controls). Penggunaan sistem pengendalian ini masih berfokus pada identifikasi risiko atas aktivitas organisasi dan menerapkan sistem pengendalian yang meminimalkan atau menghindari risiko tersebut. Akhirnya, implementasi sistem pengendalian di Indonesia kebanyakan hanya berakhir sebagai kesibukan administratif manajemen level menengah ke bawah, atau bahkan hanya menjadi kesibukan para ‘operator data’! 

Pengendalian berbasis risiko tersebut awalnya dikembangkan dari teori ekonomi rasional yang mengasumsikan bahwa manusia akan cenderung menguntungkan dirinya sendiri (self-interest(Simons, 1995). Itulah sebabnya sistem pengendalian ini lebih menekankan pada pengaturan atau pembatasan tindakan anggota organisasi yang membentuk birokrasi kohersif (coersive bureaucracy) dan memunculkan ketakutan (fear).

Itulah sebabnya sistem pengendalian hanya menumbuhkan akuntabilitas ketaatan di Indonesia dengan kebiasaan melakukan kegiatan ‘box-ticking’ atau ‘check-off’, yaitu sekadar memberikan tick-mark atas pengendalian-pengendalian yang harus dipenuhi (Blake et al., 2008). Misalnya, muncul pertanyaan pengendalian, apakah organisasi sudah punya kode etik? Tick-mark. Apakah kode etik tersebut sudah dipahami anggota organisasi? Tick-mark lagi.

Pada akhirnya, penggunaan sistem pengendalian kohersif tersebut telah menumbuhkan kebiasaan kita menghindari permainan untuk disalahkan atau 'blame game avoidance’. Akibatnya, sekarang ini dengan manajemen risiko kita cenderung menghindari risiko (risk averse) daripada mengambil risiko (taking risk) yang dapat menjadikan organisasi sektor publik berkinerja. Padahal, manajemen risiko adalah untuk memitigasi risiko karena dalam hal tertentu kita harus mengambil atau menghadapi risiko. Hal ini telah memunculkan generasi pemain aman (safety players) di organisasi sektor publik (Rana et al., 2018; Walters & Ramiah, 2016)

Padahal, kecenderungan 'bermain aman' tersebut berkonsekuensi negatif bagi publik secara keseluruhan karena organisasi sektor publik gagal mengambil tindakan penting ketika dibutuhkan, munculnya kebiasaan menunda-nunda pengambilan keputusan, organisasi kehilangan peluang, komunitas dan pihak terkait menjadi frustasi, dan menurunnya moral pegawai (Walters & Ramiah, 2016).

Dalam dunia akademik, sistem pengendalian berbasis risiko dikenal sebagai ‘sistem batasan’ (boundary systems) (Simons, 1995). Karena sifatnya membatasi gerak anggota organisasi, sistem pengendalian ini biasanya dipandang sebagai ‘pengendalian negatif’ (negative control) atau ‘energi negatif’ (negative energy(Ferreira & Otley, 2009; Martyn, Sweeney, & Curtis, 2016; Simons, 1995; Tessier & Otley, 2012)

Dalam konteks Indonesia, penerapan sistem pengendalian yang berenergi negatif ini sangat menonjol sekali setelah era-Suharto. Kita bisa melihat, misalnya, sampai saat ini mayoritas organisasi sektor publik lebih fokus dalam menciptakan berbagai regulasi yang membatasi gerak anggotanya. Kini, kita telah melihat munculnya begitu banyak regulasi yang mendorong ‘pendisiplinan’ para pegawai sektor publik dalam sistem penghargaan (reward system) dengan menggunakan mesin kehadiran biometrik (biometric attendance machines)

Tanpa peduli apakah kita adalah pejabat struktural eselon satu, dua, atau hanya pelaksana biasa, mesin kehadiran telah ‘memaksa’ kita ‘tidak boleh datang terlambat ke kantor’ dan ‘tidak boleh pulang lebih cepat dari kantor’. Jika kita datang atau pulang tidak tepat waktu akan mendapatkan ‘hukuman’ (punishment) berupa penghargaan negatif (negative rewards), yaitu pemotongan pendapatan dari basis tunjangan kinerja (remuneration benefits). 

Beberapa tahun ini, pengendalian dengan mesin kehadiran tersebut sangat ‘menyiksa' sekali di Indonesia, di mana setiap harinya kita diwajibkan melakukan penandaan kehadiran ketika datang ke kantor dan pulang dari kantor. Bahkan, beberapa pemerintah daerah mendisiplinkan pegawainya dengan memaksa pegawainya melakukan penandaan kehadiran sebanyak 8 kali setiap harinya! Parahnya, hal ini juga terjadi karena persepsi yang terbentuk selama ini bahwa suatu organisasi sektor publik di Indonesia dianggap telah melewati batu loncatan (milestone) program reformasi (dan dianggap berhasil mereformasi dirinyajika organisasi tersebut telah menerapkan mesin kehadiran.

Yang kemudian kita lihat akibatnya adalah mesin kehadiran telah menjadi ‘berhala’ yang ‘disembah’ setiap harinya, yaitu dengan menundukkan kepala kita untuk menandakan kehadiran ketika datang di pagi hari dan pulang di sore hari. Parahnya lagi, berhala ini jauh lebih ‘dihormati’ dan ‘ditakuti' daripada para atasan atau pejabat struktural di organisasi sektor publik. Anehnya, ketika mesin ini dengan ‘bodohnya’ gagal mengidentifikasi waktu setempat secara akurat (karena jarang dikaliberasi), para pegawai sektor publik malah mengeluh kepada para atasan dan pejabat struktural. Tentu saja, para atasan dan pejabat struktural pun dibuat gamang dengan kebodohan mesin tersebut. 

Yang kemudian terjadi lagi dengan keberadaan mesin tersebut adalah anggota organisasi sektor publik bukannya benar-benar semakin berkinerja, tetapi berhasil menciptakan ‘kepura-puraan' seolah-olah telah berkinerja. Sebagai contoh, untuk melupakan ‘mimpi buruk’ dari pendisiplinan karena datang atau pulang tidak tepat waktu, para pegawai sektor publik kemudian melakukan ‘perlawanan’ secara simbolik atau diam-diam (symbolic expression), yaitu sekadar datang dan pulang tepat waktu setiap harinya tanpa peduli apakah menghasilkan nilai tambah bagi organisasi dan masyarakatnya.[2]

Menyeimbangkan Boundary Systems dengan Beliefs Systems

Untuk menjawab permasalahan tersebut, dan jika kita ingin para pegawai sektor publik di Indonesia lebih bermanfaat bagi masyarakatnya, kita mesti mengubah pemahaman dan pendekatan kita dalam menggunakan sistem pengendalian di Indonesia. Terkait hal ini, sudah saatnya kita bersama manajemen level puncak (seperti menteri, direktur jenderal, kepala daerah, dan direksi) menggunakan  sistem pengendalian secara komprehensif dan integratif, yaitu empat sistem pengendalian berbasis ‘pengungkit pengendalian’ (levers of control) (lihat Gambar). 

Gambar. Empat Pengungkit Pengendalian. Sumber “Control in an Age of Empowerment” oleh Simons (1995), diakses dari Harvard Business Review. Hak Cipta dipegang oleh Harvard Business Publishing. 

Sebagaimana tampak pada Gambar, kita harus menggunakan sistem pengendalian sebagai ‘rem’ dan kemudian mengimbanginya  (balancing) dengan sistem pengendalian sebagai ‘gas’ (Simons, 1995; Tessier & Otley, 2012). Penggunaan sistem pengendalian sebagai rem ini akan membatasi tindakan anggota organisasi, sedangkan penggunaan sistem pengendalian sebagai gas akan memungkinkan anggota organisasi terinspirasi mencari ide-ide baru untuk mencapai tujuan strategis organisasi. Dengan menyeimbangkan dua pendekatan sistem pengendalian ini, anggota organisasi sektor publik Indonesia akan dapat bergerak dinamis (Mundy, 2010) yang kemudian lebih berkontribusi dalam mencapai tujuan strategis organisasi.

Secara teoritis, selain menerapkan sistem pengendalian yang mengatur atau membatasi apa yang ‘tidak boleh dilakukan’ oleh anggota organisasi, kita juga harus mendorong anggota organisasi sektor publik menerapkan pengendalian-pengendalian berbasis nilai (values-based controls). Sistem pengendalian ini biasanya disebut sebagai ‘pengendalian positif’ (positive control) atau ‘energi positif’ (positive energy). Berbeda dengan pengendalian negatif, pengendalian positif ini memiliki asumsi masih banyak anggota organisasi sektor publik yang memiliki nilai-nilai (values) ‘baik’ (Simons, 1995). Nilai-nilai ini akan membentuk nilai-nilai inti (core atau shared values) organisasi yang tampak pada kultur organisasi dan individu. Nilai-nilai ini akan membentuk visi dan misi organisasi (Ferreira & Otley, 2009; Simons, 1995)

Dalam konteks Indonesia, sebenarnya sebelum Indonesia merdeka tahun 1945 banyak pendahulu kita yang mempunyai nilai-nilai baik tersebut, yang dikenal sebagai nilai-nilai kejuangan (altruism). Nilai-nilai tersebut telah menginspirasi kita dan membuat kita berani melawan kaum kolonialis-kapitalis dan mengutamakan kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan kelompok ataupun kepentingan pribadi (self-interest). Nilai-nilai inilah yang kemudian membentuk nilai-nilai inti negara kita saat ini dan kemudian visi negara kita, yaitu membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang adil dan makmur (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr).

Dengan kata lain, kita mestinya mendorong penggunaan sistem pengendalian yang dapat mengaktualisasikan nilai-nilai inti organisasi sektor publik di Indonesia. Ringkasnya, kita mesti mendorong anggota organisasi sektor publik menerapkan sistem pengendalian yang tidak saja berbasis risiko, tetapi juga sistem pengendalian yang berbasis nilai-nilai (values-based control systems), yang di tataran akademik disebut ‘sistem keyakinan (beliefs systems)’ (Simons, 1995)

Sederhananya, kita mesti mendorong penggunaan sistem pengendalian yang memungkinkan tercapainya sasaran strategis organisasi sektor publik. Selanjutnya, kita juga mesti mendorong penerapan penghargaan positif (positiverewards) kepada para pegawai sektor publik yang memiliki nilai-nilai positif tersebut yang berkontribusi dalam pencapaian tujuan strategis organisasi. 

Jika kita kembali ke sistem penghargaan sebagaimana dicontohkan di awal, kita mestinya tidak hanya mendorong pendisiplinan pegawai sektor publik dengan mesin kehadiran, tetapi juga mendorong pemberian penghargaan kepada pegawai yang produktif dan memberikan nilai tambah bagi organisasi dan masyarakatnya. Bentuk nyatanya, kita mesti mendorong anggota organisasi sektor publik yang berkinerja mendapatkan penghargaan di atas basis tunjangan kinerja bulanan. 

Jelasnya, tunjangan kinerja anggota organisasi publik tidak hanya dikurangi jika datang terlambat atau pulang cepat, tetapi tunjangan kinerja dapat bertambah jika memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan strategis organisasi. Hal ini sudah dipraktikkan di beberapa organisasi sektor publik di Indonesia, seperti Kementerian Keuangan. Hanya saja, pemberian penghargaan ini di Kementerian Keuangan masih dilakukan pada akhir tahun. Idealnya, pemberian penghargaan ini dilakukan setiap awal bulan sehingga dapat digunakan sebagai feedback dan bisa mendorong anggota organisasi semakin berkinerja pada bulan berikutnya. 

Selain pada aspek sistem penghargaan, kita juga mesti merumuskan strategi (formulating strategies) atau tindakan (actions) yang dapat mencapai tujuan strategis organisasi. Dengan kata lain, kita tidak hanya mampu ‘menunjuk hidung’ kesalahan dan mengusulkan pengendalian yang mendisiplinkan anggota organisasi sektor publik, tetapi juga mampu merancang strategi yang tepat agar tujuan strategis organisasi sektor publik dapat tercapai.

Hal tersebut juga sinkron dengan regulasi terkait dengan Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) atau Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), yaitu: "Instansi pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada unit kerja yang telah mendapatkan predikat Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) atau Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) berdasarkan kebijakan internal di masing-masing instansi pemerintah". Kemudian, terkait dengan regulasi tersebut, dalam indikator Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, ditegaskan pentingnya Unit Kerja memiliki sistem reward and punishment bagi pelaksana layanan. 

Pada tataran praktik di lingkungan internasional, keinginan menyeimbangkan penggunaan sistem pengendalian sebagai ‘energi negatif’ dan ‘energi positif’ ini sangat tampak. Sebagai contoh, baru-baru ini Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) menyatakan bahwa enterprise risk management (ERM) 2017 tidak lagi secara prinsip difokuskan pada pencegahan erosi nilai dan meminimalkan risiko pada level yang dapat diterima. Akan tetapi, ERM mesti dipandang integral sebagai perumusan strategi dan pengidentifikasian peluang-peluang untuk menghasilkan dan memelihara nilai: 

Enterprise risk management is no longer focused principally on preventing the erosion of value and minimizing risk to an acceptable level. Rather, it is viewed as integral to strategy setting and the identification of opportunities to create and maintain value (Veltsos, 2017).

Pandangan tersebut juga diikuti oleh International Organisation for Standardisation (ISO). Sebagai contoh, ISO 31000:2018 yang terkait dengan manajemen risiko (yang menggantikan ISO 31000:2009) telah menekankan bahwa pendorong utama manajemen risiko untuk penciptaan dan pemeliharaan  nilai serta mempertimbangkan faktor manusia dan kultur, termasuk nilai-nilai:

The [ISO 31000:2018] version places a greater focus on creating and protecting value as the key driver of risk management and features other related principles such as continual improvement, the inclusion of stakeholders, being customized to the organization and consideration of human and cultural factors (Tranchard, 2018).

 

Menyeimbangkan Diagnostic Control Systems dengan Interactive Control Systems

Agar sistem pengendalian dapat berperan strategis sebagai rem dan gas, kita juga mesti menggunakan secara terintegrasi sistem pengendalian diagnostik (diagnostic control systems) dan sistem pengendalian interaktif (interactive control systems). Sistem pengendalian diagnostik ini telah sering digunakan oleh auditor atau assesor, yaitu penggunaan sesaat sistem pengendalian dengan melihat apakah target pada indikator kinerja kritikal (critical performance variables) suatu organisasi sektor publik telah tercapai. 

Sistem pengendalian diagnostik cenderung pasif, yaitu kita baru mengambil tindakan atau aksi ketika melihat perbedaan antara target dan realisasi kinerja. Ringkasnya, penggunaan sistem pengendalian ini baru pada tahap menggunakan informasi pengendalian (control information) untuk kepentingan memberikan umpan balik yang menyikapi kejadian masa lalu (ex-post). Hal ini kadang disebut sebagai penggunaan sistem pengendalian yang hanya menghasilkan pembelajaran satu arah (single-loop learning)

Di sisi lain, sistem pengendalian interaktif melihat ke masa depan (ex-ante) yang dapat menciptakan pembelajaran dua arah (double-loop learning). Sistem pengendalian ini akan membantu kita dalam mengantisipasi (feed-forward) ketidakpastian lingkungan strategis (strategic uncertainties). Dengan demikian, kita bisa lebih tanggap dan cepat dalam merespon kebutuhan masyarakat dan stakeholders lainnya, termasuk kebutuhan atau tekanan para pemimpin politik (political leaders). Dengan menggunakan sistem pengendalian interaktif ini, kita bisa mendorong munculnya strategi yang lebih inovatif (emergent strategies) (Mintzberg, 1978) yang dapat memperbaharui strategi formal yang telah dirumuskan sebelumnya (formal intended strategies). 

Di sektor publik Australia, penggunaan sistem pengendalian diagnostik dan sistem pengendalian interaktif secara terintegrasi tampak pada integrasi ‘manajemen kinerja’ dengan ‘manajemen risiko’. Hal ini akan memungkinkan perubahan praktik akuntabilitas di organisasi sektor publik, yaitu terjadinya pergeseran dari tadinya masih lebih berorientasi pada akuntabilitas ketaatan menjadi lebih berorientasi pada akuntabilitas kinerja (Rana et al., 2018). Selain itu, integrasi manajemen kinerja dan manajemen risiko akan mendorong kolaborasi lintas-organisasi karena organisasi sektor publik dilihat secara utuh (whole-of-government view).

Langkah Taktis ke Depan

Kegagalan menerapkan dan menggunakan keempat sistem pengendalian secara komprehensif dan integratif—yaitu boundary systems, beliefs systems, diagnostic control systems, dan interactive control systems—menyebabkan banyak organisasi sektor publik di Indonesia yang sekadar mengopi-ulang (copy-paste) strategi lama menjadi strategi baru. Secara mudahnya, kita bisa melihat tidak banyak organisasi sektor publik di Indonesia yang secara substantial mengubah strategi di dokumen perencanaan lima tahunan (yaitu rencana strategis atau renstra) walaupun rejim di Indonesia sudah berganti beberapa kali setelah reformasi. 

Penggunaan sistem pengendalian yang komprehensif dan integratif masih menjadi tantangan besar bagi kita semua. Tantangan utamanya adalah kita mesti memastikan bahwa hubungan kerja dan budaya di organisasi sektor publik Indonesia berubah dari yang tadinya dominan berorientasi hirarkikal (hierarchial-oriented culture) menjadi lebih berorientasi egalitarian (egalitarian-oriented culture(Douglas, 1999). Hubungan kerja antar anggota organisasi yang egalitarian atau sejajar (equal) akan memungkinkan kita mempertanyakan (to challenge) strategi formal yang dirancang sebelumnya (formal intended strategies) dan mendorong tumbuhnya strategi yang lebih inovatif (Hofstede, Hofstede, & Minkov, 2010)

Jika kita berhasil mendorong penggunaan sistem pengendalian secara komprehensif dan integratif, kita tidak akan berpura-pura lagi dalam menggunakan sistem pengendalian di Indonesia. Kita akan merasakan peran strategis sistem pengendalian dalam mendorong organisasi sektor publik berkinerja, mencapai tujuan strategis organisasi, menaati berbagai regulasi, dan menurunkan terjadinya OTT.

 Intinya, sudah saatnya kita mengubah cara pandang kita dalam melihat sistem pengendalian. Kita mesti menyadari selain dapat digunakan untuk membatasi gerak pegawai sektor publik, sistem pengendalian dapat mendorong kita semua mencapai tujuan strategis organisasi, yaitu dengan menerapkan dan menggunakan keempat sistem pengendalian secara komprehensif dan integratif.*** 



References

Agyemang, G., & Broadbent, J. (2015). Management control systems and research management in universities: An empirical and conceptual exploration. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 28(7), 1018-1046. doi:10.1108/AAAJ-11-2013-1531

Blake, E. A., Dennis, A. G., Sandra, L. R., & Linda, K. T. (2008). Introduction to special topic forum: Re-viewing organizational corruption. The Academy of Management Review(3), 670. 

Cameron, K. S., & Quinn, R. E. (2011). Diagnosing and changing organizational culture. In. Retrieved from http://ebookcentral.proquest.com/

Douglas, M. (1999). Four cultures: the evolution of a parsimonious model. GeoJournal, 47(3), 411-415. 

Farida, N. R. (2018). Memanusiakan cuti pegawai sektor publik. Retrieved from https://birokratmenulis.org/memanusiakan-cuti-pegawai-sektor-publik/

Ferreira, A., & Otley, D. (2009). The design and use of performance management systems: An extended framework for analysis. Management Accounting Research, 20(4), 263-282. doi:dx.doi.org/10.1016/j.mar.2009.07.003

Hartanto, A. C. (2018). Memperdebatkan kembali orientasi pada kinerja versus orientasi pada peraturan di sektor publik indonesia. Retrieved from https://birokratmenulis.org/memperdebatkan-kembali-orientasi-pada-kinerja-versus-orientasi-pada-peraturan-di-sektor-publik-indonesia/

Hofstede, G., Hofstede, G. J., & Minkov, M. (2010). Cultures and organizations : software of the mind : intercultural cooperation and its importance for survival. In. Retrieved from http://ebookcentral.proquest.com/

Hyndman, N., Liguori, M., Meyer, R. E., Polzer, T., Rota, S., & Seiwald, J. (2014). The translation and sedimentation of accounting reforms. A comparison of the UK, Austrian and Italian experiences. Critical Perspectives on Accounting, 25(4–5), 388-408. doi:dx.doi.org/10.1016/j.cpa.2013.05.008

Malmi, T., & Brown, D. A. (2008). Management control systems as a package—Opportunities, challenges and research directions. Management Accounting Research, 19(4), 287-300. doi:dx.doi.org/10.1016/j.mar.2008.09.003

Martyn, P., Sweeney, B., & Curtis, E. (2016). Strategy and control: 25 years of empirical use of Simons' Levers of Control framework. Journal of Accounting and Organizational Change, 12(3), 281-324. doi:10.1108/Jaoc-03-2015-0027

Mat Ludin, K. R., Mohamed, Z. M., & Mohd-Saleh, N. (2017). The association between CEO characteristics, internal audit quality and risk-management implementation in the public sector. Risk Management, 19(4), 281-300. doi:10.1057/s41283-017-0022-z

Mintzberg, H. (1978). Patterns in strategy formation. Management Science, 24(9), 934-948. doi:10.1287/mnsc.24.9.934

Mundy, J. (2010). Creating dynamic tensions through a balanced use of management control systems. Accounting, Organizations and Society, 35(5), 499-523. doi:dx.doi.org/10.1016/j.aos.2009.10.005

Otley, D. (1980). The contingency theory of management accounting: Achievement and prognosis. Accounting, Organizations & Society, 5(4), 413-428. 

Otley, D. (2016). The contingency theory of management accounting and control: 1980–2014. Management Accounting Research, 31, 45-62. doi:dx.doi.org/10.1016/j.mar.2016.02.001

Rana, T., Hoque, Z., & Jacobs, K. (2018). Public sector reform implications for performance measurement and risk management practice: insights from Australia. Public Money and Management, 1-10. doi:10.1080/09540962.2017.1407128

Simons, R. (1995). Levels of control: How managers use innovative control system to drive strategic renewal. Boston, MA: Harvard Business School Press.

Tessier, S., & Otley, D. (2012). A conceptual development of Simons’ Levers of Control framework. Management Accounting Research, 23(3), 171-185. doi:dx.doi.org/10.1016/j.mar.2012.04.003

Tranchard, S. (2018). The new ISO 31000 keeps risk management simple. Retrieved from http://www.iso.org/cms/render/live/en/sites/isoorg/contents/news/2018/02/Ref2263.html

Veltsos, C. (2017). Understanding the COSO 2017 Enterprise Risk Management Framework. Retrieved from https://securityintelligence.com/understanding-the-coso-2017-enterprise-risk-management-framework-part-1-an-introduction/

Walters, A. C., & Ramiah, V. (2016). Is it possible to be too risk averse? Considerations for financial management in the public sector. Applied Economics Letters, 23(17), 1210-1214. doi:10.1080/13504851.2016.1145341

 

*) Penulis adalah Doctor of Philosophy (PhD) dari Auckland University of Technology (AUT), New Zealand dengan tesis PhD berjudul “Integrating Organisational and Individual Level Performance Management Systems (PMSs) within the Indonesian Public Sector”. Ia adalah penerima beasiswa "the New Zealand ASEAN Scholarship Award 2014" dari New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT). Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat penulis bekerja atau lembaga lain.



[1] Keterikatan yang kuat ini selain akan meningkatkan kinerja juga akan meminimalkan praktik korupsi organisasi sektor publik (Blake, Dennis, Sandra, & Linda, 2008).  

[2] Hal ini semakin dimungkinkan dengan keberadaan work from home

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGALAMAN MELELAHKAN DI HOTSPOT J.CO

Hari Minggu 13 April 2008 lalu saya mampir di J.CO Donuts & Coffe di Bintaro Plaza. Sambil mencicipi kopi latte seharga Rp26 ribu, yang tentunya cukup mahal bagi kantong orang sekelas saya, saya mencoba mengakses Internet dari Hotspot café ini.  Setelah membayar di kasir dan menunggu antrian dari seorang pria peracik kopi yang tidak terlalu ramah, saya kemudian dipanggil untuk mengambil kopi saya yang masuk dalam antrian. Kalau tidak bertanya, ternyata petugas kopi café ini tidak menawarkan langsung akses gratis hotspot ke Internet yang dipromosikan café ini.   Setelah saya bertanya, apa password hotspot -nya, barulah diberi tulisan password di kertas bill saya, yaitu "hazelle dazele". Cukup bingung, saya tanya ke petugasnya, apakah password itu pakai spasi atau tidak. Dia jawab, “Tidak”. Kemudian, saya mencoba men- setup akses dengan O2. Aneh juga, signal hotspot -nya hilang-hilang timbul.  Yang cukup kuat malah dari café Ola La yg berada di lantai 2. Setelah b

Menafsirkan Kerugian Negara

Teringat Kasus Indosat-IM3 dan munculnya diskusi kerugian perekonomian negara, saya jadi teringat lagi dengan tulisan lama saya beberapa dekade lalu yang sayang untuk dibuang di KONTAN EDISI 36/IV Tanggal 5 Juni 2000.   Menafsirkan Kerugian Negara Rudy M. Harahap Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintah                                       Saya pernah bertanya kepada mahasiswa di kelas, ketika menyajikan kuliah akuntansi perbankan. Menurut saya, pertanyaan ini mestinya cukup sulit dijawab: "Misalkan Anda menjadi manajer bank dan ada kredit nasabah yang macet. Tentu, Anda tidak ingin gara-gara kredit macet ini kinerja Anda dinilai jelek. Apa yang akan Anda lakukan?" Ternyata, beberapa mahasiswa merasa tak sulit menjawab pertanyaan itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Ya, diskedul ulang saja, Pak. Terus, naikkan plafon pokok utangnya. Selisih antara pokok utang yang lama dengan pokok utang yang baru dikompensasikan saja ke tunggakan cicilan pokok dan tung